Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Najwa Aulia Savitry

Pendidikan Kewarganegaraan Harus Jadi Alat Perubahan, Bukan Hafalan

Pendidikan dan Literasi | 2025-07-03 22:45:21
Kegiatan pembelajaran yang aktif dan kritis.

Dalam ruang-ruang kelas di Indonesia, Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) masih sering diperlakukan sebagai mata pelajaran yang “ringan” cukup hafal sila-sila Pancasila, pasal-pasal UUD 1945, semboyan Bhinneka Tunggal Ika, dan format formal Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun, pendekatan ini justru menyempitkan makna strategis PKn sebagai fondasi kehidupan berbangsa.

Sudah saatnya kita menggugat ulang cara kita memahami dan mengajarkan Pendidikan Kewarganegaraan. PKn tidak seharusnya menjadi ruang hafalan, melainkan ruang perubahan: alat transformasi sosial yang mampu menumbuhkan kesadaran kritis warga negara terhadap realitas kebangsaan. Kita hidup di era ketika permasalahan kewarganegaraan tidak lagi sesederhana memahami struktur negara. Korupsi merajalela, intoleransi meningkat, politik identitas menjadi komoditas, dan literasi digital yang rendah membuat masyarakat mudah terjebak dalam hoaks dan ujaran kebencian.

PKn seharusnya hadir sebagai mata pelajaran yang tidak hanya mengajarkan apa itu Pancasila atau UUD 1945, tapi bagaimana menerjemahkannya dalam konteks nyata kehidupan hari ini. Contohnya, sila kedua tentang “Kemanusiaan yang adil dan beradab” mestinya tidak berhenti pada kutipan buku teks, tapi dibawa ke dalam diskusi tentang bagaimana kita memperlakukan minoritas, buruh migran, atau bahkan hak-hak digital generasi muda. Pancasila perlu ditafsirkan ulang dalam konteks zaman. Jika siswa dapat menghafal kelima sila namun tidak menyadari bahwa menyebarkan hoaks di media sosial bertentangan dengan nilai-nilai itu, maka ada yang keliru dalam pendekatannya. Literasi digital, etika bermedia, hingga dampak algoritma seharusnya mulai menjadi bagian dari wacana PKn.

Melawan hoaks adalah bentuk nyata dari penerapan nilai Pancasila.

Pendidikan Kewarganegaraan juga harus menjawab persoalan apatisme politik yang mulai menggejala di kalangan generasi muda. Banyak dari mereka yang merasa politik hanya urusan elit, bukan urusan rakyat. Ini bukan hanya soal ketidakpedulian, melainkan kegagalan sistem pendidikan dalam menjelaskan bahwa politik adalah ruang perjuangan kepentingan bersama. PKn semestinya tidak berhenti pada pengenalan struktur negara, tetapi mendorong kesadaran akan pentingnya partisipasi aktif sebagai warga negara. Berani bersuara, kritis terhadap kebijakan publik, dan terlibat dalam advokasi adalah bagian dari pendidikan kewarganegaraan yang sejati.

Semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” pun terlalu sering menjadi pemanis sambutan atau hiasan dinding sekolah. Padahal, semboyan ini adalah janji hidup bersama dalam perbedaan. Realitas di lapangan justru menunjukkan tumbuhnya intoleransi, diskriminasi, dan stereotip antarkelompok. PKn harus menjadi ruang yang membongkar isu-isu tersebut secara terbuka. Mengapa kekerasan atas nama agama masih terjadi? Mengapa stereotip etnis masih diwariskan secara turun-temurun? Jika pendidikan tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, maka ia telah gagal membentuk warga negara sejati.

Lebih dari sekadar kurikulum, Pendidikan Kewarganegaraan adalah proyek kebudayaan. Ia membentuk cara berpikir, cara merasa, dan cara bertindak warga negara. Ia membangun kepekaan terhadap keadilan sosial, hak asasi manusia, lingkungan hidup, dan tanggung jawab kolektif. Oleh karena itu, pendekatan pengajaran PKn harus diperluas. Guru tidak bisa hanya bergantung pada buku teks. Dibutuhkan pembelajaran berbasis pengalaman: proyek sosial, simulasi sidang, debat publik, bahkan eksplorasi ruang digital yang sehat dan kritis.

Pendidikan Kewarganegaraan adalah fondasi demokrasi. Bila disempitkan menjadi sekadar hafalan, kita hanya akan mencetak warga negara yang tahu aturan tapi tidak peduli, tahu Pancasila tapi tidak berpikir kritis, tahu UUD tapi tidak punya empati. PKn harus direbut kembali dari formalitas. Ia harus dihidupkan sebagai ruang emansipasi dan kesadaran. Bukan sekadar mengajar, tapi membentuk manusia Indonesia seutuhnya: berpikir merdeka, bertindak adil, dan hidup dalam semangat gotong royong yang autentik.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image