Politik Kesehatan, BPJS dan Defisit Komunikasi
Politik | 2022-02-25 10:10:44Sehat itu berharga. Pandemi mengajarkan hal penting pada dunia, bahwa status kesehatan mampu bertransformasi menjadi momok yang menakutkan. Sistem kesehatan di seluruh negara tidak siap, dan kita belajar banyak atas kondisi wabah kali ini.
Kesehatan yang selama ini menjadi aspek politik yang terpinggirkan, menjadi poros sentral di masa pandemi. Bagaimana selanjutnya?
Persoalan kesehatan menjadi begitu berharga ketika berkaitan dengan aspek kehilangan nyawa dan kehidupan. Sakit, penyakit dan kesakitan yang berpotensi pada terjadinya kematian -mortalitas dan kecacatan -morbiditas, jelas patut diupayakan untuk dihindari.
Terlebih bila hal jenis penyakit tersebut menjadi gangguan bagi ekosistem secara keseluruhan secara sistemik.
Diluar masalah pandemi, sektor kesehatan selalu menempati posisi tematik kelas dua. Pembahasan mengenai pentingnya kesehatan, dan termaktub pendidikan biasanya secara bersamaan, hanya menjadi bagian yang disuarakan menjelang masa kampanye politik.
Problematika kesehatan yang senyap dibahas, lalu berubah menjadi janji politik menjelang periode pemilihan. Pandemi seharusnya menampar keras realitas tersebut.
Kesehatan kini tidak bisa lagi dipandang persoalan remeh temeh, dari isu politik rendah -low politic menjadi poin politik tingkat tinggi -high politic.
Orientasi Manusia di BPJS Kesehatan
Kapasitas sistem kesehatan nasional memang belum terbilang ideal, meski memiliki program raksasa yang sangat kolosal, dengan menargetkan sasaran seluruh penduduk, yakni BPJS Kesehatan. Selama ini program jaminan tersebut selalu berhadapan dengan defisit anggaran.
Justru di masa pandemi, BPJS Kesehatan terlihat perkasa, memiliki buku neraca surplus. Banyak aspek yang menjadi sorotan, mulai dari selektifnya peserta datang ke pusat layanan kesehatan, hingga bertambahnya peserta non aktif karena ketidakmampuan membayar premi.
Amanat BPJS Kesehatan adalah perlindungan sekaligus jaminan kesehatan sebagai bentuk asuransi sosial semesta. Dengan begitu kuantitas jumlah peserta menjadi mutlak dibutuhkan, untuk menjaga keberlangsungan pembiayaan program.
Bila kemudian kita menyatakan bahwa kesehatan adalah hak warga negara, maka sisi penyeimbangnya adalah upaya menuju masyarakat yang sehat merupakan tanggung jawab dari penyelenggara kekuasaan. Dua sisi hak dan tanggung jawab saling terkait.
Kapasitas negara yang terbatas perlu diuji ulang. Bagaimana sudut pandang kekuasaan melihat isu-isu kesehatan? Apakah tema yang sesungguhnya menjadi hajat publik itu lebih terlihat inferior dibandingkan dengan keinginan untuk pemindahan Ibu Kota Negara?
Pada titik tersebut, tentu tidak hanya diperlukan kehendak politik yang kuat -political will, namun perlu ditambahkan aksi politik yang utuh -political act.
Dimana letak peran negara dalam melindungi warganya? Tentu terlihat dari keseriusan untuk memberikan pelayanan terbaik bagi kepentingan publik.
Pandemi belum lagi usai, anggaran yang dipergunakan untuk memulihkan seluruh sektor pasca pandemi sangat besar, termasuk diantaranya terkait perawatan dan vaksinasi penduduk. Apakah hal ini dapat terus berjalan post pandemi, di kondisi kehidupan new normal?
Kita tentu memiliki harapan agar pemangku kuasa mampu mengurai persoalan kesehatan secara lebih jernih, agar kita tidak menjadi negara yang sakit. Ambisi besar infrastruktur bukan sekedar berbicara aspek fisik, melainkan tentang manusia sebagai subjek pembangunan.
Minimnya Komunikasi Kebijakan
BPJS Kesehatan kemudian kini muncul sebagai syarat bagi berbagai akses layanan publik yang lain. Bentuk syarat bertingkat ini menimbulkan kekhawatiran terhadap kesulitan untuk mendapatkan pelayanan.
Sekali lagi tujuan yang baik bisa menjadi buruk tanpa proses komunikasi yang mumpuni. Kini para pejabat terkait, sibuk melakukan klarifikasi atas hal tersebut. Situasi ini merupakan buntut dari minimnya perencanaan komunikasi kebijakan.
Sebuah kebijakan publik pasti berkaitan dengan kepentingan masyarakat banyak, dan untuk itu formulasi kebijakan harus disertai dengan cara komunikasi yang sesuai. Tidak hanya dituntut untuk tepat sasaran, komunikasi kebijakan juga harus tepat waktu dan situasi.
Dengan pernyataan bahwa amanat BPJS Kesehatan sebagai cakupan nasional dan semua warga menjadi sasaran program, maka upaya mewajibkan adalah cara untuk melibatkan partisipasi publik secara meluas jelas sebuah hal tidak tepat.
Mengapa begitu? Karena publik justru bertanya, sejauh apa sistem integrasi data kependudukan nasional yang sempat digadang-gadang melalui proyek ambisius bernilai besar berjudul E-KTP? Sebab yang tersisa kemudian hanya kasus bancakan anggaran.
Psikologi publik belum juga pulih dirundung pandemi, harus berhadapan dengan kenaikan harga minyak goreng, cabai, hingga tempe, juga soal JHT yang tidak jelas, membuat pusing warga. Proses komunikasi kebijakan publik harus dirancang sensitive atas situasi sosial.
Tanpa melihat latar belakang dan kondisi yang aktual terjadi di masyarakat, sebuah kebijakan publik yang ditujukan untuk kebaikan publik -versi pengambil kebijakan, ternyata bisa berjarak dari kehendak publik. Sebut saja UU Omnibus dan UU IKN yang masih terus diperdebatkan.
Komunikasi kebijakan tidak hanya ditujukan untuk mempersuasi, sekaligus melakukan edukasi dan sosialisasi, tetapi hal yang lebih penting adalah menciptakan terbentuknya kepercayaan -trust sebagai modal sosial yang paling berharga.
Lagi-lagi disini letak soalnya, ketika orientasi hasil mengabaikan proses, maka sulit membangun rasa saling percaya ketika aspek keterbukaan, kejujuran dan transparansi tidak terjadi. Kita disuguhi dengan berbagai OTT KPK, terlihat layar kaca.
Kini, bukan hanya sulit menciptakan rasa percaya publik, tetapi juga mahal harga kepercayaan tersebut di tengah situasi pandemi yang belum mereda. Defisit kepercayaan terjadi.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.