Sistem Perekonomian Islam, Solusi Etis dan Berkeadilan bagi Dunia Modern
Agama | 2025-05-07 05:34:54Dunia Mencari Alternatif
Krisis keuangan global, utang negara yang membengkak, dan kesenjangan sosial yang kian melebar—ini adalah realitas pahit dari sistem ekonomi konvensional yang selama ini mendominasi dunia. Kapitalisme mendorong pertumbuhan tanpa batas, namun kerap mengorbankan keadilan sosial. Sosialisme mencoba membalik keadaan, tapi sering kali mengekang inovasi dan hak milik. Di tengah dua kutub ekstrem ini, Sistem Perekonomian Islam hadir sebagai jalan tengah: menggabungkan efisiensi pasar dengan nilai-nilai spiritual dan moral yang kuat.
1. Fondasi: Etika dan Spiritualitas dalam Ekonomi
Berbeda dari sistem lain yang bersifat sekuler, ekonomi Islam berangkat dari visi tauhid: bahwa manusia adalah khalifah di bumi yang bertanggung jawab kepada Tuhan dan sesama manusia. Ini melahirkan sistem ekonomi yang menyeimbangkan tiga hal: pertumbuhan, keadilan, dan keberlanjutan.
Nilai-nilai utama:
- Tauhid: Keesaan Tuhan sebagai dasar bahwa semua kekayaan adalah titipan.
- Keadilan (al-‘adl): Tidak boleh ada penindasan ekonomi, eksploitasi, atau penumpukan kekayaan yang tidak produktif.
- Keseimbangan (mizan): Tidak mendorong konsumerisme berlebihan atau kemiskinan struktural.
- Kebebasan dalam koridor syariah: Islam tidak menolak kepemilikan pribadi, tapi mengaturnya untuk kemaslahatan bersama.
2. Prinsip-Prinsip Praktis dalam Sistem Ekonomi Islam
Sistem ekonomi Islam tidak berhenti di tataran idealisme. Ia diterjemahkan ke dalam mekanisme yang sangat praktis:
a. Larangan Riba (Bunga)
Riba dilarang karena menimbulkan ketidakadilan dan menjadikan uang sebagai komoditas. Dalam sistem konvensional, bunga justru menjadi alat eksploitasi terselubung, terutama bagi masyarakat miskin.
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275)
b. Zakat dan Redistribusi
Setiap Muslim diwajibkan mengeluarkan zakat 2,5% dari hartanya yang telah mencapai nishab. Ini adalah sistem redistribusi kekayaan yang langsung menyasar kaum miskin tanpa birokrasi panjang. Di Malaysia, zakat produktif telah membantu ribuan pelaku UMKM keluar dari garis kemiskinan.
c. Transparansi dan Anti-Spekulasi
Konsep gharar dan maysir mencegah transaksi yang tidak jelas atau spekulatif. Dunia pasca-krisis finansial 2008 baru menyadari bahayanya transaksi derivatif dan instrumen yang tidak didasarkan pada aset nyata—sesuatu yang sudah diantisipasi oleh sistem Islam 14 abad lalu.
3. Instrumen-Instrumen Modern Ekonomi Islam
Sistem ekonomi Islam berkembang melalui berbagai instrumen finansial yang telah disesuaikan dengan zaman modern:
Sukuk, misalnya, telah digunakan oleh Pemerintah Indonesia untuk membiayai pembangunan jalan, jembatan, dan universitas—semuanya tanpa melibatkan bunga.
4. Relevansi Global: Dari Timur Tengah hingga Eropa
Ekonomi Islam bukan hanya untuk negara Muslim. Inggris, salah satu pusat keuangan dunia, telah mengeluarkan Sukuk Sovereign dan memiliki lebih dari 20 bank syariah dan unit syariah. Di Jerman, Islamic fintech berkembang pesat karena kesadaran masyarakat terhadap etika investasi.
Bahkan dalam dunia startup dan digital, muncul inovasi seperti Shariah-compliant crowdfunding, peer-to-peer lending halal, dan dompet digital yang menghindari transaksi spekulatif. Ekonomi Islam bergerak dari masjid ke pasar global.
5. Tantangan dan Harapan
Meski potensinya besar, sistem ekonomi Islam masih menghadapi tantangan:
- Kurangnya literasi keuangan syariah di banyak negara
- Perlu harmonisasi fatwa antar-negara
- Keterbatasan SDM dan regulator yang paham ekonomi Islam
Namun di sisi lain, gelombang perubahan besar sudah terlihat. Generasi muda Muslim kini lebih kritis terhadap sistem keuangan konvensional dan mulai memilih layanan keuangan berbasis syariah. Laporan Ernst & Young menunjukkan bahwa 71% milenial Muslim lebih memilih bank yang sesuai syariah.
Kesimpulan: Islam Menawarkan Lebih dari Sekadar Alternatif
Sistem perekonomian Islam bukan sekadar sistem agama—ia adalah sistem peradaban, di mana kekayaan bukan hanya dihitung dalam angka, tetapi juga dalam keberkahan. Di tengah dunia yang kelelahan dengan ketidakpastian dan ketimpangan, ekonomi Islam tampil bukan untuk mengganti sistem yang ada, tetapi untuk menawarkan jalan ketiga yang lebih adil, etis, dan berkelanjutan.
Jika dunia mau melihat ke arah ekonomi yang lebih beradab dan inklusif, maka sistem perekonomian Islam layak untuk dipertimbangkan secara serius—bukan karena dogma, tetapi karena logika, etika, dan hasil nyata.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
