Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muhammad Syifa

Pelajar Muhammadiyah di Era Kini: Refleksi dari Novel Student Hidjo

Sastra | 2025-06-04 23:27:16

Di tengah derasnya arus kolonialisme Hindia Belanda, seorang pemuda bumiputra bernama Hidjo menyeberangi lautan menuju negeri penjajah. Namun, ia tak membawa dendam atau ketakutan, melainkan semangat belajar, keinginan untuk maju, dan keyakinan pada jati diri bangsanya. Tokoh Student Hidjo dalam novel karya Marco Kartodikromo ini bukan sekadar representasi pelajar kolonial—ia juga dapat dibaca sebagai gambaran awal dari sosok pelajar Muhammadiyah: cerdas, mandiri, kritis terhadap budaya feodal, dan berani mengambil posisi di tengah konflik nilai.Sebagai mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia sekaligus kader Muhammadiyah, membaca ulang Student Hidjo bukan hanya soal memahami isi novel, tetapi juga soal menafsirkan ulang makna "pelajar" dalam konteks sejarah dan ideologi. Artikel ini berupaya menempatkan Student Hidjo dalam bingkai Muhammadiyah, dengan pendekatan ringan dari teori poskolonial dan sosiologi sastra.

Pelajar Bumiputra di Tengah Arus Kolonialisme

Student Hidjo merupakan novel yang ditulis pada tahun 1918 oleh Marco Kartodikromo, seorang wartawan dan penulis revolusioner yang vokal terhadap ketidakadilan sistem kolonial. Melalui karya ini, Marco menghadirkan tokoh utama bernama Hidjo, seorang pemuda Jawa yang dikirim ke Belanda untuk menempuh pendidikan. Di tengah lingkungan asing yang sering kali bersikap rasis dan merendahkan bangsa Timur, Hidjo digambarkan sebagai sosok yang tetap menjaga harga diri dan identitas kebangsaannya. Ia terbuka terhadap ilmu pengetahuan dan peradaban Barat, tetapi tidak kehilangan daya kritis terhadap realitas sosial yang timpang. Penulis memandang hal ini sebagai gambaran ideal seorang pelajar: mampu berdialog dengan modernitas tanpa kehilangan akar budaya dan nilai-nilai yang membentuk kepribadiannya.

Cerminan Semangat Muhammadiyah dalam Diri Hidjo

1. Pendidikan sebagai Jalan Kemajuan

Bagi Muhammadiyah, pendidikan adalah jalan utama untuk membebaskan umat dari kebodohan dan keterbelakangan, sekaligus sebagai bentuk perlawanan paling mendasar terhadap kolonialisme. Gerakan yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan pada tahun 1912 ini menyadari bahwa penjajahan tak hanya merampas tanah dan kekayaan, tetapi juga menyasar kesadaran dan martabat manusia melalui sistem yang memiskinkan akal dan merendahkan harga diri bangsa. Maka, Muhammadiyah tidak memilih jalan kekerasan, melainkan membangun sekolah-sekolah modern, menerjemahkan ilmu pengetahuan, dan memperbarui cara berpikir umat Islam agar mampu sejajar dengan bangsa-bangsa lain.

Dalam konteks inilah, pendidikan menjadi senjata sunyi yang sangat tajam: melawan feodalisme yang menindas dari dalam, sekaligus menghadapi kolonialisme yang menekan dari luar. Sosok Hidjo dalam novel Student Hidjo mencerminkan semangat ini: ia pergi menuntut ilmu ke negeri penjajah bukan untuk menjadi pengikut Barat, tetapi untuk menyerap ilmunya dan kelak membangun bangsanya sendiri. Dengan keteguhan moral, semangat belajar, dan kesadaran identitas, Hidjo bisa dibaca sebagai prototipe pelajar Muhammadiyah awal abad ke-20—yang menjadikan ilmu sebagai alat pembebasan, bukan penyesuaian.

Dalam banyak surat yang ditulis Hidjo selama tinggal di Belanda, dapat dirasakan kekecewaannya terhadap sistem kolonial yang begitu timpang. Ia menyadari betapa kerasnya realitas menjadi seorang pribumi di negeri penjajah, di mana perbedaan ras dan status sosial begitu mencolok. Namun, yang menarik adalah cara Hidjo menyikapinya. Ia tidak meledak dalam kemarahan atau kebencian membabi buta, melainkan memilih jalan rasional: menyampaikan kritiknya dengan bahasa yang tenang, penuh pertimbangan, dan tetap menyimpan harapan.

Sikap ini mengingatkan penulis pada semangat pelajar Muhammadiyah—sebuah generasi yang dididik untuk berpikir kritis, tetapi tetap menjunjung tinggi akhlak dan kedamaian. Pelajar Muhammadiyah diajarkan bahwa melawan ketidakadilan tidak harus dengan kekerasan, melainkan bisa melalui pendidikan, tulisan, dan keteladanan moral. Dalam konteks itu, Hidjo bukan hanya tokoh fiksi yang pasif, tetapi justru bisa dilihat sebagai cerminan pelajar Islam progresif: mengkritik dengan ilmu, melawan dengan keteguhan hati, dan berjuang dengan cara yang tidak destruktif. Inilah mengapa penulis membaca Student Hidjo bukan hanya sebagai roman, tetapi sebagai refleksi dari semangat pembebasan yang senyap namun mendalam—sebuah semangat yang juga hidup dalam tradisi pelajar Muhammadiyah

2. Kesederhanaan dan Moralitas

Meskipun Hidjo hidup di negeri yang dianggap sebagai pusat kemajuan dan peradaban modern, ia tidak serta-merta larut dalam budaya konsumtif yang mendominasi masyarakat Eropa kala itu. Ia memilih untuk hidup hemat, secukupnya, dan tidak terjerumus dalam gaya hidup mewah yang menjadi godaan banyak pelajar Hindia lainnya. Penulis melihat pilihan hidup Hidjo ini bukan hanya sebagai bentuk pengendalian diri, tetapi juga sebagai bentuk ketahanan budaya dan spiritual. Di tengah tekanan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan baru yang glamor, Hidjo justru memperlihatkan bahwa nilai kesederhanaan dapat menjadi fondasi yang kuat dalam menjaga integritas diri.

Dalam perspektif Muhammadiyah, sikap seperti ini sangat dijunjung tinggi. Hidup sederhana bukanlah tanda kelemahan, melainkan bukti kekuatan karakter. Ajaran Muhammadiyah secara konsisten mendorong warganya untuk menjauhi sikap berlebih-lebihan (israf) dan hedonisme. Kesederhanaan dipandang sebagai jalan menuju ketenangan batin, produktivitas, dan keberkahan. Oleh karena itu, penulis menilai bahwa kesederhanaan Hidjo bukan sekadar pilihan praktis di tanah rantau, melainkan bentuk keberanian mempertahankan prinsip dalam lingkungan yang menguji komitmen moral seseorang.Selain hidup sederhana, Hidjo juga digambarkan sebagai pribadi yang tetap menjunjung tinggi nilai-nilai etis dan moral dalam setiap interaksi sosialnya. Ia tidak melupakan keluarganya, tetap menjalin komunikasi dengan orang tua dan kerabat, serta menjaga sikap hormat terhadap asal-usul dan budaya lokalnya. Dalam surat-suratnya, tampak bahwa Hidjo tidak mengalami keterputusan identitas, tetapi justru memperkuat hubungan batinnya dengan tanah air. Penulis melihat hal ini sebagai bentuk konsistensi moral yang penting di tengah perubahan lingkungan yang cepat dan penuh godaan.

Bagi Muhammadiyah, moralitas bukan sekadar aturan normatif, tetapi merupakan refleksi dari keimanan dan kesadaran sosial. Pelajar Muhammadiyah dibina untuk menjadikan akhlak sebagai kompas utama dalam berpikir dan bertindak. Dalam konteks ini, Hidjo tampak menampilkan karakter yang sejalan dengan prinsip itu. Ia tidak menjadikan kebebasan di Barat sebagai alasan untuk melonggarkan prinsip, tetapi justru menjadikannya sebagai ujian kedewasaan dan tanggung jawab. Penulis meyakini bahwa figur seperti Hidjo memberikan contoh nyata bahwa modernitas tidak harus mengorbankan moralitas, dan bahwa menjadi pelajar cerdas berarti juga menjadi pelajar yang berakhlak.

3. Perlawanan Intelektual terhadap Penjajahan

Marco Kartodikromo menampilkan Hidjo sebagai representasi perlawanan kultural. Tidak dengan senjata, tetapi dengan pena. Tidak dengan kekerasan, tetapi dengan kesadaran. Hidjo tidak memilih jalur konfrontatif dalam menanggapi ketimpangan kolonial, tetapi justru memperlihatkan bahwa daya kritis dan keteguhan moral adalah bentuk perlawanan yang tidak kalah penting. Ia melawan pandangan orientalis yang menganggap bangsa Timur malas, bodoh, dan inferior, dengan menunjukkan kemampuan intelektual dan kemandirian dalam berpikir. Karakter Hidjo membalikkan stigma tersebut melalui sikap hidup yang penuh kesadaran, kemauan belajar yang kuat, dan kecermatan dalam menilai budaya asing.

Dalam konteks sejarah sosial Indonesia, penulis melihat bahwa pendekatan seperti ini merefleksikan pula garis perjuangan Muhammadiyah di awal abad ke-20. Muhammadiyah tidak lahir sebagai organisasi perlawanan bersenjata, melainkan sebagai gerakan pembaruan yang percaya bahwa perubahan sosial bisa dimulai dari ruang kelas, masjid, dan rumah-rumah warga. Melawan penjajahan bukan hanya berarti menentang secara fisik, melainkan juga meluruskan cara berpikir masyarakat yang selama ini dikebiri oleh struktur kolonial. Dalam kerangka ini, perlawanan Muhammadiyah bersifat intelektual dan transformatif—dan semangat semacam itu pula yang bisa dilihat dalam karakter Student Hidjo.

Penulis meyakini bahwa karakter Hidjo bisa dibaca sebagai alegori pelajar Muhammadiyah: tenang, tajam secara pemikiran, dan tidak mudah diprovokasi. Kritik terhadap kolonialisme tidak ia sampaikan dengan agitasi keras, tetapi melalui sikap hidup yang beretika dan pemikiran yang terarah. Maka, keberanian dalam Student Hidjo tidak terletak pada tindakan heroik konvensional, melainkan pada keteguhan untuk tetap waras, terdidik, dan bermartabat dalam dunia yang tidak adil. Itulah makna perlawanan intelektual yang dibangun dalam diam, tetapi menggugah kesadaran.

Sastra sebagai Cermin dan Senjata

Melalui pendekatan poskolonial, penulis melihat bahwa Student Hidjo adalah sebuah upaya “menulis balik” dunia kolonial yang dipenuhi stereotip dan relasi kuasa yang timpang. Marco Kartodikromo tidak sekadar menampilkan kenyataan sosial Hindia Belanda dengan nada pasrah, tetapi mencoba menyisipkan perlawanan simbolik melalui tokoh, alur, dan dialog yang menyuarakan keberanian berpikir. Dalam hal ini, Student Hidjo menjadi semacam cermin yang memantulkan kondisi bangsa terjajah, sekaligus senjata yang halus dalam meruntuhkan narasi kolonial yang hegemonik.

Marco tidak menempuh jalur agitasi frontal dalam menulis novel ini. Sebaliknya, ia menggunakan medium sastra populer yang ringan dan bahkan romantis untuk menyisipkan ide-ide progresif. Gaya ini membuat gagasan-gagasannya dapat menjangkau pembaca yang lebih luas, termasuk pelajar dan masyarakat umum yang mungkin belum terbiasa dengan bacaan politis atau teoretis. Penulis menilai bahwa pendekatan ini sangat efektif: kritik terhadap kolonialisme hadir tanpa menggurui, dan semangat pembebasan terasa tanpa harus membakar emosi.

Dalam teori sosiologi sastra, karya sastra tidak hadir dari ruang hampa. Ia merupakan cerminan dari dinamika sosial, politik, dan budaya yang mengitarinya. Penulis melihat Student Hidjo sebagai gambaran konkret dari pergulatan ideologis yang terjadi di Hindia Belanda awal abad ke-20: antara feodalisme lokal yang kian kehilangan relevansi, kolonialisme Eropa yang mendominasi ruang publik dan wacana, serta modernisme yang datang membawa janji kemajuan sekaligus ancaman asimilasi. Ketiga kekuatan itu saling bertabrakan di tubuh tokoh Hidjo, seorang pelajar yang tidak lagi tunduk pada adat lama, tapi juga tidak larut dalam euforia Barat.

Dalam konteks itu, Muhammadiyah sebagai gerakan Islam modernis hadir sebagai kekuatan yang secara ideologis dekat dengan karakter Hidjo. Penulis memandang bahwa keduanya memiliki visi yang sama dalam menghadapi zaman: membebaskan diri dari belenggu budaya lama yang tidak rasional, namun tetap waspada terhadap dominasi asing yang menyamar dalam wajah kemajuan. Muhammadiyah memilih jalur pembaruan dengan semangat keislaman yang rasional dan terbuka, seperti halnya Hidjo yang berpikir merdeka namun tetap berakar pada identitasnya sebagai orang Timur yang bermartabat.

Penulis meyakini bahwa Student Hidjo bukan sekadar kisah seorang pemuda belajar ke Eropa, tetapi juga kisah tentang negosiasi identitas, resistensi kultural, dan upaya membangun posisi tawar dalam dunia yang timpang. Di sinilah kekuatan sastra terlihat: ia bisa mencerminkan realitas sekaligus menjadi alat untuk mengajukan alternatif ideologis. Dalam hal ini, sastra berperan ganda: menjadi cermin masyarakat dan senjata wacana. Dan Student Hidjo, sebagaimana Muhammadiyah, berani mengambil posisi di tengah arus deras zaman tanpa kehilangan arah.

Refleksi untuk Pelajar Hari Ini

Lebih dari seratus tahun sejak novel ini ditulis, pertanyaan yang diajukan oleh Hidjo masih terasa relevan: Apakah belajar di luar negeri (atau dalam arti lebih luas: terpapar modernitas global) membuat kita lebih manusiawi, atau justru menjauhkan kita dari akar budaya dan nilai-nilai luhur? Pertanyaan ini, bagi penulis, bukan hanya milik tokoh fiksi, tetapi juga menjadi renungan bersama bagi pelajar-pelajar Muhammadiyah dan generasi muda Indonesia secara umum.

Di tengah dunia yang semakin tanpa batas, pelajar hari ini menghadapi tantangan yang mungkin tidak kalah rumit dibanding masa kolonial. Informasi yang datang begitu cepat dan tanpa filter menuntut kedewasaan berpikir yang jauh melampaui usia. Budaya konsumtif menyamar sebagai gaya hidup keren, dan krisis identitas sering kali disalahpahami sebagai pencarian kebebasan. Dalam konteks ini, nilai-nilai yang dihidupi oleh Hidjo—kesederhanaan, integritas, kesetiaan pada keluarga dan budaya, serta sikap kritis terhadap pengaruh asing—masih sangat relevan untuk dijadikan pegangan.

Penulis memandang bahwa pelajar Muhammadiyah masa kini perlu mengambil semangat dari Student Hidjo bukan sekadar sebagai tokoh sastra, tetapi sebagai representasi intelektual muda yang berani berpikir sendiri dan tidak larut dalam arus. Pendidikan bukan hanya tentang gelar atau status sosial, melainkan tentang pembentukan karakter dan keberanian moral. Seperti halnya Hidjo, pelajar hari ini perlu menjawab tantangan global dengan kepala terbuka, tetapi kaki tetap berpijak pada nilai-nilai yang membentuk jati diri.

Student Hidjo adalah pengingat bahwa modernitas bukan berarti kehilangan diri. Justru dalam proses menjadi manusia modern, kita ditantang untuk lebih mengenal siapa diri kita sebenarnya. Dan dalam semangat Muhammadiyah, proses itu selalu berpijak pada pencerahan, keikhlasan, dan perjuangan tanpa kekerasan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image