Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Munawar Khalil N

Dhamaka, Menimbang Keberpihakan Media

Gaya Hidup | Saturday, 26 Feb 2022, 20:35 WIB

Arjun, siapakah pembaca berita?

"Pembaca berita adalah aktor,"

"Apa yang diinginkan aktor?"

"Aktor menginginkan penonton,"

"Apa yang diinginkan penonton?"

"Penonton ingin drama,"

"Jadi, Arjun. Drama itu tidak bisa dihentikan!"

Foto: bollywood.id

Itulah sepenggal dialog yang tertinggal di kepala saya seusai menonton film India berjudul Dhamaka. Film bergenre thriller yang rilis di Netflix tahun 2021 ini bercerita tentang Arjun Pathak, seorang news anchor. Karirnya kemudian merosot hingga didepak dari pembawa berita TV terfavorit menjadi hanya penyiar radio. Karir suramnya itu diperparah dengan proses perceraiannya dengan Soumya Mehra Pathak, reporter di TRTV. Perusahaan media tempat mereka berdua bekerja.

Suatu hari, saat siaran Arjun menerima telepon misterius dari seorang tak dikenal yang mengabarkan akan membom jembatan Sea-Link. Orang itu berjanji akan meneleponnya lagi untuk wawancara live. Mulanya Arjun berpikir itu hanya telepon iseng. Namun ketika bom itu benar-benar meledak, dia panik. Di tengah kepanikan itu, dia melihat satu celah. Peristiwa teror ini adalah kesempatan baginya untuk mengembalikan karirnya sebagai pembawa berita di televisi.

Alih-alih menghubungi polisi untuk menangkap teroris tersebut, Arjun malah menghubungi direktur program TRTV bernama Ankita. Arjun meyakinkannya agar dia bisa live ketika menerima telepon dari sang teroris. Ankita berpikir ini kesempatan emas menaikkan rating TRTV. Arjun berpikir ini bisa menaikkan kembali karirnya sebagai news anchor favorit. Klop dah!

Skenariopun disusun agar wawancara itu bisa direkayasa lebih dramatis. Naikkan video liputan lapangan yang mengekspos korban ledakan. Tempatkan posisi teroris sebagai penjahat mutlak dan TRTV (tentu saja Arjun sebagai pahlawan) yang berperan mengungkap kejahatan ini.

Si teroris sendiri hanya meminta satu hal. Sederhana namun sulit. Dia ingin Menteri meminta maaf di depan televisi secara live atas tewasnya tiga orang pekerja pembangunan Sea-Link. Dia tidak minta lebih. Hanya sebuah permintaan maaf dari pemerintah. Setelah itu ia akan menyerahkan diri. Pembangunan Sea-Link itu sendiri tidak terlepas dari kasus korupsi yang menjerat beberapa pihak.

Semua berpikir rating. Korban teroris “hanya” komoditas yang tidak penting. Upaya si teroris menunjukkan ketidakadilan dengan mengebom bangunan yang dia ikut dalam pembangunannya tidak lagi penting untuk diungkap.

"Penonton ingin drama, saluran ingin rating. Tak ada yang mau kebenaran." ucap Arjun.

Netralitas Media

Berita yang kita konsumsi sebagian besar merupakan hasil konstruksi media. Tidak ada yang benar-benar mewakili fakta itu sendiri, sebab subjektivitas pembawa berita atau pihak-pihak tertentu di belakangnya itu akan memengaruhi bagaimana fakta tersebut ditampilkan.

Menonton film ini mungkin akan menggiring kita untuk mempertanyakan apakah media hari ini memainkan peran profesionalnya sebagai pengawal demokrasi. Ataukah hanya sekadar bertujuan untuk membangun kepentingan media itu sendiri.

Ada nuansa pesimisme terhadap media yang saya rasakan usai menonton film ini. Tapi setidaknya dari film ini ada dua hal yang bisa kita bahas. Pertama, netralitas media hanya sebuah fatamorgana. Wisnu (2021) bahkan mengatakan netralitas menjadi mitos yang terus direproduksi untuk mendelegitimasi keberpihakan dalam jurnalisme.

Netralitas dalam pengertian bahwa jurnalis atau media diharuskan tidak memihak satu pihak atau sebuah peristiwa. Kode etik jurnalistik memberi panduan agar berada di tengah, independen dan perimbangan informasi dari dua pihak. Seringkali jurnalis yang berpihak kepada isu tertentu dipandang mencemari netralitas. Keberpihakan adalah aib.

Pendapat ini dibantah oleh Najwa Shihab. Jurnais senior ini mengatakan jika hanya sikap netral yang dihadirkan dalam suatu pemberitaan dan tulisan, maka hal itu merupakan suatu penipuan dan pembodohan. Karena jika hanya melakukan cover both side tanpa memberikan konteks, maka tidak akan ada hasil yang ingin dicapai. Jurnalis harus berani berpihak kepada kepentingan publik.

Kedua, bagi masyarakat umum atau konsumen media, ini juga menjadi warning agar mampu mencerna lebih baik informasi yang disampaikan di media. Di sini pentingnya literasi media agar masyarakat mencerna dengan rasional sebuah peristiwa sehingga tidak dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu.

Sebagai contoh, sebuah video yang diposting oleh akun @SuaraTiktok menampilkan video lagu bergenre dangdut yang dilengkapi narasi Mars dan Hymne KPK. Dari 500-an komentar yang masuk tanggal 21 Februari 2022, sebagian besar bernada nyinyir, menghujat, membully personil maupun institusi KPK. Padahal video tersebut jika ditonton dengan cermat dan utuh merupakan lagu dangdut plesetan Komunitas Penyanyi Kisut (KPK).

Terlepas dari motif pengunggah video tersebut, reaksi netizen di kolom komentar menunjukkan bahwa banyak yang tidak menonton secara utuh. Menonton videonya secara lengkap-pun masih bisa disalahpahami karena liriknya yang bias.

Secara umum literasi media mencakup kemampuan memahami, menginterpretasikan, dan mengkritisi, dan mengomunikasikan pesan-pesan yang disampaikan di media. Kemampuan ini sangat penting dimiliki oleh semua lapisan masyarakat terutama generasi muda, agar tidak terbawa oleh arus informasi yang menyesatkan.

Tentu kita ingin Indonesia keluar dari 10 besar negara terbawah yang memiliki tingkat literasi rendah menurut survei Program for International Student Assessment (PISA) 2020. Karena itu, di era digital saat ini, akses informasi terbuka lebar. Fakta dan hoaks saling beradu di dunia maya. Agar tidak terseret arus, jangan lupa "Saring sebelum Sharing".

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image