Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Desta Syarefa

Perang Dagang sebagai Geopolitik: Dari Kebijakan Tarif ke Ambisi Global

Politik | 2025-06-13 12:18:12
Sumber: Image AI

Saat Donald Trump meluncurkan tarif besar-besaran terhadap produk dari Tiongkok pada 2018, banyak orang mungkin menganggapnya sebagai bagian dari kebijakan proteksi ekonomi yang biasa saja. Tapi lambat laun, dunia sadar: ini bukan sekadar soal dagang, ini soal kuasa. Tarif dijadikan senjata, dan dunia masuk ke babak baru, di mana ekonomi jadi alat dalam permainan geopolitik.

Alih-alih memperbaiki defisit perdagangan Amerika, perang dagang ini justru menunjukkan bagaimana kebijakan ekonomi bisa dijadikan alat tekanan politik. Dan ketika dua kekuatan ekonomi terbesar dunia saling adu tarif, dampaknya bukan hanya mereka yang merasakannya, kita semua ikut goyah.

Tarif seharusnya hanya alat fiskal untuk mengatur perdagangan. Tapi di tangan Trump, tarif dipakai sebagai senjata untuk menyerang balik Tiongkok, yang ia tuduh "memanfaatkan" Amerika selama puluhan tahun. Tidak tanggung-tanggung, barang-barang senilai ratusan miliar dolar AS dikenai bea masuk tinggi.

Sebagai balasan, Tiongkok juga mengenakan tarif terhadap produk-produk pertanian dan barang-barang Amerika lainnya. Perang dagang pun resmi dimulai.

Namun ini bukan hanya persaingan dagang. Trump tahu betul bahwa Tiongkok sedang tumbuh menjadi rival strategis. Maka, perang tarif juga menjadi cara untuk menekan ambisi Tiongkok di sektor teknologi, manufaktur, dan dominasi pasar global.

Pada puncaknya, AS mengenakan tarif hingga 145% pada barang Tiongkok senilai lebih dari USD 370 miliar, sementara Tiongkok membalas dengan tarif hingga 125% pada produk AS senilai sekitar USD 110 miliar. Namun, pada Mei 2025, keduanya sepakat mengurangi tarif secara signifikan untuk meredakan ketegangan perdagangan.

Dampak terbaru perang dagang AS-Tiongkok pada 2025 menunjukkan sektor pertanian dan teknologi masih menjadi yang paling terdampak, terutama petani kedelai AS yang mengalami penurunan ekspor ke Tiongkok hingga 67% pada April 2025 setelah Tiongkok memberlakukan tarif balasan yang tinggi. Sebelumnya, Tiongkok menyerap sekitar 60% ekspor kedelai AS pada 2017, sehingga kehilangan pasar ini sangat merugikan petani AS. Selain itu, kenaikan tarif impor AS terhadap produk China menyebabkan harga barang konsumen seperti mesin cuci, mainan anak, dan sepatu naik signifikan, dengan inflasi AS diperkirakan meningkat hingga 3% pada 2025.

Menurut laporan WTO (2025), perang dagang AS-Tiongkok mengurangi volume perdagangan global sebesar 0,2% serta memproyeksikan adanya penurunan pertumbuhan ekonomi global dari 2,8% menjadi 2,2%. Terlihat kecil di atas kertas, tapi efek riilnya luas—terutama pada negara-negara berkembang.

Indonesia turut merasakan dampak perang dagang, mulai dari penurunan ekspor akibat melemahnya permintaan dari AS dan Tiongkok, hingga gangguan rantai pasok global yang menekan kinerja ekspor nasional. Depresiasi rupiah pun memperburuk keadaan, karena biaya impor bahan baku dan energi meningkat, membebani sektor manufaktur dalam negeri. Di lain sisi, Indonesia mulai dilirik sebagai lokasi relokasi industri. Pemerintah menyiapkan sejumlah kawasan industri dan Kawasan Ekonomi Khusus seperti Kendal, Morowali, dan Weda Bay. Misal , KEK Kendal telah mencatat investasi mencapai Rp86 triliun hingga akhir 2024. Namun demikian, kendala klasik seperti infrastruktur yang belum merata, birokrasi yang berbelit, dan ketidakpastian kebijakan masih menjadi pekerjaan rumah besar yang harus segera dibenahi.

Di sinilah letak intinya, perang dagang ini lebih mirip duel geopolitik daripada sengketa dagang biasa. Trump sedang berusaha menunjukkan siapa bos di panggung global. Tarif hanyalah alatnya. Tujuannya lebih besar: membatasi laju Tiongkok, menjaga dominasi Amerika, dan menyusun ulang tatanan dunia. Efeknya terasa hingga kini, bahkan setelah Trump tak lagi di Gedung Putih. Ketegangan AS–Tiongkok masih tinggi, dan dunia belum sepenuhnya pulih dari dampak perang tarif itu.

Bagi Indonesia, situasi ini ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, ada peluang dari relokasi industri dan diversifikasi perdagangan global. Tapi di sisi lain, kita rawan terkena getahnya jika terlalu tergantung pada ekspor bahan mentah dan belum sepenuhnya siap menghadapi dinamika geopolitik yang kompleks. Agar tak sekadar jadi tujuan relokasi, Indonesia perlu memperkuat daya saing dengan membenahi infrastruktur, memperbaiki iklim investasi, serta mendorong ekspor yang lebih beragam. Peningkatan kualitas SDM juga krusial agar kita bisa naik kelas dalam rantai pasok global.

Perang dagang menunjukkan bahwa ekonomi dan politik kini saling bertaut erat. Di era globalisasi, perdagangan bebas tak lagi benar-benar bebas—ada kepentingan, taktik, dan ambisi besar yang bermain di balik angka ekspor-impor. Bagi negara berkembang seperti Indonesia, tantangannya bukan sekadar ikut arus, tapi mampu membaca arah dan merancang langkah. Karena posisi kita di panggung global akan sangat ditentukan oleh seberapa cermat kita mengambil peran dalam pusaran kekuatan dunia.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image