Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Fina fauziah

Ironi Ruang Pemulihan: Ketika Empati Hilang di Dunia Maya

Gaya Hidup | 2025-07-06 13:07:11
https://www.pexels.com/id-id/foto/foto-wanita-menggunakan-ponsel-3367850/

Media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Di satu sisi, platform digital seperti Instagram, TikTok, dan Twitter membuka peluang besar bagi individu untuk berbagi cerita, mengekspresikan emosi, bahkan mencari dukungan saat mengalami masa-masa sulit. Banyak orang memanfaatkan media sosial sebagai ruang pemulihan: tempat untuk menuangkan luka, trauma, atau keresahan batin yang selama ini terpendam. Namun, dalam praktiknya, kenyataan seringkali tidak seindah harapan. Media sosial kini menjadi tempat banyak orang mencurahkan isi hati, menceritakan pengalaman pribadi, bahkan berbagi luka yang selama ini terpendam. Bagi sebagian, ini adalah bentuk terapi diri, sebuah ruang pemulihan yang diharapkan bisa menghadirkan dukungan, pengertian, dan empati.

https://www.pexels.com/id-id/foto/foto-tangan-memegang-smartphone-hitam-2818118/

Namun, realitas tak selalu seindah harapan. Sayangnya, tidak semua audiens memiliki empati. Komentar yang masuk tidak selamanya mendukung. Beberapa bahkan menyudutkan, menertawakan, atau menyebarkan ulang konten secara tidak bertanggung jawab. Apa yang awalnya dianggap sebagai ruang penyembuhan berubah menjadi arena konsumsi publik yang kadang kejam. Dan kita tahu, internet tidak pernah benar-benar melupakan. Tidak semua pengguna media sosial bisa memahami bahwa di balik sebuah unggahan, ada individu yang sedang berjuang dengan rasa sakit yang nyata.

Dari sudut pandang psikologi, hal ini berkaitan dengan rendahnya empati digital dan fenomena online disinhibition. Disinhibition yakni kecenderungan orang untuk bertindak lebih kasar atau sembrono secara daring karena merasa terlindungi oleh anonimitas dan jarak sosial. Anonimitas ini memberi ilusi keamanan bagi pelaku untuk menyerang orang lain tanpa memikirkan dampaknya. Sementara itu, bagi korban, komentar negatif dan eksploitasi konten pribadi dapat berdampak serius terhadap kesehatan mental, seperti trauma ulang, depresi, bahkan keinginan menarik diri dari lingkungan sosial. Ironisnya, media sosial yang seharusnya menjadi ruang aman untuk penyembuhan justru sering kali memperdalam luka. Kita hidup dalam budaya digital yang kerap tidak mengenal batas empati, di mana konten emosional mudah dijadikan hiburan massal, dan jejak digital sulit dihapus. Unggahan yang viral bisa terus beredar bertahun-tahun kemudian, menciptakan beban psikologis berkepanjangan bagi si pembuat konten. Dalam konteks ini, internet benar-benar tidak pernah melupakan.

Kita tidak bisa memungkiri bahwa media sosial memiliki potensi besar sebagai ruang dukungan dan ekspresi diri. Namun, tanpa kehadiran empati, literasi digital, dan etika berkomentar, ruang tersebut bisa berubah menjadi sumber luka baru. Sudah saatnya masyarakat digital membangun kesadaran kolektif untuk lebih bijak, lebih manusiawi, dan lebih bertanggung jawab dalam menyikapi kisah-kisah pribadi yang dibagikan secara publik. Karena di balik setiap unggahan, ada manusia yang bisa terluka.

 

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image