Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Gili Argenti

Teologi Pembebasan: Melawan Penindasan di Amerika Latin

Politik | 2025-08-26 13:48:48
Ilustrasi Oscar Romero, tokoh teologi pembebasan, Sumber : Film Romero (1989).

Karl Marx (1818-1883) salah seorang filosof berpengaruh dari Jerman, pernah menulis di dalam salah satu karyanya, menjelaskan agama itu tidak lebih dari candu bagi masyarakat, “Agama hanyalah tanda keterasingan manusia lebih mendalam, realitas manusia memaksa mereka melarikan diri terhadap kesengsaraan nyata, agama adalah keluh kesah makhluk tertindas, agama adalah candu bagi rakyat” (Ramly, 2000).

Kritik Marx pada agama berdasarkan praktik keberagamaan masyarakat di dunia barat ketika itu, dia melihat kelas buruh (proletar) melarikan diri ke bilik-bilik spiritual agar diberikan kesabaran dan ketabahan ketika mendapat perlakuan tidak adil dari kelas kapitalis dan penguasa. Kelas buruh tidak melakukan perlawanan, karena menyakini setelah kematian kehidupan akhirat akan jauh lebih baik dan menjanjikan dari pada kehidupan di dunia. Keyakinan yang membuat kesadaran serta nyala api revolusioner kelas buruh padam seketika, akibatnya rantai penindasan tidak pernah terputus, justru terus melakukan regenerasi.

Kekecewaan Marx melihat praksis keberagamaan membuatnya membenci agama, dia menuduh agama sebagai kekuataan reaksioner dan kontra revolusi. Pada artikel ini penulis ingin menjelaskan tentang praksis keberagamaan yang berbeda dengan ketika Marx hidup. Praksis keberagamaan justru menjadi spirit perlawanan atas penindasan, sehingga menjadikan agama sebagai narasi perlawanan berwatak progresif-revolusioner, yang di kenal dengan Teologi Pembebasan pada akhir 1960-an hingga 1980-an di Amerika Latin.

Amerika Latin

Amerika Latin adalah kawasan di benua Amerika yang mayoritas penduduknya menggunakan bahasa latin (Spanyol dan Portugis). Amerika Latin bukan hanya istilah menyebutkan letak geografis atau suatu wilayah, tetapi juga tempat kultural-linguistik yang eksis di suatu tempat. Menjadi latar belakang bahasa Spanyol dan Portugis menjadi bahasa yang dominan digunakan di kawasan ini, disebabkan pada masa sebelumnya Amarika Latin mengalami penjajahan atau kolonialisasi dari Spanyol dan Portugal.

Agama mayoritas di Amerika Latin adalah Kristen, dengan sebagian besar penduduknya beragama Katolik Roma, agama Katolik menjadi agama mayoritas, disebabkan adanya pengaruh dari Spanyol dan Portugis. Sedangkan sistem politik di negara-negara Amerika Latin pada era 1960-an dan 1980-an, sebagian besar bercorak junta militer, kelompok militer pretorian berkuasa melalui jalan kudeta pada pemerintahan sipil. Menariknya pemerintahan otoriter itu banyak di dukung oleh Amerika Serikat dan sekutunya, baik finansial serta persenjataan, mereka menyokong penguasa militer agar negara-negara di Amerika Latin itu mengadopsi sistem developmentalism.

Sejak tahun 1950-an dan 1960-an terjadi modernisasi besar-besaran di Amerika Latin, proses industrialisasi dilakukan hampir di seluruh kawasan, konsep pembangunan itu bawah arahan kekuatan modal multinasional (Amerika dan sekutunya), konsep pembangunan dari dunia barat itu dipaksakan untuk dianut oleh negara-negara di Amerika Latin (Lowy, 2003). Dampak dari developmentalism terjadinya ketimpangan dan distribusi kekayaan tidak merata, karena pemerintah biasanya fokus kepada pertumbuhan ekonomi, selain itu peran terpusat yang sangat dominan dari pemerintah di dalam mengejar pertumbuhan ekonomi, berdampak terjadinya praktik otoritarian dan pembatasan kebebasan, hal ini berujung pada ketiadaan hak-hak sipil, bahkan mengorbankan lingkungan disertai perampasan kepemilikan tanah dan sumber daya milik warga (Clark, 1989).

Sehingga wajah Amerika Latin dipenuhi oleh kekerasan berdarah yang dilakukan negara pada rakyatnya, berbagai peristiwa seperti penculikan, penyiksaan, pembunuhan, dan pemerkosaan sering terjadi, pelakunya adalah militer. Perampasan aset milik rakyat atas nama pembangunan terjadi berulang-ulang secara kasat mata, begitu juga kebebasan sipil dibatasi, tidak bebas berbicara, ruang publik diawasi ketat, oposisi ditekan, dan partai politik yang kritis dibubarkan.

Pihak militer tidak segan-segan menggulingkan pemerintahan sipil yang terpilih secara demokratis, misalnya di negara Chile, koalisi politik kelompok kiri yang disebut Unidad Popular (Persatuan Rakyat) memenangkan pemilu tahun 1970, berhasil mengantarkan Salvador Allende sebagai Presiden Chile, artinya kelompok kiri di negara itu menempuh strategi demokratis ketika menjadi penguasa, lewat kotak suara bukan kotak peluru, tidak menggunakan jalan kekerasan (revolusi) tetapi melalui jalur legal-konstitusional, namun kemenangan Unidad Popular (Persatuan Rakyat) berakhir melalui kudeta berdarah pada tahun 1973, pihak militer yang di dukung dunia barat, tidak setuju dengan berbagai kebijakan pro sosialis dari pemerintahan Salvador Allende (Budiman, 1987).

Teologi Pembebasan

Rezim militer represif di Amerika Latin melahirkan ketimpangan sosial seperti jurang lebar antara kelompok kaya dan kelompok miskin, terjadi kemiskinan struktural sistemik, disaat bersamaan elite politik-ekonomi hidup bermewah-mewahan, dan terjadi pelanggaran HAM di mana-mana. Kemudian developmentalism telah gagal meningkatkan kesejahteraan masyarakat, jutsru yang muncul penghisapan atau eksploitasi dari negara pada rakyatnya, dari realitas sosial seperti itu menjadi salah satu faktor munculnya teologi pembebasan, lahir untuk melawan penindasan dari militer pretorian.

Teologi pembebasan adalah refleksi kritis atas praxis orang-orang beriman (Kristen) untuk membebaskan manusia, terutama orang-orang miskin dari ketidakadilan dan penindasan, orang-orang miskin itu menjadi mitra dialog pihak Gereja.

Teologi pembebasan menarasikan keselamatan dalam Kristus dengan menggunakan terminologi pembebasan, pendekatan ini memiliki makna mendengarkan jeritan, keluh kesah berjuta-juta manusia yang merindukan pembebasan (Suryawasita, 2001). Secara historis teologi pembebasan muncul dari tradisi Kristen sebagai gugatan moral dan sosial pada kapitalisme, bahwa tatanan sosial yang tidak adil sama sekali tidak sesuai dengan tuntutan Injil, mereka menyakini tidak pantas disebut orang beriman, jika tidak ikut serta berjuang membela orang-orang miskin yang teraniaya (Mansur, 2023).

Pembelaan teologi pembebasan pada penderitaan rakyat miskin, dibuktikan keterlibatan para tokoh-tokoh Kristen, di dalam berbagai aksi perlawanan pada junta militer yang dilakukan melalui aksi-aksi demonstrasi atau keterlibatan aktivitas revolusioner, berikut beberapa tokoh agamawan Kristen yang melakukan pembelaan pada orang-orang tertindas.

Uskup Agung Oscar Romero (1917–1980), adalah Uskup Agung San Salvador (El Salvador), mendapat julukan “Suara Mereka Yang Tidak Bersuara”, dia menjadi juru bicara orang-orang miskin yang tertindas, di dalam setiap khotbah minggunya di Katerdral yang diikuti ribuan umat, Oscar Romero kerap mengkritik pemerintah yang bertindak represif pada rakyat, dia berkata :

“Saya ingin menyampaikan suatu seruan kepada anggota militer, saudara-saudara ku, masing-masing orang dari anda sekalian adalah salah seorang dari kami juga, kita adalah rakyat. Para petani yang kalian bunuh adalah saudara-saudara sendiri, kalau kalian mendengar suara seseorang yang memerintahkan untuk membunuh, segera ingat pada suara Tuhan, kau tidak boleh membunuh. Saya memohon pada anda sekalian (militer), saya meminta anda sekalian, hentikan penindasan” (Lowy, 2003).

Karena sikap kritis kepada penguasa, Oscar Romero ditembak mati pada 24 Maret 1980, ketika dia mempersembahkan misa dalam kapel kecil di rumah sakit Penyelenggaraan Ilahi, tempat tinggalnya selama ini. Seperti sudah memiliki firasat akan kematiannya, Oscar Romero pernah menyampaikan pada wartawan yang mewawancarainya.

“Sebagai seorang Kristen, saya harus mengatakan, bahwa saya tidak percaya pada kematian tanpa kebangkitan. Kalau mereka membunuh aku, aku akan bangkit kembali di dalam diri rakyat El Salvador. Semoga darah ku menjadi benih pembebasan” (Majalah Basis, Nomor 03-04, Tahun 51, Maret-April 2002).

Tokoh Kristen lain, Romo Gaspar García Laviana (1941–1978). Imam Katolik asal Spanyol, yang bekerja sebagai misionaris di Nikaragua sejak awal 1970-an, dikenal sebagai imam revolusioner, dia bergabung ke dalam FSLN (Frente Sandinista de Liberación Nacional), gerakan revolusioner yang berjuang melawan Somoza, hingga meninggal sebagai martir revolusi. Di dalam sepucuk suratnya dia menjelaskan keterlibatan dirinya dengan gerakan perlawanan.

“Perlawanan dapat dibenarkan di dalam kasus, di mana ada tirani yang mengancam hak asasi manusia, serta secara paksa merusak kepentingan umum seluruh bangsa. Karena pembebasan rakyat tertindas adalah bagian terpadu, sumbangsih saya dalam proses ini suatu tanda solidaritas Kristen kepada orang-orang tertindas” (Lowy, 2003).

Lebih jauh banyak romo dan suster yang memberikan bantuan kepada kelompok FSLN, termasuk membantu mendapatkan pengakuan dari dunia internasional. Kemudian teologi pembebasan juga mengenal Romo Rutilio Grande (1928–1977), seorang Yesuit El Salvador, memutuskan tinggal di daerah pedesaaan bersama orang-orang miskin, merintis komunitas transformatif, mendidik umat untuk sadar akan hak-hak sosial, politik, dan ekonomi.

Di Kolombia, Romo Camillo Torres (1929–1966), mengorganisir gerakan rakyat serta bergabung dengan ELN (Ejército de Liberación Nacional), menurutnya orang beriman harus membebaskan rakyat dari struktur penindasan. Romo Camillo Torres meninggal di dalam suatu pertempuran, kematiannya meninggalkan dampak emosional yang mendalam bagi orang-orang Kristen Amerika Latin, menginspirasi kemunculan gerakan rakyat melawan penindasan (Lowy, 2003).

Teologi pembebasan memiliki dua karakteristik utama. Pertama, teologi tidak menginginkan status quo yang melindungi golongan kaya (menindas dan korup) yang berhadapan dengan golongan miskin, artinya teologi pembebasan sangat anti kemapanan (establishment). Kedua, teologi pembebasan memainkan peran penting di dalam membela kelompok-kelompok tertindas, serta memperjuangkan kelompok itu melawan kelompok yang telah menindasnya (Mansur. 2023)

Penutup

Teologi Pembebasan di Amerika Latin lahir sebagai jawaban nyata atas jeritan kaum miskin dan tertindas, mengingatkan bahwa iman sejati tidak dapat dipisahkan dari perjuangan melawan ketidakadilan dan penindasan.

Gili Argenti, Dosen FISIP Universitas Singaperbangsa Karawang (UNSIKA)

Referensi Artikel

1. Budiman, Arief. 1987. Jalan Demokratis Ke Sosialisme : Pengalaman Chili di Bawah Allende (Jakarta. Sinar Harapan).

2. Clark, Robert P. 1989. Menguak Kekuasaan dan Politik Di Dunia Ketiga. (Jakarta, Erlangga).

3. Edisi Teologi Pembebasan Mati Syahid Demi Keadilan (Majalah Basis, Nomor 03-04, Tahun 51, Maret-April 2002).

4. Mansur. 2023. Tafsir Teologi Pembebasan Agama : Pemikiran Asghar Ali Engineer dan Gustavo Gutierrez Tentang Teologi Pembebasan Islam dan Kristen. (Yogyakarta, Diandra).

5. Ramly, Andi Muawiyah. 2000. Peta Pemikiran Karl Marx : Materialisme Dialektis dan Materialisme Historis. (Yogyakarta, Lkis).

6. Lowy, Michael. 2003. Teologi Pembebasan : Kritik Marxisme. (Yogyakarta, Pustaka Pelajar).

7. Suryawasita, A. 2001. Teologi Pembebasan Gustavo Gutierrez. (Yogyakarta, Jendela).

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image