Membaca Fiksi Justru Menurunkan Rasa Ingin Tahu Sosial
Sastra | 2025-08-27 10:38:29
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Sebuah studi terbaru yang diterbitkan dalam jurnal Language and Cognition (2023) menghadirkan temuan yang berani dan tak terduga, menantang keyakinan umum tentang bagaimana fiksi memengaruhi pikiran kita. Para peneliti, Lynn S. Eekhof dan Raymond A. Mar, menemukan bahwa membaca fiksi naratif dapat menyebabkan penurunan rasa ingin tahu kita tentang orang lain dalam jangka pendek, sebuah hasil yang bertolak belakang dengan hipotesis awal mereka.
Studi ini bertujuan untuk mengungkap mekanisme di balik hubungan yang sering dibicarakan antara paparan narasi dan kognisi sosial. Penelitian sebelumnya telah menunjukkan adanya korelasi kuat antara kebiasaan membaca fiksi seumur hidup dan kemampuan sosial yang lebih baik, seperti empati dan teori pikiran—kemampuan untuk memahami keadaan mental orang lain. Namun, eksperimen yang berfokus pada efek langsung dari satu kali membaca cerita menghasilkan temuan yang tidak konsisten dan tidak meyakinkan.
Eekhof dan Mar menduga bahwa membaca cerita dapat meningkatkan rasa ingin tahu sosial, yaitu minat untuk mendapatkan informasi dan pengetahuan baru tentang dunia sosial. Mereka berteori bahwa peningkatan rasa ingin tahu ini mungkin mendorong orang untuk lebih berusaha dalam tugas-tugas kognitif sosial, yang pada gilirannya dapat menjelaskan peningkatan singkat dalam kemampuan sosial yang dilaporkan beberapa studi.
Untuk menguji gagasan ini, para peneliti merekrut 222 peserta. Mereka secara acak menugaskan peserta untuk membaca satu dari delapan bab buku, baik narasi fiksi atau non-fiksi ekspositori. Bab-bab ini dipilih dari berbagai genre populer seperti suspens, romansa, fantasi, dan sejarah untuk fiksi, serta karya non-fiksi yang tidak membahas topik interpersonal. Para peserta kemudian diminta untuk menyelesaikan tes baru yang dikembangkan oleh tim, yang disebut State Inventory of Social Curiosity (SISC), untuk mengukur minat mereka saat itu terhadap orang lain.
Bukan Genre, tapi Konten Sosial
Hasil yang didapat sangat mengejutkan. Alih-alih meningkatkan rasa ingin tahu sosial, para peneliti menemukan bahwa peserta yang membaca narasi fiksi menunjukkan tingkat rasa ingin tahu yang lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang membaca teks non-fiksi ekspositori. Efek ini tidak dipengaruhi oleh rasa ingin tahu sosial bawaan peserta—minat yang lebih stabil pada orang lain.
Eksplorasi lebih lanjut mengungkap bahwa bukan hanya genre yang berperan, melainkan tingkat konten sosial dalam teks itu sendiri. Teks yang paling banyak menyajikan "target sosial," seperti cerita tentang seorang jurnalis yang menyelidiki kehidupan seorang selebritas, menghasilkan skor rasa ingin tahu sosial terendah. Sebaliknya, teks yang berfokus pada topik yang jelas-jelas tidak sosial, seperti cara pohon berkomunikasi, menghasilkan skor rasa ingin tahu sosial tertinggi.
Para peneliti menguatkan temuan ini dengan menganalisis teks-teks tersebut untuk 'penanda sudut pandang'—kata-kata yang mengekspresikan perspektif karakter, seperti kata kerja yang berhubungan dengan persepsi atau emosi. Hasilnya menunjukkan bahwa semakin banyak penanda sudut pandang yang ada dalam teks, semakin rendah rasa ingin tahu sosial peserta setelah membaca. Hal ini mendukung gagasan bahwa paparan terhadap konten sosial yang intens, terlepas dari genrenya, dapat memiliki dampak yang signifikan pada pembaca.
Teori Kelelahan dan Kepuasan: Penjelasan Baru
Temuan ini memaksa para peneliti untuk mengesampingkan hipotesis awal mereka dan mengusulkan dua penjelasan baru. Pertama, mereka berpendapat bahwa membaca narasi dapat menyebabkan kelelahan pada kemampuan kognitif sosial. Karena cerita fiksi secara alami melibatkan proses mental yang digunakan untuk menavigasi dunia sosial nyata, membacanya mungkin melelahkan "otot" kognisi sosial, sehingga mengurangi kapasitas atau motivasi pembaca untuk menggunakannya setelahnya.
Kedua, mereka mengusulkan teori kebutuhan sosial. Narasi dapat berfungsi sebagai "pengganti" untuk interaksi sosial yang nyata, memenuhi kebutuhan pembaca akan koneksi atau kepemilikan. Dengan kata lain, cerita mungkin memberikan semacam "camilan sosial," sehingga pembaca merasa puas dan kurang termotivasi untuk mencari koneksi sosial lebih lanjut setelahnya.
Jembatan Antara Jangka Pendek dan Jangka Panjang
Temuan ini, meskipun kontroversial, tidak bertentangan dengan gagasan bahwa membaca fiksi berkontribusi pada kognisi sosial dalam jangka panjang. Para peneliti menggunakan analogi olahraga yang kuat: berolahraga selama setengah jam akan membuat otot Anda lelah (kelelahan), tetapi melakukannya setiap hari dalam jangka panjang akan memperkuatnya secara permanen.
Demikian pula, membaca narasi mungkin melelahkan kemampuan kognitif sosial untuk sementara, tetapi kebiasaan membaca yang berulang dari waktu ke waktu dapat melatih dan mengembangkannya. Hal ini dapat menjelaskan mengapa hubungan jangka panjang antara membaca dan kognisi sosial terbukti lebih kuat daripada efek langsung yang tidak konsisten.
Studi ini memberikan kontribusi penting bagi pemahaman kita tentang literasi dan kognisi sosial. Selain menyediakan ukuran baru yang berharga untuk rasa ingin tahu sosial, studi ini membuka jalan untuk penelitian di masa depan tentang bagaimana media yang kita konsumsi dapat secara sementara meningkatkan atau menekan minat kita pada orang lain.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
