
Krisis Etika di Balik Kuasa Profesi
Politik | 2025-06-10 14:29:52Etika profesi adalah mengarah pada sikap hidup dengan kesediaan untuk memberikan layanan yang profesional dan tanggung jawab secara etis kepada masyarakat. Dalam masyarakat modern, profesi kerap menjadi simbol kepercayaan publik profesi yang dibangun atas dasar kepercayaan publik dan etika bukan sekedar pelengkap formalitas tetapi sebagai fondasi. Namun kini dibalik jabatan yang tampak terhormat dan profesi yang diselimuti wibawa tersembunyi krisis etika seseorang. Kuasa yang semestinya digunakan melindungi dan melayani justru berubah mmenjadi alat untuk menghindari tanggung jawab. Fenomena krisis etika dalam profesi bukan sekedar cerita tentang pelanggaran aturan tetapi kisah tentang tergesernya moral oleh logika untung dan rugi sehingga berpacu pada kepentingan pribadi. kekuasaan yang melekat dalam jabatan memberikan pengaruh segala keinginan dan keputusannya bersifat kewajiban yang harus terlaksana tanpa memikirkan hak orang lain, hal ini mengakibatkan rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap citra perusahaan atau anggota tersebut.
Keadilan sebagai prinsip
Dalam prinsip etika dan sila kelima pancasila yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, menekankan pentingnya distribusi keadilan yang merata tanpa memandang bulu. Keadilan yang menjadi dasar pancasila bukan hanya prinsip konstitusional melainkan pilar etika disaat mendapatkan kuasa. Refleksi atas tragedi kecelakaan tewasnya mahasiswa fakultas hukum, yang dibeli keadilannya dengan mahasiswa fakultas ekonomi. Dikutip dari https://regional.kompas.com/keadilan-untuk-argo Rabu (28/05/2025).
Tragedi ini bukan hanya sekedar kelalaian teknis dalam berkendara, tetapi memperlihatkan bagaimana ketimpangan kuasa dan minimnya akuntabilitas dalam profesi dapat merenggut keadilan. Apa yang dilupakan dalam kasus ini adalah nilai keadilan dan kebenaran sebagai prinsip etika utama. Keadilan bukan hanya tentang menghukum yang bersalah, tetapi tentang mengakui serta bertanggung jawab.
Dapat disimpulkan bahwa faktor kebenaran suatu kejadian yang sulit terungkap menimbulkan pandangan masyarakat dengan hukum keadilan Indonesia saat ini lambat dalam menangani kasus yang melibatkan anak dari pejabat. Dalam konteks etika profesi mencegah konflik kepentingan pribadi dan mengembangkan wewenang secara positif. Keadilan bukan pilihan melainkan kewajiban moral yang tidak bisa dinegosiasikan.
Sayangnya, struktur kekuasaan dalam institusi sering kali menciptakan jurang antara yang berwenang dan yang dikorbankan. Ketika jabatan digunakan untuk melindungi citra daripada memperjuangkan kebenaran dan keadilan maka saat itulah etika profesi mengalami krisis paling dalam. Dalam konteks kasus ini disimpulkan bahwa keadilan bukan hanya sekedar membagi nilai atau akses, tetapi menuntut akuntabilitas yang sejati. Ini adalah salah satu cermin dari cara suatu institusi menangani konflik nilai etika menjadi landasan bukan hanya jargon pelengkap kebijakan.
Deuntologi (Duty-Based Ethics)
Dalam menghadapi problem disinilah menimbang etika melalui deontologi (duty based ethics) yang dipelopori oleh Immanuel Kant menawarkan lensa yang tegas dan tak tergoyahkan, Menekankan bahwa seseorang harus bertindak yang benar adalah tindakan yang sesuai dengan kewajiban moral atau hukum yang sudah ditetapkan dan tidak dapat diganggu gugat. Seseorang perofesional sejati bertindak berdasarkan prinsip secara universal.
Artinya, jika suatu tindakan tidak bisa dibenarkan bila dilakukan oleh semua orang dalam posisi serupa, maka tindakan itu salah secara moral. Dalam kasus tersebut membiarkan pelaku tanpa pertanggungjawaban etik hanya karna status sosialnya. Kewajiban moral bukan karena takut sanksi atau demi meraih hasil tertentu melainkan soal prinsip namun dalam praktik, justru kita menyaksikan sebaliknya.
Untuk menyesuaikan prinsip demi kelancaran karier atau keuntungann sesaat. Ketika kekuasaan bertambah tanggung jawab moral justru kerap ditanggalkan. Padahal semakin besar otoritas seharusnya semakin kokoh komitmen pada nilai etis. Etika kewajiban ini juga menolak pembenaran pragmatis seperti menjaga nama baik lembaga atau tekanan sosial. Tanggung jawab etis justru diuji saat keputusan menjadi tidak nyaman.
Ketika institusi lebih takut kehilangan citra dibanding kehilangan kepercayaan publik, maka mereka telah gagal menjalankan profesi sebagai kewajiban moral. Penulis beranggapan sudah saatnya dunia profesi melakukan intropeksi mendalam yang dimana etika bukan hanya pelengkap dalam kurikulum atau janji dalam sumpah jabatan, melainkan panggilan jiwa yang menghidupkan setiap tindakan profesionalisme. Tanpa etika, profesi bukan lagi pelayan masyarakat, melainkan alat dominasi. Ketika profesi seseorang kehilangan etika, ia kehilangan jiwanya. Dan ketika jabatan tak lagi tunduk pada tanggung jawab moral, maka publiklah yang akhirnya menanggung luka.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.