Refleksi Kritis terhadap Kurikulum Pendidikan di Indonesia: Perspektif Hukum dan Filsafat
Pendidikan | 2025-05-06 11:11:57
Pendidikan merupakan salah satu fondasi utama dalam pembangunan bangsa. Di Indonesia, sistem pendidikan nasional diatur dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang menyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah membentuk manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, dan mandiri (Pasal 3). Sayangnya, dari sisi implementasi, pendidikan kita Dewasa ini sering kali gagal mencerminkan tujuan tersebut karena dominasi paradigma materialistik dan kompetitif.Salah satu faktor yang memengaruhi orientasi pendidikan modern di Indonesia ini adalah interpretasi keliru atas teori evolusi Darwin, khususnya konsep survival of the fittest. Konsep ini telah disalahartikan sebagai justifikasi atas kompetisi bebas dalam dunia pendidikan, sehingga para pembelajar lebih diarahkan pada pencapaian prestise individual daripada pembentukan diri secara utuh.
Dilihat dari perspektif hukum, pendidikan harusnya menjadi alat untuk menciptakan keadilan sosial dan kesetaraan.
Menurut Muhammad Natsir (2013), pendidikan Islam mengajarkan bahwa manusia adalah makhluk integral yang terdiri dari jiwa, raga, dan ruh. Pendidikan yang baik harus mampu membentuk manusia sebagai hamba Allah yang paripurna⁴. Hal senada diungkapkan juga oleh Adian Husaini (2015), yang menyebut bahwa pendidikan bukan hanya soal "bagaimana hidup", tetapi juga "apa makna hidup".
Sedangkan Dari sudut filsafat pendidikan, pendidikan seharusnya menjadi proses pembentukan manusia secara integral mencakup aspek intelektual, emosional, dan spiritual. Oleh karena itu, diperlukan refleksi kritis terhadap kondisi pendidikan nasional, terutama dalam hal perumusan dan implementasi kurikulum.
UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 3 menyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang luhur dan juga bermartabat. Selain itu, PP No. 19 Tahun 2005 menegaskan bahwa standar isi pendidikan Nasional harus mencakup pengembangan potensi peserta didik secara utuh dan Menyeluruh, termasuk aspek moral, agama, kepribadian, akademik, dan keterampilan hidup.Sayangnya, dalam implementasinya, indikator keberhasilan pendidikan masih banyak diukur berdasarkan angka kelulusan, ranking sekolah, atau tes tertulis. Aspek karakter dan spiritualitas belum menjadi parameter evaluasi sistematis.
John Dewey (1938), tokoh filsuf pendidikan Barat, menyatakan bahwa pendidikan adalah proses hidup itu sendiri, bukan hanya persiapan untuk hidup. Ini memberikan legitimasi bahwa kurikulum harus selaras dengan pengalaman nyata dan nilai-nilai hidup yang relevan.
Teori evolusi Charles Darwin, terutama konsep survival of the fittest, sering kali disalahgunakan dan disalahartikan dalam konteks pendidikan. Banyak lembaga pendidikan yang menggunakan prinsip ini sebagai dasar seleksi, ujian masuk, dan penilaian kinerja siswa.Akibatnya, siswa lebih dituntut untuk bersaing secara ketat dan Kompetitif, dibandingkan belajar untuk hidup bersama dalam harmoni. Paulo Freire (1970) mengkritik model pendidikan "bank" yang hanya mentransfer informasi tanpa melibatkan dialog dan pembebasan diri.
Pendidikan holistik memandang manusia sebagai makhluk utuh yang terdiri dari pikiran, perasaan, jiwa, dan tubuh. Model ini tidak hanya fokus pada pengembangan intelektual, tetapi juga pada pembentukan karakter, spiritualitas, dan empati sosial.Implementasi pendidikan holistik dapat dilihat di negara-negara seperti Finlandia dan Singapura, yang berhasil meningkatkan kualitas pendidikan tanpa mengorbankan aspek kemanusiaan dan kreativitas siswanya.
Jadi kesimpulannya, Kurikulum pendidikan di Indonesia belum sepenuhnya mencerminkan tujuan pendidikan nasional. Dominasi paradigma materialistik dan interpretasi keliru terhadap teori Darwinisme sosial telah menggeser pendidikan dari pondasi humanis dan spiritualnya. Untuk mengatasinya, diperlukan transformasi paradigma pendidikan menuju model holistik yang mengintegrasikan aspek kognitif, emosional, dan spiritual.Langkah-langkah konkret seperti revolusi sistem pendidikan, pelatihan guru, revisi sistem evaluasi, dan integrasi pendidikan karakter perlu ditempuh agar pendidikan kembali menjadi sarana untuk menciptakan manusia yang utuh dan berdaya saing. Dengan demikian, pendidikan tidak hanya mencetak generasi yang cerdas secara akademis, tetapi juga berkarakter, beretika, serta peduli terhadap sesama dan lingkungan. Bukan Hanya pandai menjawab soal soal diatas kertas tetapi juga mampu mejawab persoalan persoalan kehidupan.
SARAN1. Revisi Kurikulum Berbasis Nilai : Masukkan pendidikan karakter dan spiritualitas sebagai bagian integral dari setiap mata pelajaran.2. Pelatihan Guru Komprehensif : Latih guru untuk menjadi teladan sekaligus fasilitator pembelajaran bernuansa karakter.3. Evaluasi Karakter Terpadu : Gunakan sistem penilaian yang mencakup perilaku, sikap, dan partisipasi siswa.4. Keterlibatan Orang Tua dan Masyarakat : Bangun sinergi antara sekolah, keluarga, dan lingkungan untuk memperkuat pembentukan karakter.5. Penelitian Berkala : Lakukan riset untuk mengevaluasi efektivitas kurikulum baru terhadap perkembangan karakter dan spiritualitas siswa.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
