Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Shinta Dwi Prasasti

Panembahan Romo, Keluarga Kajoran dan Mataram Islam

Sejarah | 2022-03-04 17:42:20
Makam Panembahan Romo (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Makam Panembahan Romo (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Panembahan Romo merupakan tokoh yang cukup populer di daerah Klaten Jawa Tengah pada masa Mataram Islam. Ingatan tentang Panembahan Romo bagi masyarakat Klaten saat ini adalah sebagai orang sakti. Maka tidak heran jika makamnya banyak dikunjungi para peziarah.

Makam ini menjadi salah satu bagian dari wisata religi di daerah Klaten. Makam tersebut berada di desa Kajoran, kecamatan Klaten Selatan, kabupaten Klaten, Jawa Tengah.

Makam ini memiliki sejarah panjang yang tidak bisa dilepaskan dari Keluarga Kajoran. Penguasa perdikan (tanah bebas pajak) Kajoran. Nilai penting yang terkandung dalam makam ini berkaitan dengan kompleks Masjid dan Makam Kajoran yang terletak tidak jauh dari lokasi makam panembahan Romo saat ini.

Riwayat Panembahan Romo

Berdasarkan catatan sejarah, Panembahan Romo merupakan bagian dari sebuah Keluarga. Keluarga yang cukup dikenal dalam sejarah Jawa, yaitu Keluarga Kajoran. Panembahan Romo hidup semasa dengan Sultan Agung hingga masa Amangkurat II. Panembahan Romo dan Sultan Agung adalah sesama cucu dari Panembahan Senopati.

Kuncoro Hadi dalam artikel Trah Kajoran-Tembayat dalam Pergolakan Politik di Keraton Jawa Tengah-Selatan Abad ke-17 hingga Abad ke-19 dalam Buku Urib iku Urub Persembahan 70 Tahun Profesor Peter Carey menyebutkan bahwa Panembahan Romo merupakan cucu dari Panembahan Senopati (pendiri Kerajaan Mataram Islam) dan sekaligus cicit / buyut Panembahan Agung (pendiri dari Keluarga Kajoran). Kekerabatan ini terjalin karena Panembahan Senopati menikah dengan putri dari Panembahan Agung.

Perkawinan semacam ini kerap dijumpai dalam sejarah Islam di Indonesia dan Jawa khususnya. Pendiri Mataram Islam, Panembahan Senopati melakukan pernikahan dengan anggota Keluarga Kajoran, untuk memperkuat posisi politik sebagai raja Mataram Islam yang pertama.

Setelah pemerintahan Sultan Agung, Panembahan Romo masih menjadi penasihat dan orang yang dihormati di lingkungan keraton Mataram Islam. Panembahan Romo menjadi penasihat dari Amangkurat I.

Kuncoro Hadi menyebutkan bahwa sejak masa pemerintahan Sultan Agung, telah muncul sejumlah keresahan di kalangan masyarakat. Keresahan tersebut berupa hasutan dari sejumlah kelompok untuk menggulingkan Sultan Agung. Kala itu, tindakan pencegahan yang dilakukan adalah dengan melakukan pemeriksaan dan pihak yang dianggap meresahkan segera dibuang di luar Gerbang Taji.

Sementara Adieyatna Fajri dalam Dua Ziarah Agung: Makam Wali sebagai Sumber Otoritas Politik di Dunia Indo-Islam pada Abad ke 16-17 dalam buku Kuasa Makna Perspektif Baru dalam Arkeologi Indonesia menyebutkan jika pada tahun 1630, daerah Tembayat dan Kajoran pernah memberontak pada Kerajaan Mataram Islam. Kala itu, sekitar 27 desa di kedua wilayah tersebut terlibat dalam aksi pemberontakan yang dipimpin oleh kaum agamawan.

Keresahan serupa muncul kembali di masa pemerintahan Amangkurat I. Tersebar pula sejumlah desas-desus bahwa akan ada pemberontakan ulama. Hal ini membuat Amangkurat I khawatir dan bersikap kejam dalam memadamkannya.

Salah satu gerakan perlawanan pada Amangkurat I adalah perlawanan Trunojoyo. Trunojoyo adalah menantu dari Panembahan Romo. Trunojoyo karena menikah dengan putri bungsu Panembahan. Panembahan Romo kemudian mendukung perlawanan Trunojoyo.

Sikap mendukung ini yang membuat Panembahan Romo kemudian dikenal dengan sebutan Ambalik (Yang Membelot, Sang Pengkhianat). Dukungan ini membuat sang Susuhunan mengambil langkah tegas dengan menyerang Kajoran.

Serangan Mataram yang dipimpin Adipati Anom ini menurut de Graaf terjadi pada Februari 1677. Pada serangan ini, ndalem Panembahan Romo di Kajoran dibakar dan dihancurkan. Tidak ada yang tersisa kecuali makam Panembahan Agung dan Masjid Kajoran. Panembahan Romo dan kerabat Kajoran lain selamat karena telah melarikan diri ke Surabaya bergabung dengan Pasukan Trunojoyo.

Serangan atas Kajoran mendapat balasan dari pihak Trunojoyo dan pendukungnya yang lain. Kedaton Plered yang menjadi pusat pemerintahan Amangkurat I, diserang dan ditaklukkan pada 28 Juni 1677. Namun penaklukkan ini tidak diikuti dengan pendudukan Plered. Plered kemudian berhasil diambil alih oleh Pangeran Puger pada Oktober 1677.

Panembahan Romo dan pasukannya sendiri telah meninggalkan Plered pada September 1677 dan menuju Kediri, untuk bertemu Trunojoyo. Namun pada saat itu mulai muncul keretakan antara Trunojoyo dan Panembahan Romo.

Panembahan Romo dan pasukan Kajoran kemudian bergerak sendiri untuk mewujudkan cita-citanya, menguasai Jawa. Mereka bergerak di Jawa Tengah bagian selatan.

Benteng pertahanan terakhir dari Panembahan Romo berada di Melambang, Wonogiri. Kuncoro Hadi menyebutkan jika pada 14 September 1679, pasukan Kumpeni dan Mataram menyerang daerah ini. Pasukan Kumpeni yang dipimpin oleh Jan Albert Sloot segera memerintahkan eksekusi pada Panembahan Romo. Jenazahnya dibawa ke Kajoran dan dimakamkan di sana.

Nilai Penting Makam Panembahan Romo

de Graaf dalam buku Masalah Kajoran membuat dekripsi tentang desa Kajoran. Sebuah desa yang berada kurang lebih empat kilometer sebelah selatan Klaten. Makam Panembahan Romo berada di sebelah timur dari bekas ndalem Kajoran yang dibakar pasukan Mataram. Kompleks makam kecil ini terdiri dari makam Raden Kajoran Ambalik (Panembahan Romo), Riyamenggala dan Pangeran Bima. Makam dari Panembahan Romo ini memang berbeda dengan makam keluarga Kajoran.

Makam keluarga Kajoran yang lebih besar berada di belakang masjid Kajoran. Menurut de Graaf makam keluarga ini berada 500 meter di sebelah selatan desa. Saat ini secara administrasi makam keluarga Kajoran dan masjid Kauman, berada di Desa Jimbung, Kecamatan Kalikotes. Begitu juga dengan makam Panembahan Romo juga berada di Desa Jimbung, Kecamatan Kalikotes. Ketiganya sebenarnya sama-sama memiliki nilai penting sejarah dan arkeologi. Karena dulunya ketiga artefak ini berada di satu desa, seperti yang disebut de Graaf, desa Kajoran.

Ketiga artefak tersebut mengandung nilai penting sejarah, yaitu sebagai peninggalan dari Keluarga Kajoran. Sebuah keluarga yang memiliki peran penting dalam sejarah Islam, khususnya pada masa Mataram Islam. Keluarga ini memiliki hubungan yang erat dengan sejumlah kerajaan Islam, mulai dari Pajang hingga Mataram Islam. Keluarga ini juga memiliki hubungan yang erat dengan pusat keagamaan Islam di Jawa Tengah bagian selatan, yaitu Keluarga Tembayat.

Mereka mendiami sebuah perdikan. Sebuah perdikan yang diduga telah ada sejak sebelum kerajaan Mataram Islam didirikan oleh Panembahan Senopati (bertakhta sekitar 1584 – 1601). Dugaan ini muncul karena sesuai penjelasan di atas, Panembahan Senopati menikah dengan putri dari Panembahan Agung, pendiri Keluarga Kajoran. Sebuah pernikahan yang bertujuan menghimpun dukungan keluarga Kajoran pada kerajaan Mataram Islam yang kala itu baru berdiri.

Sementara nilai penting arkeologinya adalah makam dan bangunan masjid tersebut juga mewakili gaya masa Islam di mana bangunan tempat ibadah (masjid) berada satu komples dengan pemakaman. Bangunan masjidnya juga menunjukkan kekhasan arsitektur yang biasa dijumpai pada masjid masa Mataram Islam maupun masa sebelumnya. Bagian serambi masjid dikelilingi oleh parit.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image