Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Desi Sommaliagustina

Pendidikan Anti-Korupsi atau Pendidik yang Korupsi?

Kolom | 2025-08-25 00:12:05
Ilustrasi Anti Korupsi (Sumber: Istimewa)

Korupsi adalah penyakit bangsa. Ia bukan sekadar pelanggaran hukum, melainkan dosa sosial yang merusak sendi-sendi kehidupan. Ironinya, korupsi tidak hanya terjadi di dunia politik dan birokrasi, melainkan juga merembes ke dunia pendidikan, sebuah ranah yang seharusnya menjadi benteng moral dan sumber keteladanan.

Kita sering mendengar tentang program “pendidikan anti-korupsi” yang digaungkan pemerintah. Bahkan di sekolah-sekolah, guru diminta menyelipkan nilai-nilai integritas ke dalam pelajaran. Namun, apa jadinya jika yang mengajarkan nilai itu justru ikut melakukan praktik korupsi? Bagaimana murid dapat meneladani guru yang tangannya kotor?

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan bahwa pendidikan harus membentuk manusia beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia. Dengan kata lain, pendidikan adalah jalan untuk menanamkan nilai kejujuran dan integritas.

Lebih jauh lagi, Islam memandang amanah sebagai inti dari kepemimpinan dan pendidikan. Rasulullah SAW bersabda, “Apabila amanah telah disia-siakan, maka tunggulah kehancuran” (HR. Bukhari). Korupsi adalah bentuk nyata pengkhianatan terhadap amanah, dan ketika dilakukan oleh pendidik, dosanya berlipat ganda.

Mendidik bukan hanya soal transfer ilmu, tetapi juga transfer nilai. Guru, dosen, atau rektor adalah panutan. Jika mereka berbuat curang, menyelewengkan dana BOS, melakukan pungutan liar, atau bahkan memperjualbelikan jabatan akademik, maka sesungguhnya mereka sedang meruntuhkan marwah pendidikan itu sendiri.

Ketika Pendidik Ikut Korupsi

Dalam hukum positif Indonesia, korupsi adalah tindak pidana luar biasa yang diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001. Hukuman pidana jelas menanti siapa saja yang terbukti melakukan korupsi. Tetapi bagi seorang pendidik, pelanggaran ini tidak hanya bersifat yuridis, melainkan juga moral dan spiritual.

Anak didik akan kehilangan kepercayaan kepada institusi pendidikan. Kejujuran akan dianggap sekadar teori, bukan kenyataan. Inilah kerusakan yang lebih berbahaya dibandingkan kerugian materiil negara. Dalam perspektif Islam, hal ini sama saja dengan fasad fil-ardh (kerusakan di muka bumi), karena merusak generasi dan mencabut keberkahan ilmu.

Seringkali, pendidikan anti-korupsi hanya berhenti di tataran slogan. Sekolah menempelkan poster bertuliskan “katakan tidak pada korupsi”, kampus mengadakan seminar anti-korupsi, tetapi praktik di lapangan berbicara lain. Transparansi keuangan sekolah masih minim, beasiswa kadang diselewengkan, dan pengadaan barang di kampus tidak jarang bermasalah.

Murid diajarkan tentang pentingnya jujur, tetapi melihat orang tua mereka masih dipalak ketika mendaftarkan anak ke sekolah. Mahasiswa mendengar dosen berbicara tentang integritas, tetapi menyaksikan ada rektor yang tertangkap KPK karena suap proyek kampus. Bagaimana generasi bisa percaya bahwa anti-korupsi itu sungguh-sungguh diperjuangkan?

Integritas sebagai Amal Jariyah

Untuk keluar dari lingkaran setan ini, ada beberapa langkah yang bisa ditempuh: Pertama, ketegasan hukum pendidik yang korupsi harus dihukum lebih berat, karena mereka merusak generasi. Tidak cukup hanya pidana penjara, tetapi juga pencabutan hak untuk menjadi pendidik lagi.

Kedua, keteladanan pemimpin pendidikan kepala sekolah, rektor, hingga pejabat kementerian harus bersih. Kepemimpinan pendidikan bukanlah jabatan administratif semata, tetapi amanah yang kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.

Ketiga, pendidikan nilai, bukan sekadar kurikulum pendidikan anti-korupsi harus hadir dalam keseharian. Transparansi dana BOS, keterbukaan pengelolaan anggaran kampus, dan budaya malu terhadap pungutan liar harus ditanamkan. Murid belajar bukan dari modul, melainkan dari perilaku nyata pendidiknya.

Pendidikan sejatinya adalah jalan membangun peradaban. Namun, jika dunia pendidikan ikut terjerat korupsi, maka bangsa ini sedang menggali kuburannya sendiri. Rasulullah SAW telah memberi teladan bahwa guru sejati bukan hanya mengajar, tetapi juga menghidupi ajaran dengan akhlak.

Maka, pertanyaan mendasarnya adalah: apakah kita ingin memiliki pendidikan anti-korupsi yang benar-benar hidup dalam praktik, atau kita membiarkan dunia pendidikan justru melahirkan pendidik yang korupsi?

Sejatinya, pendidikan anti-korupsi bukanlah sekadar kebijakan, melainkan jihad moral. Karena jika sekolah gagal mengajarkan kejujuran, maka yang lahir bukan generasi pemimpin berintegritas, tetapi generasi yang terbiasa menghalalkan segala cara. Na’udzubillah.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image