Sekolah Rakyat, Benarkah Menjadi Solusi?
Politik | 2025-06-20 10:05:35Sekolah Rakyat, Benarkah Menjadi Solusi?
Oleh : Dhevy Hakim
"Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran,” begitulah bunyi dari Pasal 31 ayat 1 UUD1945. Pasal tersebut menjadi dasar bahwasanya pendidikan adalah hak setiap warganegara sekaligus menjadi kewajiban bagi negara untuk memenuhinya. Sayangnya hingga saat ini pendidikan belum dirasakan oleh semua warganegara.
Pendidikan yang belum merata dari Sabang sampai Merauke tidak dipungkiri dikarenakan adanya kesenjangan perhatian dari pemerintah antara kualitas pendidikan di daerah kota dengan yang ada di daerah desa maupun daerah terpencil. Tidak dipungkiri fasilitas maupun sarana prasarana sekolah-sekolah perkotaan kebanyakan lebih lengkap dan lebih berkualitas.
Faktor lainnya adalah mengenai biaya pendidikan. Sebagian besar di kalangan menengah ke bawah menganggap dan merasakan bahwa pendidikan saat ini bagi mereka sangatlah mahal. Sekalipun pemerintah telah berupaya membantu pembiayaan operasional pendidikan melalui dana BOS maupun pemberian Kartu Indonesia Pintar (KIP) bagi keluarga miskin, nyatanya belum mampu menghilangkan akar masalah kemiskinan dan ketimpangan pendidikan.
Berdasarkan laporan Indikator Kesejahteraan Rakyat 2024 oleh Badan Pusat Statistik (BPS), angka putus sekolah di tahun ajaran 2023/2024 tercatat mengalami peningkatan di seluruh jenjang dibanding tahun ajaran sebelumnya, kecuali di tingkatan SMA. Pada tahun ajaran 2022/2023, angka putus sekolah tingkat SD mencapai 0,17%. Nilainya kemudian naik di tahun ajaran ini menjadi 0,19%. Adapun untuk jenjang SMP, angka putus sekolah mencapai 0,18% di tahun ajaran 2023/2024, naik dari 0,14% di tahun sebelumnya.
Terobosan terbaru yang dicanangkan oleh presiden Prabowo sebagai upaya untuk mengentaskan masalah pendidikan adalah dengan menggagas adanya Sekolah Rakyat untuk anak orang miskin (kurang mampu) dan Sekolah Garuda Unggul untuk anak orang kaya (mampu). Anggaran dana untuk program tersebut sangatlah besar.
Melansir dari fajar.co.id (23/05/2025) disebutkan bahwa Menteri Sosial (Mensos) Saifullah Yusuf bersama jajarannya memaparkan kebutuhan anggaran untuk penyelenggaraan program Sekolah Rakyat kepada Komisi VIII DPR RI ditaksir mencapai Rp2,3 triliun untuk tahun ajaran 2025-2026.
Alokasi dana tersebut digunakan untuk pos pembiayaan operasional Sekolah Rakyat, yang mencakup seperti perawatan, listrik, seragam sekolah hingga penyediaan laptop bagi siswa Sekolah Rakyat. Setiap siswa nantinya akan mendapatkan uang sebesar Rp48,25 juta pertahun.
Adapun untuk Sekolah Garuda, Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) akan membangun sekolah menengah atas (SMA) unggulan khusus untuk siswa yang memiliki prestasi di atas rata-rata berdasarkan penilaian tertentu.
Wakil Menteri Diktisaintek Stella Crishtie memberikan penjelasan bahwasanya Sekolah Garuda ini bertujuan untuk mempercepat peningkatan pendidikan berbasis sains dan teknologi di Indonesia. Pemerintah akan membiayai sebanyak 80 persen dari total peserta didik, yakni 160 siswa per angkatan. Sementara 20 persen pelajar lainnya akan dikenakan biaya mandiri.
Namun, benarkah terobosan baru tersebut menjadi solusi?
Menelisik apa yang yang disampaikan oleh Menteri Sosial (Mensos) Saifullah Yusuf maupun Wakil Menteri Diktisaintek Stella Crishtie dapat ditangkap bahwasanya terobosan tersebut hanyalah berganti nama, pada intinya gagasan tersebut berupa pemberian bantuan supaya anak-anak dari keluarga kurang mampu dapat sekolah.
Jika demikian bukankah lebih baik anggaran dana tersebut digunakan untuk memaksimalkan sarana prasarana di sekolah-sekolah yang sudah ada maupun mendukung biaya pendidikan untuk anak-anak sekolah. Sebab, gagasan seperti Sekolah Rakyat maupun Sekolah Garuda memunculkan polemik baru seperti pengadaan sekolah, sarana prasarana, tenaga pengajar dll.
Belum lagi persoalan baru mengenai anak-anak yang akan masuk ke Sekolah Rakyat. Saat ini saja banyak sekolah negeri yang dari tahun ke tahun tidak mendapatkan murid saat pendaftaran siswa baru. Lantas bukankah ini menimbulkan sentimen baru alias berebut mencari murid?
Nampaklah program-program populis semata, seperti yang sudah dipahami netizen setiap ganti pemimpin ganti pula kebijakannya. Seolah-olah ingin ditampilkan bahwa era Presiden Prabowo juga memiliki program yang berupaya untuk pemerataan akses pendidikan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Lebih jauh jika dicermati akar persoalan yang menyebabkan pemerataan pendidikan belum terwujud adalah persoalan sistemik. Pada dasarnya yang paling mempengaruhi adalah kondisi ekonomi masyarakat. Tanpa disadari sistem ekonomi kapitalis telah menyebabkan problem kesehatan, muncul jurang pemisah yang sangat tajam antara orang kaya dengan orang miskin.
Pun didalam masalah menyekolahkan anak. Anak-anak dari kalangan keluarga kurang mampu meskipun mendapatkan KIP misalnya masih merasakan bahwa pendidikan itu berbiaya banyak. Di lapangan sering kali dijumpai dana KIP tidak disalurkan yang semestinya seperti membeli buku dll. Tidak sedikit saat dana bantuan cair dipergunakan oleh orang tua untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Sedangkan anak-anak yang mana orang tuanya berkecukupan bahkan terkategori kaya mampu menyekolahkan anak-anaknya ke sekolahan yang elit, sekolah maju, sekolah di kota. Artinya selama problem sistemik ini tidak terselesaikan, kesejahteraan rakyat belum dirasakan, rakyat secara mayoritas masih kesulitan secara ekonomi maka berbagai solusi pendidikan hanyalah sebatas solusi tambal sulam.
Akan muncul masalah yang baru. Hal ini berbeda jika sistem Islam yang dijalankan. Islam memandang bahwa pendidikan adalah hak dasar anak, sehingga negara berkewajiban dan bertanggung penuh dalam masalah ini.
Pendidikan sebagai kebutuhan dasar publik, maka pembiayaan ditanggung oleh negara alias gratis. Negara menjamin penuh atas semua warga negaranya baik muslim maupun non muslim. Bahkan tidak ada dikotomi akses pendidikan bagi anak orang kurang mampu dan anak orang kaya baik di kota maupun di daerah pinggiran yang jauh dari pusat kota. Pembiayaan diambil dari kas baitul mal.
Sistem ekonomi Islam lah yang menyokong sistem pendidikan, bukan sebaliknya. Kejelasan pengaturan kepemilikan baik kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara akan berpengaruh pada pendapatan Baitul mal sekaligus kesejahteraan rakyat.
Adanya sokongan pembiayaan inilah yang mampu mewujudkan pendidikan gratis dan berkualitas. Tujuan pendidikan yang jelas yakni mencetak generasi bersyakhshiyah Islam, menguasai ilmu terapan serta dipersiapkan untuk mengagungkan peradaban Islam dan siap berdakwah dan berjihad ke seluruh penjuru dunia mampu diraih. Bahkan mampu menghantarkan pada posisi mercusuar dunia. Wallahu a’lam.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
