Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Salma Nurul Fadhilah

Pemuda Sadar Kewarganegaraan adalah Kunci Bangsa yang Kuat dan Demokratis

Pendidikan dan Literasi | 2025-07-06 00:01:45

Di balik sederet angka dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan status kewarganegaraan yang tertera dalam dokumen resmi, tersembunyi sebuah tanggung jawab besar yang sering kali luput dari kesadaran banyak orang. Menjadi warga negara tidak hanya berarti memiliki hak untuk tinggal, memilih, atau mendapat perlindungan hukum, tetapi juga mencerminkan sejauh mana seseorang benar-benar memahami dan menjalankan peran sosial-politiknya dalam sebuah negara.

Dalam konteks Indonesia, kewarganegaraan bukan sekadar status administratif. Ia adalah identitas yang melekat pada diri seseorang sekaligus simbol kesetiaan kepada tanah air. Namun yang dipertanyaan adalah seberapa dalam kesadaran masyarakat kita terhadap makna menjadi warga negara Indonesia?

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar warga hanya memahami kewarganegaraan dalam batas hak—bukan kewajiban. Kita rajin menuntut hak: pelayanan publik yang layak, subsidi, kebebasan berpendapat, dan perlindungan hukum. Namun, ketika berbicara soal kewajiban—seperti taat hukum, menjaga ketertiban, hingga berpartisipasi aktif dalam pembangunan—masih banyak yang merasa itu bukan urusan pribadi atau dianggap bukan tanggung jawabnya secara langsung.

Contoh sederhana bisa kita lihat saat pemilu. Banyak warga yang memilih golput karena kecewa atau apatis terhadap politik. Padahal, hak suara adalah instrumen demokrasi yang sangat penting. Golput adalah hak setiap orang,namun hal ini bentuk dari keengganan masyarakat untuk ikut serta dalam menentukan masa depan bangsa. Begitu juga dalam hal hukum. Kita berharap aparat menegakkan keadilan, namun seringkali kita sendiri masih melanggar aturan lalu lintas, buang sampah sembarangan, atau menyalahi antrean tanpa merasa bersalah.

Kesadaran menjadi warga negara harus dibentuk sejak dini, bukan saat seseorang berusia dewasa atau saat harus berurusan dengan hukum. Pendidikan kewarganegaraan di sekolah sebenarnya menjadi fondasi penting dalam menanamkan nilai-nilai itu. Sayangnya, materi ini sering dianggap sebagai mata pelajaran hafalan belaka, bukan sebagai proses pembentukan karakter dan kesadaran sipil yang utuh. Padahal, dari sanalah akar penguatan demokrasi bisa bertumbuh.

Peran negara juga tak bisa diabaikan. Pemerintah perlu menyediakan ruang dialog yang sehat antara warga dan aparatur negara. Masyarakat yang kritis dan aktif seharusnya tidak dicurigai, justru perlu dilibatkan dalam pengambilan kebijakan publik. Kewarganegaraan bukan hanya urusan negara terhadap warga, tetapi hubungan timbal balik yang saling menguatkan, saling menjaga, dan saling bertanggung jawab.

Di era digital saat ini, warga negara menghadapi banyak tantangan baru. Ruang maya telah menjadi arena baru kewarganegaraan. Di sana, informasi tersebar cepat, opini terbentuk spontan, dan konflik bisa meledak tanpa aba-aba. Maka dari itu, literasi digital dan etika berkomunikasi juga menjadi bagian dari tanggung jawab warga negara masa kini—tak kalah penting dari tanggung jawab di dunia nyata.

Menjadi seorang warga negara Indonesia adalah anugerah, tetapi juga amanah. Tak cukup hanya mengibarkan bendera saat 17 Agustus atau menyanyikan lagu kebangsaan di upacara. Yang lebih penting adalah bagaimana setiap hari kita berperilaku sebagai warga yang sadar akan hak dan tanggung jawabnya. Kita tak butuh warga yang hebat dalam mengkritik, tetapi lalai menjalankan peran. Yang dibutuhkan negeri ini adalah warga yang aktif, kritis, dan bertanggung jawab—baik di dunia nyata maupun dunia maya.

Pada akhirnya, kewarganegaraan bukan sekadar status di selembar KTP. Ia adalah panggilan untuk berbuat sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri—untuk bangsa dan untuk masa depan yang lebih baik.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image