Saatnya Menghapus Diskriminasi
Politik | 2025-08-12 06:28:37Bayangkan sebuah negeri di mana setiap orang -laki-laki atau perempuan-memiliki hak yang sama untuk bermimpi, belajar, bekerja, dan memimpin. Tidak ada yang dibatasi hanya karena jenis kelamin, warna kulit, atau keyakinan yang dianut. Inilah cita-cita besar yang ingin diwujudkan melalui prinsip non-diskriminasi .
Indonesia sebenarnya sudah menapakkan langkah besar ke arah sana. Kita telah meratifikasi CEDAW, sebuah perjanjian internasional yang mengikat kita untuk menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Kita punya UU HAM, UU Perlindungan Anak, dan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Bahkan sejak tahun 2000, terdapat Instruksi Presiden tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) yang mewajibkan semua kementerian dan pemerintah daerah mempertimbangkan laki-laki dan perempuan secara setara dalam setiap program pembangunan.
Namun, dibalik kemajuan ini, masih ada jurang yang belum tertutup. Perempuan di berbagai daerah masih menghadapi peraturan yang membatasi kebebasan mereka, mulai dari jam malam yang hanya berlaku bagi perempuan, sampai kewajiban berpakaian tertentu yang tidak berlaku bagi laki-laki. Sebagian besar peraturan kita masih bias gender bahkan ada yang melegitimasi poligami dengan alasan yang mendukung perempuan.
Itu sebabnya penerapan prinsip non-diskriminasi menjadi lebih dari sekedar kewajiban hukum, ia adalah perjuangan moral. Prinsip ini menuntut agar setiap regulasi dibuat dengan kacamata kesetaraan: tidak ada pasal yang meminggirkan, tidak ada aturan yang menempatkan satu jenis kelamin di atas yang lain.
Langkah-langkah baik sudah mulai terlihat. Ada daerah yang memberikan layanan kesehatan gratis untuk perempuan, melindungi pekerja migran, atau mencegah perdagangan orang. Ada pesantren dan tokoh agama yang berani menafsir ulang ajaran, menyatakan bahwa Al-Qur'an memerintahkan perlakuan yang baik dan setara kepada perempuan. Ada gerakan perempuan yang tak lelah mendorong revisi undang-undang diskriminatif, seperti batas usia perkawinan yang terlalu rendah.
Tetapi untuk benar-benar menghapus diskriminasi, kita memerlukan lebih dari sekadar peraturan di atas kertas. Kita memerlukan komitmen politik yang konsisten, aparat penegak hukum yang paham perspektif gender, dan masyarakat yang berani menolak ketidakadilan, bahkan jika ia dibungkus tradisi atau agama.
Kesetaraan gender bukan hadiah, ia hasil kerja keras kolektif. Ia terwujud ketika perempuan dan laki-laki memiliki ruang yang sama untuk berkembang, berpartisipasi, dan memimpin. Dengan berpegang teguh pada prinsip non-diskriminasi, kita tidak hanya membela hak perempuan, kita membangun negeri yang lebih adil, lebih sejahtera, dan lebih manusiawi untuk semua.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
