Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ahmad Muflihin

Merdeka Belajar, Merdeka Beragama: Refleksi PAI dalam Peta Jalan Pendidikan Indonesia

Agama | 2025-04-17 10:23:59
Ilustrasi: Chat GPT

"Merdeka Belajar" bukan sekadar jargon. Ia adalah panggilan untuk merombak paradigma pendidikan yang lama: dari yang menjejalkan, menjadi yang memberdayakan. Tapi bagaimana dengan Pendidikan Agama Islam (PAI)? Apakah ia ikut merdeka? Ataukah justru masih tertinggal di ruang-ruang hafalan dan doktrin yang kaku?

Di tengah derasnya transformasi pendidikan nasional, Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2020–2035 hadir sebagai arah baru. Visi besarnya: membentuk peserta didik yang berkarakter kuat, adaptif, dan berbasis Profil Pelajar Pancasila. Di sinilah PAI seharusnya tak hanya sekadar pelengkap, tapi menjadi roh dan pengarah kompas karakter bangsa.

Selama ini, PAI sering diasosiasikan dengan pelajaran yang "serius", "berat", dan "harus dihafal". Padahal, jika menggunakan pendekatan yang tepat, PAI dapat menjadi jembatan spiritualitas dan kecakapan hidup abad 21.

Merdeka belajar bukan berarti bebas tanpa arah. Begitu pula merdeka beragama bukan berarti bebas menafsir seenaknya, tetapi merdeka untuk memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai agama secara reflektif dan kontekstual.

PAI harus mampu menghidupkan diskusi, bukan hanya ceramah satu arah. Mampu menginspirasi toleransi, bukan sekadar menghafal dalil. Dan yang paling penting, mampu menjawab tantangan zaman tanpa kehilangan ruh keislaman.

Dalam Peta Jalan Pendidikan 2035, penguatan karakter menjadi tujuan utama. PAI adalah jalur utamanya. Ia mengajarkan nilai luhur seperti kejujuran, tanggung jawab, empati, dan gotong royong—semua adalah nilai universal yang dikemas dalam wahyu.

Dengan kurikulum yang fleksibel dan guru yang transformatif, PAI bisa menjadi lokomotif perubahan pendidikan karakter di Indonesia. Bukan sekadar ritual, tapi aktual. Bukan hanya soal ibadah, tapi juga soal etika sosial dan tanggung jawab digital.

Program-program inovatif dapat mendorong guru untuk memadukan nilai keislaman dengan metode pembelajaran modern: project-based learning, HOTS, dan digital pedagogy. Sebagai contoh, peserta didik diajak mengidentifikasi permasalahan akhlak yang muncul di lingkungan sekolah dan merancang solusi berbasis nilai-nilai Islam (misal: kejujuran, tanggung jawab). Kemudian mereka diminta membuat poster digital, vlog kreatif, dan lain semisalnya. Contoh lainnya mengaitkan literasi Al-Qur’an dan kehidupan digital, yaitu melakukan kajian tematik misal QS. Al-Hujurat tentang etika sosial dikaitkan dengan etika bermedia sosial. Outputnya, peserta didik dapat membuat konten edukasi islami di media sosial. Masih banyak lagi pendekatan yang dapat diterapkan dalam mengintegrasikan PAI dengan kemajuan zaman.

PAI tak boleh berjalan di tempat. Ia harus menjawab tantangan zaman dengan cara yang bijak, kreatif, dan moderat. Saat dunia berubah begitu cepat, nilai-nilai agama adalah jangkar yang menenangkan. Dan PAI-lah penjaganya.

Merdeka belajar, merdeka beragama. Mari kita bangun generasi pelajar yang cerdas, beriman, dan berkarakter—bukan hanya untuk Indonesia, tapi juga untuk peradaban dunia.

*Ahmad Muflihin, S.Pd.I., M.Pd.

Ketua Program Studi Pendidikan Agama Islam, UNISSULA Semarang

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image