Sejarah Hidayatullah (3): Dari Balikpapan Menyebar ke Nusantara

Sejarah  
Para kader Hidayatullah di Kampus Induk Gunung Tembak, Kalimantan Timur.

Suatu ketika, di awal perintisan Pesantren Hidayatullah di Gunung Tembak, Balikpapan, Kalimantan Timur, KH Abdullah Said, pendiri Hidayatullah, mengumpulkan sejumlah santri muda. Sebenarnya, mereka bukanlah santri-santri pilihan. Mereka tak memiliki banyak keahlian, juga tak terlalu menguasai ilmu-ilmu agama. Mereka hanya santri-santri biasa.

Namun, yang membuat mereka luar biasa adalah keberanian memikul amanah yang rasanya tak akan sanggup bila dipikul anak muda kebanyakan. Yakni, membuka kampus Hidayatullah di Papua, wilayah paling timur Indonesia.

Sekelompok anak muda ini berangkat dengan bekal seadaanya. Uang yang dibawa hanya cukup untuk perjalanan hingga ke atas kapal penyeberangan. Selebihnya, mereka dipersilahkan berikhtiar sendiri seraya selalu berharap pertolongan dari Allah Ta'ala.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Setibanya di Papua, cerita KH Abdurrahman Muhammad, yang kini menerima amanah sebagai Pemimpin Umum Hidayatullah, para santri tersebut harus memanggul sendiri bahan-bahan bangunan yang kelak akan dipakai untuk membangun kampus, melewati belantara berjarak puluhan kilometer.

Jika ada persoalan berat yang sulit sekali dipikul, para santri ini diminta mengadukan seluruh persoalan mereka kepada Allah Ta'ala lewat shalat malam. "Mengadulah kepada Allah lewat rukuk dan sujud yang lama," ucap KH Abdurrahman Muhammad dalam sebuah majelis yang dihadiri para tetua Hidayatullah pada Oktober 2012, menirukan nasehat sahabatnya KH Abdullah Said kepada para santri tersebut. Penulis juga hadir dalam majelis tersebut.

Bertahun-tahun kemudian sekelompok anak muda ini telah berhasil mendirikan Kampus Hidayatullah di tanah Papua. Namun, tugas mereka belum selesai. Sebagian dari mereka kembali ditugaskan membuka kampus-kampus baru di daerah lain. Bukan di timur Indonesia, tapi di barat, tepatnya di sebelah utara Pulau Sumatera.

"Beginilah kader-kader Ustadz Abdullah Said digembleng. Mereka bukan dai biasa. Mereka dai pejuang. Kita semua adalah kader beliau. Kita adalah buah dari kiprah beliau," jelas KH Abdurrahman Muhammad.

Apa yang dikisahkan oleh KH Abdurrahman Muhammad ini diamini oleh Ustadz Anshor Amiruddin, kader senior Hidayatullah dalam acara Sarasehan Pendiri dan Perintis Hidayatullah pada 11 Juni 2015 di Batam, Kepulauan Riau. Penulis juga ikut dalam acara ini.

"Saat itu, tidak ada rasa takut pada diri kader ketika ditugaskan ke mana saja. Sebab, Allahuyarham Ust Abdullah Said selalu berkata 'Allah yang di Gunung Tembak sama dengan Allah yang ada di tempat tugas yang baru. Jadi, mintalah pertolongan kepada Allah sebagaimana kita di Gunung Tembak juga meminta pertolongan kepada Allah'," kata Anshor yang pada Agustus 2020 lalu telah dipanggil oleh Allah Ta'ala.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyona saat bertandang ke Pesantren Hidayatullah Gunung Tembak, Balikpapan.

Hal senada juga diutarakan oleh Ust Sarbini Nasir, di acara yang sama. "Sejak awal perintisan kita telah didik untuk berani tampil. Saya yang dulu masih bodoh tak takut berceramah meskipun penguasaan ilmu agama saya terbatas. Sampai-sampai, ketika diminta berceramah di atas kapal (penyeberangan), saya salah menyebutkan lafaz intansurullah yansurkum. Saya sebut intansurkum," cerita Sarbini seraya tertawa mengenang masa lalunya.

Lain lagi cerita Ust Yusuf Suraji, kader senior Hidayatullah, juga di acara yang sama, ketika ditugaskan oleh KH Abdullah Said untuk berdakwah dan membuka kampus Hidayatullah di Papua. "Uang dikasih hanya Rp 25 ribu. Mana cukup? Tapi saya berangkat juga," kata Yusuf.

Di Papua, Yusuf sempat diminta menjadi juri Musabaqoh Tilawatil Qur'an (MTQ). Padahal, ketika itu, ia belum lancar mengaji. Ia juga diminta mengisi ceramah di depan anggota Muspida (Musyawarah Pimpinan daerah). Lagi-lagi, dengan segala keterbatasannya, Yusuf menerima permintaan itu. "Bilal itu kulitnya hitam. Semua hitam, kecuali giginya saja yang putih," cerita Yusuf menirukan materi ceramahnya dulu.

Yusuf lupa kalau orang-orang Papua juga berkulit hitam. Rupanya, seorang Bupati yang ikut mendengar ceramah Yusuf merasa tersinggung. Untunglah Yusuf menyadari kekeliruannya dan segera meminta maaf.

Kisah yang lebih menegangkan dialami oleh Ust Sabaruddin, salah seorang kader Hidayatullah yang ditugaskan membuka kampus baru di Wemena, Papua, pada tahun 2000. "Nyawa saya hampir melayang," cerita Sabar, panggilan akrabnya, saat ditemui penulis pada akhir tahun 2002, yang kemudian diterbitkan oleh Harian Republika pada tahun yang sama.

Ketika itu, kata Sabar, ia dan beberapa keluarga Muslim dikepung di sebuah masjid. Para pengepung banyak sekali. Mereka menari-nari sambil memegang parang, tombak, dan panah. Mereka hanya berpakain koteka.

Sabar hanya bisa mengintip dari balik mimbar. Mau melawan, jelas tidak mungkin. Keluarga Muslim yang berada di masjid itu kebanyakan ibu-ibu dan anak-anak.

Di saat genting seperti itu, Sabar berdoa sangat khusuk kepada Allah Ta'ala. Muncullah perasaan berani dan yakin akan pertolongan Allah Ta'ala. Lalu, ia kumpulkan ibu-ibu dan anak-anak yang bersembunyi di masjid tersebut, dan ia ajak berjalan pelan mengikutinya dari belakang.

Sepanjang perjalanan, Sabar tak henti-hentinya membaca surat Yasin ayat 8, mengharap pertolongan Allah Ta'ala. Ajaib! Para pengepungnya sama sekali tak melihat kalau Sabar dan rombongan telah berjalan melewati mereka. "Kami berjalan tenang, padahal jarak kami hanya 3 meter saja. Allah telah membutakan mata mereka," jelas Sabar.

Setelah jauh, barulah para pengepung menyadari kalau buruannya telah kabur. Mereka marah dan membakar masjid tempat Sabar tadi bersembunyi. Sabar baru tahu kalau masjid itu dibakar setelah beberapa hari kemudian.

Cerita-cerita seperti ini banyak sekali tersimpan dalam memori para kader Hidayatullah yang ditugaskan berdakwah di wilayah-wilayah terpencil. Mereka berani menerima tantangan dengan segala keterbatasan. Mereka amat yakin dengan pertolongan Allah Ta'ala. Mereka rela memilih jalan yang tak banyak dipilih orang.

Tahun 1998 adalah tahun duka cita bagi Hidayatullah. Pada tahun itu, tepatnya 4 Maret 1998, KH Abdullah Said, pendiri Hidayatullah, wafat. Semua berduka. Perjalanan panjang pun sejenak terjeda.

"Sorot mata yang tajam itu kini sudah tiada. Mata itu telah tertutup rapat. Tiada bedanya dengan orang yang tengah tertidur lelap," tulis Manshur Salbu, kader senior Hidayatullah, dalam bukunya Mencetak Kader.

"Semua warga Hidayatullah akan selalu mengingat pesan yang pernah beliau sampaikan sambil berurai air mata, bahwa Hidyatullah harus terus berjalan (sepeninggal beliau nanti)," tulis Manshur Salbu pada halaman lain buku tersebut.

Jeda ini tak boleh lama. Maka, bebeberapa hari setelah wafatnya KH Abdullah Said, berkumpullah para kader senior di Kampus Hidayatullah Karang Bugis, Kalimantan Timur. Ini adalah kampus pertama yang dibangungun oleh Allahuyarham KH Abdullah Said sebelum membangun kampus induk di Gunung Tembak, Kalimantan Timur.

Dalam pertemuan tersebut, semua kader sepakat untuk menunjuk KH Abdurrahman Muhammad sebagai pengganti Allahuyarham KH Abdullah Said. Setelah berkali-kali menolak karena merasa belum pantas, akhirnya tak ada pilihan lain bagi KH Abdurrahman Muhammad selain menerima beban berat tersebut.

Tongkat estafet telah terpegang. Jeda telah usai. Langkah kembali dilanjutkan. KH Abdurrahman Muhammad, sebagai nakhoda baru, menginginkan kepemimpinan kolektif dalam mengendalikan biduk Hidayatullah. Ia merasa perlu didampingi oleh banyak kader senior dan memutuskan segala sesuatu lewat syuro.

Kantor Pusat Dakwah Hidayatullah di Cipinang Cempedak, Jakarta Timur.

Sejalan dengan itu, pada tanggal 13 Juli 2000, atau 11 Jumadil Tsani 1421 H, Hidayatullah mengubah wujudnya dari yayasan (organisasi sosial) menjadi organisasi massa (ormas) Islam. Pada tahun itu juga digelar Musyawarah Nasional (Munas) pertama Hidayatullah di Balikpapan, Kalimantan Timur. Inilah proses metamorfosis yang harus dilalui Hidayatullah.

Sejak saat itu, Hidayatullah memiliki sejumlah lembaga tingkat pusat yang berkedudukan di Jakarta. Sedangkan KH Abdurrahman Muhammad sendiri, sebagai pemimpin tertinggi di Hidayatullah, tetap berkedudukan di Kampus Gunung Tembak, Kalimantan Timur. Lembaga-lembaga tingkat pusat ini berfungsi membantu KH Abdurrahman Muhammad menjalankan roda organisasi.

Lembaga-lembaga tingkat pusat ini, dari periode ke periode, selalu berubah-ubah, sesuai kebutuhan saat itu. Pada periode terakhir --setelah Munas ke-5 tahun 2020-- lembaga-lembaga tersebut terdiri atas Dewan Pertimbangan, Majelis Penasehat, Dewan Mudzakarah, Dewan Murobbi Pusat, dan Dewan Pengurus Pusat.

Di tingkat wilayah juga dibentuk Dewan Pengurus Wilayah (DPW) bersama perangkat-perangkatnya. Saat ini, DPW Hidayatullah telah ada di 34 propinsi di Indonesia. Demikian pula Dewan Pengurus Daerah (DPD), telah ada di 374 kabupaten/kota di seluruh Indonesia (atau 73% dari total jumlah Kabupaten/Kota di Indonesia).

Visi dan misi organisasi telah ditetapkan. Pedoman Dasar Organisasi juga telah disusun. Hal-hal yang bersifat kultural, seperti jati diri dan gerakan nawafil, telah dirumuskan. Perekrutan kader telah dibuka lebar. Semua masyarakat bisa ikut terlibat dalam gerakan Hidayatullah dengan melewati sejumlah marhalah. Pembinaan kader dilakukan lewat wadah halaqoh.

Sekolah-sekolah Hidayatullah telah berdiri. Hingga tahun 2020, tak kurang dari 313 sekolah integral telah tersebar di seluruh Indonesia, plus 6 perguruan tinggi. Demikian juga amal-amal usaha, mulai dari Baitul Mal Hidayatullah, Baitul Waqaf Hidayatullah, Baitut Tanwil Hidayatullah, Islamic Medical Service, Search and Rescue, Lembaga Bantuan Hukum, Sahabat Anak Indonesia, Pos Dai, hingga Kelompok Media Hidayatullah.

Gedung-gedung dan perkantoran telah dibangun. Program demi program telah dijalankan. Hidayatullah ---sebagaimana pesan Allahuyarhan KH Abdullah Said--- atas izin Allah Ta'ala, terus berjalan.

Inilah sekelumit kisah perjalanan Hidayatullah. Tahun 2021 lalu, tepatnya tanggal 10 Agustus 2021 atau 1 Muharram 1443 H, "Kampung Pengkaderan" yang dulu dicita-citakan oleh KH Abdullah Said, telah berusia 50 tahun.

Kini, ia bukan lagi sebuah "perkampungan" yang dulu dicita-citakan KH Abdullah Said. Kini Hidayatullah telah berubah menjadi organisasi pergerakan yang dengan izin Allah Ta'ala akan terus membesar. *** (Tamat)

Penulis: Mahladi Murni

BACA JUGA:

Sejarah Hidayatullah (2): Kampus Berperadaban Itu Bernama Hidayatullah
Sejarah Hidayatullah (1): Dari Syanggit Menuju Balikpapan

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

Jaga Iman dengan Berbagi Renungan

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

× Image