IMM Surakarta dalam Kemacetan Kesadaran
Curhat | 2025-05-25 00:20:52Surakarta, atau yang lebih sering kita sebut solo dulunya adalah kota perlawanan. Kota yang melahirkan cikal bakal organisasi paling berpengaruh bagi kemerdekaan indonesia. Banyak tokoh yang terlahir dari kota ini, mulai dari Samanhudi, Haji Misbah sampai Wiji tukul semua menarasikan hal yang sama “perlawanan”. Gang-gangnya menjadi saksi bagaimana buruh mogok kerja, mahasiswa yang turun ke jalan, dan rakyat kecil yang menolak digusur. Tapi itu dulu. Kini kota ini dibungkus dalam plastik mewah bernama “oligarki”.
Manahan tidak lagi hanya tentang stadion. Ia adalah simbol: bagaimana ruang rakyat dikepung proyek mercusuar. Di sebelahnya, Paragon menjulang tempat kelas menengah baru menenangkan diri dari inflasi dengan diskon dan AC.
Tapi yang paling sunyi justru mereka yang mengaku intlektual organik. IMM Solo, organisasi kader yang konon diwarisi oleh semangat Ahmad Dahlan dan tafsir sosial al-Ma’un, kini seperti kehilangan daya dan suara. Di tengah kota yang sesak oleh ketimpangan, mereka berjalan seolah kota ini baik-baik saja. IMM Solo sedang tersesat. Bukan karena tidak tahu jalan pulang, tapi karena terlalu nyaman di perempatan.
Dari Kaderisasi ke Kosmetik Identitas
Dalam banyak forum, IMM Solo masih bicara soal ideologi, kaderisasi, dan integrasi trilogi. Tapi di lapangan, mereka lebih tampak seperti manajemen event daripada gerakan mahasiswa.
Kaderisasi diselenggarakan dengan baik, rapi, bahkan megah. Tapi pertanyaannya bukan seberapa bagus spanduk dan rundown acara. Pertanyaannya: apa yang diperjuangkan setelah itu?
Apakah mereka bergerak setelah Darurat Sampah di Putri cempo? Setelah warga Kentingan baru di gusur oleh aparat? Setelah rakyat Palestina dibombardir Israel dan Indonesia membeli senjata dari negara yang sama?
Atau IMM Solo cukup puas dengan sikap-sikap normatif yang dibacakan di atas mumbar, direkam dalam Instagram Story, lalu dilupakan esok paginya?
Di saat bobotoh menjadikan Persib sebagai identitas sekaligus senjata sosial, IMM Solo masih sibuk membenahi kosmetik identitasnya sendiri.
Kekosongan yang Riuh
Ada semacam kekosongan dalam tubuh IMM Solo hari ini, kekosongan yang anehnya sangat riuh. Grup WhatsApp ramai, kegiatan banyak, konten sosial media aktif. Tapi substansi sering kali nihil.
Ini bukan tentang membenci kegiatan internal. Ini tentang bagaimana kegiatan itu gagal membentuk posisi sosial. Kita bukan kekurangan acara. Kita kekurangan keberpihakan.
Sebagian kader sibuk merapikan surat-menyurat, mencetak sertifikat, menulis Laporan Pertanggungjawaban. Padahal di luar sana, rakyat menulis laporan kehilangan atas tanah, udara, dan hak hidupnya.
Tafsir yang Terlupakan
Muhammadiyah dulu hadir sebagai gerakan pembebasan: melawan kolonialisme, kebodohan, dan ketimpangan. IMM lahir untuk mewarisi itu: agar kaum muda tidak hanya menjadi ahli tafsir teks, tapi juga ahli tafsir realitas.
Namun kini, IMM Solo tampak lebih dekat ke protokol administratif daripada semangat pembebasan. Lebih sibuk bernegosiasi dengan birokrasi daripada menantang hegemoni.
Kita mengutip Ahmad Dahlan dan Buya Syafii Maarif, tapi lebih sering menyerah pada ketakutan yang kita bangun sendiri: takut pada konflik, takut pada organisasi, takut pada opini. Tafsir al-Ma’un seolah hanya jadi kutipan pembuka. Padahal mestinya jadi langkah pertama.
Harapan yang Harus Diancam
Tentu belum semuanya hilang. Masih ada kader-kader yang gelisah. Yang merasa muak dengan rutinitas tanpa tujuan. Yang bertanya, “Apakah kita hanya dilatih untuk jadi pengurus rapat dan panitia event?”.
Kepada mereka tulisan ini diarahkan. IMM Solo masih mungkin berubah. Tapi perubahan hanya mungkin jika ada yang mengguncang. Dan kritik adalah bagian dari cinta yang mengguncang itu.
Jika IMM ingin relevan, ia harus lebih dari sekadar organisasi. Ia harus kembali jadi belati: memotong kepalsuan, merobek kemunafikan, dan menusuk pusat ketidakadilan sosial di kota ini.
Kita tidak kekurangan kader dan forum. Yang kita butuhkan api keberanian untuk melawan status quo dan sampai IMM Solo sadar bahwa kota ini membutuhkan lebih dari sekadar seminar dan podcast. Sampai saat itu tiba kita hanya akan terus berjalan di tempat, dengan seragam merah marun yang semakin memudar oleh waktu.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
