
Sekolah yang Salah Cetak: Kritik atas Pendidikan Bergaya Pabrik
Edukasi | 2025-06-10 16:48:22
Menteri boleh berganti. Kurikulum bisa dirombak. Tapi sistem pendidikan kita tak kunjung berubah. Tahun demi tahun, anak-anak Indonesia dijejali target akademik sejak dini. Di bangku sekolah dasar, sebelum mendaftar mereka sudah dituntut bisa calistung, ikut try out sejak kelas tiga, dan pulang dalam kondisi letih setelah menjalani sekolah seharian penuh.
Waktu bermain hilang, interaksi keluarga menguap. Anak-anak kelelahan, lalu larut dalam layar gawai. Pendidikan yang seharusnya membentuk manusia justru berubah menjadi mesin pencetak skor. Kita tak sedang mendidik, melainkan memproduksi. Inilah titik di mana nurani dan nalar bangsa diuji.
Dalam retorika Aristoteles, ada tiga pilar yang menentukan kuat tidaknya suatu argumen: etos, patos, dan logos. Etos adalah integritas, patos menyentuh empati, dan logos berbicara logika. Dalam kebijakan pendidikan kita, logos disempitkan menjadi angka dan peringkat. Etos memudar, patos ditinggalkan.
Kita terlalu terobsesi pada hasil instan. Rapor, ujian, skor IQ dan skor PISA. Selama output tercapai, proses dianggap beres. Padahal pendidikan bukan jalur perakitan. Anak bukan produk massal yang dicetak seragam. Saat logika industri mendikte ruang kelas, yang lahir adalah tekanan, bukan pembelajaran.
Logic model memberi perspektif berbeda. Pendidikan seharusnya dilihat dari seluruh rangkaian: input, aktivitas, output, outcome, hingga dampak jangka panjang. Inilah ajaran Ki Hadjar Dewantara: ambuka raras,angesti widji (membuka rasa, menuntun jiwa). Pendidikan bukan soal isi kepala, tapi proses menempa manusia.
Finlandia membuktikan bahwa anak bisa tumbuh tanpa tekanan ujian. Kurikulumnya fleksibel, gurunya diberi kepercayaan, dan seni serta olahraga hadir sebagai bagian dari proses belajar. Anak diajak berpikir, bermain, dan merasa. Hasilnya? Prestasi internasional tetap tinggi, tapi tanpa mengorbankan masa kanak-kanak.
Jepang memberi tiga tahun pertama untuk membentuk karakter. Anak diajarkan kebersihan, kedisiplinan, dan hidup bersama. Musik dan seni tradisional masuk kurikulum, bukan sebagai hiasan, tapi bagian dari pembentukan jati diri. Mereka tak hanya mencetak siswa pintar, tapi pribadi berbudaya.
Korea Selatan menunjukkan sisi lain. Skor akademiknya tinggi, tapi dibayar dengan stres dan kelelahan. Kini mereka mulai melonggarkan kurikulum, memberi ruang untuk kreativitas dan keseimbangan. Pelajaran pentingnya: tekanan tanpa jiwa hanya akan melahirkan krisis.
Indonesia punya peluang memperbaiki arah. Kita butuh logic model baru yang memberi tempat bagi pelatih seni, ruang ekspresi, aktivitas fisik, dan kegiatan budaya. Bukan sebagai pelengkap, tapi sebagai fondasi pembentukan karakter. Ukuran sukses bukan hanya literasi dan numerasi, tapi juga empati, sportivitas, dan ketangguhan.
Ki Hadjar Dewantara berkata, anak-anak hidup dan tumbuh sesuai kodratnya sendiri. Maka tugas pendidikan adalah menuntun, bukan menyeragamkan. Sekolah bukanlah pabrik. Ia seharusnya menjadi taman, tempat jiwa bertumbuh, bukan sekadar tubuh dipacu. Jika kita ingin generasi utuh, pendidikan harus dimulai dari sistem yang juga utuh. Jika sekolah terus bersikeras mencetak, bukan membentuk, maka kita akan kehilangan generasi bukan karena mereka gagal ujian, tapi karena mereka tak pernah diberi ruang menjadi manusia
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.