Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Galuh Enggar

Ronggeng Dukuh Paruk dan Estetika Tubuh: Kuasa, Tradisi, dan Pengawasan Sosial

Sastra | 2025-05-30 06:38:51
Foto oleh Didi Lecatompessy: https://www.pexels.com/id-id/foto/penari-31036831/

Novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari kerap dibahas dalam konteks sosial-politik, tradisi, dan tragedi sejarah. Namun, tulisan ini menawarkan pembacaan yang lebih dalam melalui pendekatan bio-politik Michel Foucault, yang membahas bagaimana tubuh, terutama tubuh perempuan, direproduksi sebagai objek estetika dan alat kuasa dalam struktur sosial. Melalui tokoh Srintil, ronggeng tidak hanya menjadi simbol tradisi, tetapi juga ruang negosiasi antara kebebasan tubuh dan kontrol sosial.

Ronggeng, dalam konteks Dukuh Paruk, bukan hanya penari. Ia adalah ikon budaya, juru penyambung identitas kolektif, dan paradoks dari kekuatan dan keterkungkungan. Tokoh Srintil sebagai ronggeng utama bukan hanya hadir untuk menari dan menyanyi; tubuhnya menjadi situs kuasa dan komodifikasi, baik oleh masyarakat adat maupun negara. Dalam konteks ini, bio-politik ala Foucault—yakni strategi bagaimana kekuasaan mengatur kehidupan manusia melalui tubuh—menjadi alat teoritik yang relevan.

Tubuh Ronggeng sebagai Objek Estetika dan Alat KontrolDalam Ronggeng Dukuh Paruk, tubuh Srintil dikonstruksi bukan oleh dirinya, tetapi oleh hasrat kolektif Dukuh Paruk. Sejak kecil, Srintil “diyakini telah kerasukan indang” (roh seni), sebuah legitimasi mistik yang menutup segala pertanyaan kritis terhadap persetujuannya. Dengan demikian, tubuh Srintil telah “diperbolehkan” untuk dijadikan tontonan, perayaan, bahkan pemuas hasrat, sebagai bentuk pengabdian budaya.
Teori bio-politik Foucault menyatakan bahwa kekuasaan modern tidak lagi bekerja melalui represi langsung, tetapi lewat kontrol terhadap tubuh—produksi, pengetahuan, dan perilakunya. Srintil menjalani proses itu saat tubuhnya disiapkan untuk bukak klambu (ritual penyerahan keperawanan), sebuah praktik simbolik di mana kontrol atas tubuh perempuan diberikan kepada komunitas secara kolektif. Di sini terlihat bahwa tubuh Srintil bukan milik pribadi, melainkan publik. Kuasa bekerja melalui pengaturan makna tubuh oleh sistem nilai lokal, bukan kekuatan militer atau negara.

Tegangan antara Subjektivitas dan Representasi SosialDi balik kesadaran kolektif bahwa ronggeng adalah milik desa, terdapat suara batin Srintil yang meronta. Dalam Lintang Kemukus Dinihari, Srintil menyadari bahwa ia ingin menjadi “perempuan biasa”, bukan simbol. Namun, setiap kali ia menolak pentas, “Dukuh Paruk menjadi sepi” dan penduduk merasa kehilangan identitas kolektifnyaIni memperkuat argumen Foucault bahwa tubuh adalah lokasi di mana kekuasaan dan perlawanan bertemu. Srintil tidak pernah benar-benar berdaulat atas tubuhnya, sebab ketika ia menolak peran sosialnya sebagai ronggeng, tekanan sosial—bahkan magis—segera bekerja untuk menundukkan nya kembali.

Tubuh, Negara, dan Politik Propaganda

Dalam Jentera Bianglala, konteks makin meluas ketika kekuasaan negara masuk dalam kehidupan Dukuh Paruk. Srintil dan calung Dukuh Paruk dijadikan alat propaganda politik, yang menunjukkan bagaimana tubuh ronggeng kini tak hanya berada dalam kerangka adat, tapi juga dijerat oleh kuasa negara. Penguasa militer mengeksploitasi tarian Srintil untuk menarik massa dalam rapat-rapat politik
Tubuh perempuan sebagai alat propaganda menunjukkan berlakunya bio-politik dalam cakupan negara-bangsa. Tubuh yang estetis dan “berdaya tarik” seperti Srintil, direkrut untuk melayani proyek ideologis, bukan atas dasar pilihan personal, tetapi karena ia memiliki citra publik yang bisa dikelola.

Penutup

Novel Ronggeng Dukuh Paruk bukan sekadar kisah cinta atau tragedi sejarah. Ia adalah dokumen sastra yang memperlihatkan bagaimana tubuh perempuan diposisikan, dipolitisasi, dan dikendalikan oleh struktur kuasa yang kompleks: adat, komunitas, dan negara. Melalui pendekatan bio-politik, kita bisa melihat bahwa estetika tubuh Srintil bukanlah ruang kebebasan, tetapi ruang pertarungan antara kehendak pribadi dan hegemonik budaya.

Referensi

Tohari, Ahmad. Ronggeng Dukuh Paruk. Jakarta: Gramedia, 1982.

 

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image