Ketika Kita Berkelahi, Musuh Bertepuk Tangan
Trend | 2025-08-14 12:37:58
Di tengah panjangnya sejarah perjuangan Patani, kita sudah terlalu sering menghadapi ujian dari luar: tekanan politik, pembatasan kebebasan beragama, dan upaya sistematis untuk melemahkan identitas kita. Namun, ujian terbesar kadang datang dari dalam diri kita sendiri.
Beberapa bulan terakhir, perpecahan antara sesama umat Islam di Patani – khususnya antara kelompok Ahli Sunnah dan kelompok yang di Patani lazim disebut Wahabi (yakni pengikut ajaran dan praktik Sufi menurut penyebutan lokal) – semakin tajam. Debat yang awalnya teologis kini menjalar ke kehidupan sosial, membuat masyarakat awam kebingungan, bahkan kehilangan semangat kebersamaan.
Kita perlu bertanya dengan hati yang jernih: siapa yang diuntungkan ketika kita berkelahi sesama sendiri?
Apakah ini hanya kebetulan? Atau bagian dari rancangan panjang musuh-musuh Islam yang tahu betul bahwa “memecah belah” adalah strategi paling efektif untuk melemahkan kita?
Sejarah dunia Islam sudah membuktikan, dari Andalusia hingga Timur Tengah, bahwa kehancuran umat sering kali diawali oleh perpecahan internal. Sementara kita sibuk saling menyalahkan, pihak yang memang ingin melihat kita hancur justru tersenyum lega, menunggu waktu untuk mengambil keuntungan.
Kita lupa bahwa dalam Al-Qur’an, Allah telah memperingatkan:
“Dan taatilah Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu ” (QS. Al-Anfal: 46)
Jika hari ini kita benar-benar percaya bahwa Patani adalah tanah yang sedang berjuang mempertahankan maruah Islam dan martabat bangsa, maka seharusnya perbedaan di antara kita tidak menjadi alasan untuk bercerai-berai.
Musuh tidak perlu menembakkan peluru jika kita sudah saling melukai dengan kata-kata. Musuh tidak perlu membuat propaganda jika kita sudah menyebarkannya sendiri di antara saudara.
Belajar dari Negeri Lain
Perpecahan internal umat Islam bukan hanya terjadi di Patani. Di Aceh, pernah terjadi ketegangan antara kelompok tradisional dan pembaharu. Tokoh-tokoh seperti Tgk. Hasan Krueng Kalee dan Daud Beureueh memilih duduk bersama, memulai majelis musyawarah terbuka untuk mengurai perbedaan secara ilmiah, bukan emosional.
Di Yaman, konflik antara ulama tradisional dan salafi berhasil diredam sementara ketika kedua belah pihak sepakat membuat “Mitsaq Wihdah” (Piagam Persatuan) yang memuat poin bersama: menjaga kehormatan ulama, menghentikan provokasi di mimbar, dan fokus pada isu penjajahan asing.
Di Malaysia, perbedaan antara kelompok Asy’ari dan salafi sempat panas pada awal 2000-an, namun Majelis Fatwa Kebangsaan memfasilitasi forum dialog berkala yang dihadiri tokoh dari kedua sisi. Hasilnya, walau tidak sepenuhnya menyatukan, ketegangan di akar rumput dapat ditekan.
Dari pengalaman ini, jelas bahwa jalan keluar selalu dimulai dari komunikasi, kesediaan mendengar, dan kesepakatan menjaga lisan.
Pesan untuk Mahasiswa Patani di Indonesia
Kepada para mahasiswa – khususnya mahasiswa Patani yang sedang menuntut ilmu di Indonesia – ingatlah bahwa status “intelektual” membawa tanggung jawab besar. Jangan sampai kita malah menjadi penyulut api perpecahan melalui narasi yang terburu-buru atau sikap yang memihak tanpa ilmu. Peran kita adalah meredam, memediasi, dan menjadi sumber pencerahan bagi masyarakat, bukan menambah luka di tengah umat. Intelektual sejati adalah yang mampu menyatukan, bukan memisahkan.
Daripada kita terpengaruh isu yang memecah belah, sebaiknya kita meluangkan waktu membaca buku, menggali ilmu, dan memahami strategi bagaimana menghadapi musuh yang sebenarnya. Sebab kemenangan tidak hanya diraih di medan tempur, tetapi juga di medan ilmu dan kesadaran.
Saatnya kita bertanya: Apakah kita sedang menjadi bagian dari solusi atau bagian dari masalah?
Persatuan tidak berarti semua harus sama, tetapi berarti kita mampu berdiri dalam satu barisan ketika menghadapi ancaman bersama. Karena ketika kita sibuk berkelahi, musuh sedang bertepuk tangan – dan sejarah mengajarkan, tepuk tangan itu biasanya diikuti dengan langkah mereka untuk menutup rapat masa depan kita.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
