Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Dedy Setyo Afrianto

Membangkitkan Raksasa di Kelas Kita

Eduaksi | Saturday, 26 Feb 2022, 05:41 WIB
Siswa-siswa di kelas

Tugas para orang tua dan guru dalam proses perkembangan anak-anak/para siswa, sejatinya adalah membawa mereka sampai pada potensi terjauhnya. Howard Gardner (pakar psikologi perkembangan AS) pada tahun 1983 pernah menulis tentang multiple intelligence (kecerdasan jamak) melalui bukunya yang berjudul Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences, bahwa setiap manusia sebenarnya tersimpan berbagai macam kecerdasan dari lahirnya, mulai dari kecerdasan musik, logic-matematika, kinestetik (olah fisik) dan lainnya seperti diilustrasikan dengan sangat baik pada gambar berikut.

Illustrasi oleh JR Bee. Sumber Verywellmind.com

Ada 8 macam kecerdasan yang pada masanya Gardner berhasil mengidentifikasi betapa manusia ternyata memiliki sekian banyak potensi untuk mencapai titik terjauhnya. Jika kita masih melihat siswa atau anak-anak kita masih “tergopoh” pada satu hal, jangan-jangan tujuh yang lainnya belum secara seksama kita lihat lebih dalam.

Ada kisah menarik yang disarikan dari film Blind Side, dirilis tahun 2009, disutradarai oleh John Lee Hancock. Film ini diadaptasi berdasarkan kisah nyata, diambil dari buku The Blind Side: Evolution of a Game yang ditulis oleh Michael Lewis pada tahun 2006.

Kisah ini dimulai dari masa kecil Michael Oher yang lahir dan dibesarkan didaerah pinggiran kumuh di kota Memphis, Tennesse. Keluarganya termasuk kalangan ekonomi menengah ke bawah disana. Pada umur dimana Oher kecil masih butuh besarnya perhatian dari orang tuanya, Ayahnya sering keluar masuk penjara, sementara Ibunya kecanduan alkohol dan cocain. Walhasil tumbuh kembang Oher tidak optimal. Oher ini secara fisik sangat tinggi besar dibanding teman-temannya sehingga sering dipanggil Big Mike oleh yang lain.

Michael Oher di daerah pinggiran kumuh Memphis (Film The Blind Side, 2009)

Dia mengulang tahun pertama dan kedua sekolahnya, datang ke 11 sekolah lainnya karena sering pindah-pindah sekolah, sehingga Dia menghabiskan 9 tahun pertamanya di sekolah dasar. Di sekolahnya yang terakhir, IQ nya terhitung hanya 80, ditambah dengan kesulitan membaca dan memahami kosa kata baru. Hal ini membuat para gurunya kesulitan untuk memberikan pengajaran kepada Oher, sehingga sering sekali Oher hanya mendapatkan nilai E atau nol, karena dilembar jawaban hanya tertulis nama nya saja, tapi tidak dengan jawaban dari soal/pertanyaan ujian. Sampai disini sebenarnya para guru masih sering mendiskusikan dengan cara apa agar Oher bisa lebih baik lagi di esok hari. Para guru belum menyerah, karena meyakini kalau Oher punya potensi.

Singkat cerita, Leigh Anne dan Sean Tuohy, pasangan suami istri ini mengadopsi Oher. Leigh Anne merasa kasihan dengan Oher kecil karena latar belakang keluarganya yang kelam. Tidak hanya memberikan kesempatan tinggal di rumahnya, mensupport kebutuhan harian, membelikan baju baru dan berbagai perlengkapan sekolah lainnya, keluarga baik ini juga mencarikan guru privat tambahan untuk bisa datang ke rumahnya. Keluarga ini memang dikenal keluarga yang baik, selain juga memiliki kemampuan ekonomi yang mapan. Sean Tuohy merupakan bisnismen yang memiliki restoran tidak kurang dari 85 titik di kota itu.

Perhatian keluarga ini kepada Oher juga terlihat dari kemampuan melihat potensi Oher yang selama ini belum terlihat. Saat dilakukan psikotes, ketika pada banyak aspek, skornya sangat kecil, namun untuk bagian “naluri melindungi”, Oher memiliki skor 98. Skor ini sangat tinggi dan terlihat dari keseharian Oher. Bahkan pernah ada insiden kecelakaan berkendara bersama Oher dan anak kandung Anne (bernama SJ), karena naluri melindunginya yang tinggi, Oher menahan pecahan kaca mobil dengan lengannya, sehingga SJ selamat dari kecelakaan mengerikan itu.

Leigh Anne dan Sean Tuohy memahami bahwa kekurangan Oher dalam bidang akademis, tertutupi oleh kemampuannya yang lain, yakni kemampuan “melindungi”. Hal ini pulalah yang menginspirasi mereka untuk mengasah kemampuan Oher dalam olah raga Football. Football ini termasuk olah raga favorit disana. Dengan karakteristik olah raga adu fisik yang cocok dengan badan Oher, dan kemampuan “melindungi” nya yang tinggi, maka melindungi bola agar tidak mudah direbut musuh-musuhnya menjadi keahlian Oher yang mumpuni. Waktu berjalan cepat, kemampuan Oher ini akhirnya dikenal oleh banyak club profesional disana, mereka sangat semangat untuk menawarkan dan mengundang Oher agar bisa bermain untuk tim nya. Akhirnya Oher memilih untuk masuk ke tim Ole Miss Rebel, seraya mendapatkan beasiswa ke Universitas Missisipi.

Poster Film The Blind Side, 2009.

Oher akhirnya dikenal sebagai pemain football yang sukses dengan banyak catatan prestasi dimasa depannya.

Apa yang terjadi pada Oher ini, anak-anak dengan latar belakang keluarga yang menyedihkan, ditambah dengan kemampuan akademik yang pas-pasan, bisa jadi banyak terjadi dalam kelas-kelas kita. Betapa banyak anak-anak kita yang seharusnya mereka memiliki potensi besar di sisi yang “tidak terlihat” hingga kini. Karena bisa jadi kita sibuk pada “sudut teropong” dari satu sisi, namun belum nampak pada sisi yang lain. Selaras dengan judul film The Blind Side (sisi buta), yang mengajarkan kita, bahwa selama ini banyak keterjebakan kita dengan salah melihat, karena hanya melihat dari satu sisi itu saja.

Apa pesan moral dari kisah Michael Oher ini ?, sesungguhnya saya kira banyak sekali, namun agar Anda makin penasaran menonton filmnya sendiri, saya ambilkan tiga saja.

1. Mencari dan menggali potensi terbaik dari para siswa kita.

Diskursus tentang kajian ini, teman-teman dari psikologi atau BK yang lebih paham, ada beberapa alat tes yang bisa mengukur baik secara genotip (gen, turunan dari orang tua) ataupun fenotip (kombinasi gen dan intervensi lingkungan). Cara pengambilannya juga bermacam, ada yang lewat sidik jari, ada juga dari pengambilan lewat tes tulis atau wawancara. Semakin kesini, beragam rupa tes ini dengan kelebihan dan kekurangannya akan lebih mengkayakan sekolah atau orang tua untuk memilih yang terbaik

Hasil penelitian Indonesia Career Center Network (ICCN) juga bisa menjadi gambaran, bahwa sebanyak 87 persen mahasiswa di Indonesia mengakui jurusan yang diambil tidak sesuai dengan minatnya. Survei pada 2017 itu juga menemukan ‘salah jurusan’ bisa berdampak pada studi. Jangan sampai keadaan ‘salah jurusan’ ini diperparah dengan kekeuhnya orang tua untuk memaksakan jurusan kuliah anak-anaknya.

2. Mendorong potensi ini mencapai titik terjauhnya

Tugas kita sebagai guru atau orang tua adalah membimbing dan memfasilitasi, jelaskan pilihan-pilihan itu beserta hal apa saja yang perlu dikuasainya saat ini dan dikuatkan nantinya. Memang tak banyak keluarga yang semampu keluarga Leigh Anne dan Sean Tuohy, namun dimasa keterbukaan informasi saat ini, akses terhadap informasi melalui dunia maya juga bisa mendorong tumbuhnya potensi anak-anak kita makin melejit. Dengan apa ?, yang paling awal pastikan anak-anak kita mencintai belajarnya. Uraian lebih lengkap bisa dibaca pada tulisan saya yang berjudul “Pemelajar otonom” yang sempat dipublish oleh harian nasional Republika.

3. Komunikasi yang baik antara pihak guru, orang tua, wali kelas dan BK.

Keunikan anak-anak kita dengan segala macam potensinya, akan juga membuat pola didiknya juga unik. Hal ini yang perlu dikomunikasikan dengan baik antar pihak ini. Temuan potensi Oher pada “naluri melindungi”, awalnya terjadi karena komunikasi yang apik antara orang tua angkatnya dengan wali kelasnya. Sehingga hal ini yang mendorong orang tua Oher untuk mencari jalan terbaik bagi potensinya.

Setiap sekolah memiliki cara yang beragam untuk merakit komunikasi yang harmonis ini. Bisa diawal tahun, pembagian raport, atau dilakukan secara rutin dengan jadwal yang disepakati. Dan sekali lagi, karena anak-anak kita unik, maka pembicaraan intens dan mendalam pastinya membutuhkan porsinya yang cukup.

Saya salut dengan peran guru seperti Pak Guru Nikumbh pada film Taare Zameen Paar (Like Star On Earth, film India produksi tahun 2007), dimana siswa yang bernama Ishaan Awasth, yang mendapatkan banyak label kemalasan dan kebodohan, belum bisa membaca pada umurnya yang 8 tahun, ternyata mengidap dyslexia (gejala psikologis yang membuat tiap kata/huruf yang tersusun pada tulisan terlihat terbolak balik acak). Pak Guru Nikumbh ini yang berkomunikasi dengan apik kepada orang tua Ishaan dengan membawa portofolio seninya. Diakhir cerita, bakat istimewa Ishaan ternyata di seni lukis.

Kita perlu dan patut curiga, di kelas-kita saat ini jangan-jangan masih banyak “raksasa” yang tertidur pulas, “raksasa” yang dengan potensi besarnya belum optimal kita pantik. Hayuk kita bangkitkan “raksasa” ini segera, karena dunia sangat membutuhkan mereka.

Yakinlah, diantara mereka akan ada yang jadi pemimpin Indonesia bahkan dunia dimasa mendatang. Tetap semangat mendidik generasi.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image