Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Subagyo

Kedok

Hukum | 2025-07-24 19:58:32

Dalam kasus korupsi yang menjadikan Thomas Lembong sebagai terdakwa, banyak opini hukum berkeliaran dengan dalil, “Jika tidak ada mens rea dalam perkara Tom Lembong, maka pemidanaan terhadap Tom Lembong adalah kriminalisasi.”

Opini tersebut sama dengan opini dalam kasus dugaan korupsi pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras yang melibatkan Ahok, yang ditangani oleh KPK. Penyelidikan kasus tersebut dihentikan dengan alasan “tidak ada mens rea” meskipun pemeriksaan BPK menyimpulkan ada kerugian negara sebesar Rp 191 M.

Tapi, pemaknaan mens rea dalam makna “niat jahat” adalah merusak bangunan Teori Hukum Pidana. Saya sebagai bagian dari penegak hukum cukup prihatin. Sebab, terjadi pembiaran penyebaran penyesatan makna mens rea, sehingga menjadi hoax ilmu pengetahuan di kampus dan masyarakat. Semua Fakultas Hukum dan Sekolah Tinggi Hukum harus bertanggung jawab.

Meluruskan Makna Mens Rea

Mens rea merupakan terminologi bahasa Latin yang artinya adalah “pikiran bersalah.” Lantas, para pakar hukum tampaknya memaknainya secara sempit dengan makna “niat jahat.” “Suatu actus reus (perbuatan orang yang melanggar) yang tidak dibarengi dengan mens rea (niat jahat), tidak dapat dipidana.” Itu merupakan dalil teori yang sesat.

Jika kita bicara tentang mens rea, maka hal itu terkait dengan apa yang disebut sebagai “niat”, karena maknanya terlanjur dipersempit dengan “niat.” Niat itu tentunya berada di dalam hati, dan tidak ada seorang pun, bahkan dukun, yang tahu hati seseorang. Makanya ada pepatah, “Dalamnya laut dapat di duga, tapi siapa tahu dalamnya hati. Tak ada yang tahu.”

Hukum tidak selalu dapat mengetahui isi hati manusia, tidak selalu dapat membuktikan niat orang. Maka, hukum merumuskan teori-teori yang sedapat mungkin mencegah orang untuk lolos dari kejahatannya, sekaligus memberikan tolok ukur untuk kepastian hukum. Banguan Teori Hukum ini telah disusun terus-menerus selama berabad-abad.

Teori dalam Hukum Pidana sebenarnya tidaklah sesempit yang diopinikan bahwa “mens rea” itu merupakan “niat jahat.” Arti kata “mens” tersebut adalah “akal pikiran” atau “akal budi.” Arti kata “rea” adalah “orang yang bersalah.” Jadi, makna mens rea yang dipersempit menjadi “niat jahat” merupakan skandal dalam Teori Hukum Pidana. Mengapa?

Saya punya kecurigaan hukum, bahwa pendangkalan makna “mens rea” semula hanya untuk kepentingan para pembela terdakwa di Pengadilan yang menghadirkan para ahli Hukum Pidana untuk memberikan justifikasi teoritis untuk lolosnya para terdakwa. Lalu penyempitan makna itu disosialisasikan sedemikian rupa, sehingga otak para mahasiswa Fakultas Hukum tercemar pemalsuan teori. Terjadilah menyesatan massal para Sarjana Hukum. Mereka ini meyakini bahwa makna “mens rea” adalah “niat jahat.”

Saya sebagai advokat, terkadang juga prihatin, ketika menemukan dalam sidang pengadilan seorang ahli Hukum Pidana, profesor, yang meracau mengarang gagasan yang diduga hanya untuk kepentingan “kliennya.” Dalam dunia advokat, hal demikian itu menjadi bahan candaan. Para advokat yang berpengalaman mengetahui tarif para profesor ilmu hukum dari universitas ini dan itu, termasuk Perguruan Tinggi Negeri yang tenar-tenar, yang berkisar antara Rp 90 juta hingga Rp 150 juta untuk sekali sidang menjadi ahli. Itu adalah gaji kerja 15 bulan untuk buruh biasa di Jakarta. Dalam sidang, teori dan pasal peraturan bisa ditafsirkan ke sana ke mari oleh ahli hukum yang bermata ijo.

Kembali pada makna mens rea. Padahal, makna asli mens rea adalah “pikiran atau akal budi orang yang disangka atau didakwa melakukan perbuatan salah.” Para penegak hukum dituntut untuk berusaha mengetahui jalan pikiran orang yang diduga melakukan tindak pidana, “Apa yang ada dalam pikiran terduga tindak pidana? Apakah dia memang berniat melakukan tindak pidana, ataukah lalai, ataukah dia tidak mempunyai tujuan pada akibat dari perbuatannya, dan bagaimana pemikiran pelaku tersebut dalam menghubungkan antara perbuatan dengan akibat yang ditimbulkannya dilihat dari berbagai variabel?” Pikirannya, akal budinya, digali.

Bukan berarti jika si pelaku menjawab “Saya tidak berniat jahat”, lantas hukum meloloskan dia begitu saja. Nanti dulu. Kita gali lagi. Ada pepatah awam, “Jika semua maling mengaku, maka penjara akan penuh.” Jika tidak dapat diketahui atau tidak dapat dibuktikan niat jahat pelaku, hukum tetap wajib menggali lebih jauh. Mengapa?

Niat dan Kesengajaan

Dalam perspektif teori di dalam Hukum Pidana, “niat melakukan kejahatan” itu hanya merupakan salah satu bentuk kesengajaan (dollus) dari suatu perbuatan atau tindak pidana atau delik dalam suatu delik dollus (tindak pidana yang mensyaratkan unsur kesengajaan. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu bentuk delik dollus (harus ada unsur kesengajaan).

Bentuk-bentuk kesengajaan (dollus) itu sendiri dibagi dalam beberapa bentuk. Saya hanya memberikan dua bentuk dollus yang pokok, untuk memudahkan orang memahami tulisan ini, yakni dollus directus dan dollus indirectus.

Dollus directus dapat dimaknai kesengajaan karena niat. Memang si pelaku mempunyai tujuan dari perbuatan pidana yang dia lakukan. Perbuatannya yang melanggar hukum adalah untuk mencapai tujuan yang dia inginkan. Misalnya, dia korupsi untuk tujuan mendapatkan harta, baik untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain. Bahkan orang lain yang diuntungkannya itu bisa jadi hanya dijadikan wayang atau proksi, atau si pelaku dapat berbagi kekayaan yang dituju itu dengan orang lain yang diberikan keuntungan itu atas perbuatan si pelaku.

Dollus indirectus dimaknai sebagai kesengajaan secara tidak langsung, yang dapat berbentuk pengetahuan secara akal sehat. Si pelaku meskipun berdalih tidak berniat melakukan tindak pidana, tapi nalar hukum dapat memikirkan bahwa akibat yang terjadi merupakan kemungkinan yang mungkin terjadi. Sehingga pelaku tidak dapat lolos dari taanggung jawab hukum dengan dalih tidak punya niat.

Saya berikan sebuah pemisalan suatu kasus, tentang akal bulus pelaku kejahatan. Si A sebenarnya mempunyai niat mencelakai si B. Diambillah sebuah akal. Si A biasa mengetahui B berjualan di pinggir jalan di dekat tiang listrik. Agar si A tidak dituduh punya niat jahat mencelakai si B, maka si A berdalih mencoba latihan menembak menggunakan senapan angin, dan tiang listrik itu jadi sasarannya. Ternyata pelurunya memantul mengenai si B.

Dalam kasus tersebut, penegak hukum tidak akan dapat membuktikan niat jahat, karena si A selaku pelaku mengatakan bahwa dia tidak bermaksud mencelakai si B. Terbukti bahwa peluru senapan angin memang diarahkan ke tiang listrik itu. Tetapi nalar sehat mengatakan, “Peluru senapan angin itu memungkinkan akan terkena sisi pinggir tiang listrik sehingga akan memantul terkena orang di dekatnya.” Orang yang terkena pantulan peluru itu adalah si B. Jika Hakim yang mengadili perkara itu percaya dengan opini atau teori sesat bahwa hanya mens rea - yang dimaknai secara sempit sebagai “niat jahat” - yang menjadi syarat untuk memidana si A, maka si A akan lolos dari jerat hukum.

Atau, jika si A memang benar-benar tidak mempunyai niat jahat untuk mencelakai si B, maka perbuatannya dianggap sebagai kesengajaan dengan jenis dollus indirectus ataupun dollus eventualis, dan si A dihukum. Mengapa? Hukum menganggapnya sengaja sebagai kesengajaan karena pengetahuan, bahwa si B memungkinkan terkena akibat celaka akibat perbuatan si A. Setiap orang harus menggunakan akal sehatnya dalam melakukan sesuatu agar tidak menimbulkan orang lain sebagai korbannya.

Dalam kasus korupsi impor gula yang menjadikan Tom Lembong sebagai terdakwa, sepertinya para ahli hukum, termasuk yang bukan ahli Hukum Pidana, berkata kepada publik bahwa tidak ada mens rea dalam perkara tersebut, sehingga Tom seharusnya tidak dipidana. Tapi mereka memaknai mens rea secara sesat dan sempit itu. Hal itu merusak bangunan Teori Hukum Pidana.

Hakim yang mengadili perkara Tom Lembong itu dalam pertimbangan hukumnya secara umum telah benar, tapi masuk dalam jebakan makna mens rea yang salah. Hakim menyimpulkan tidak ada mens rea. Tapi teori dollus indirectus diterapkan. Dalam pendapat saya berdasarkan makna mens rea yang orisinil, mens rea dalam perkara Tom tetap ada, namun bukan dalam bentuk dollus directus, tetapi masuk dalam ketegori dollus eventualis. Tidak terbukti ada kesengajaan karena niat, tapi ada kesengajaan karena pengetahuan.

Andai Tom Lembong memberikan izin impor gula kepada Bulog sesuai dengan kesepakatan rakor kabinet Desember 2015, serta memperhatikan keadaan produksi gula nasional hiingga akhir 2015 berdasarkan Neraca Kementerian Pertanian, tidak melanggar Pasal 36 UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pangan dan Pasal 3 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 117 Tahun 2015 yang dibuatnya sendiri, maka perbuatannya memberikan izin impor gula tidak akan merugikan negara dan tidak memperkaya perusahaan-perusahaan swasta yang diberikan izin impor tersebut. Hukum menganggap Tom Lembong mengetahui perbuatannya seperti itu meskipun seandainya dia tidak berniat korupsi. Jadi, mens rea-nya adalah dalam bentuk kesengajaan karena pengetahuan (dollus eventualis), dan bukan kesengajaan karena niat (dollus directus).

Ada opini para ahli hukum yang mengatakan, kebijakan tidak boleh dipidanakan. Opini tersebut merupakan opini yang melanggar asas equality before the law, memberikan kekebalan hukum kepada para pejabat pemerintahan, serta menabrak tujuan pembentukan sistem Hukum Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Para pejabat pimpinan seperti Presiden, Menteri dan para Kepala Daerah diberikan kewenangan membentuk peraturan. Mereka sendiri dapat menyusun standard kerjanya. Bagi mereka, menyusun kepastian hukum sangat mudah. Maka, kalau kebijakan mereka justru menabrak rambu-rambu peraturan, memperkaya orang lain atau dirinya sendiri, dan merugikan negara, sudah sepantasnya dipidana.

Tidak boleh ada pejabat atau mantan pejabat pemerintahan diberikan kekebalan hukum dengan dalih “kebijakan tidak boleh dipidanakan.” Justru, salah satu tujuan dibuat Hukum Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah untuk memidana para pejabat yang menyalahgunakan kewenangan atau kebijakannya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image