Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Awwabin Helmi

Eksistensi Bahasa Melayu di Patani: Ancaman terhadap Identitas dan Warisan Budaya

Sastra | 2025-02-24 21:13:20

Bahasa Melayu di Patani, wilayah mayoritas Muslim di Thailand Selatan, sedang menghadapi ancaman kepunahan yang serius. Sebagai bahasa ibu masyarakat Melayu-Patani yang telah digunakan selama berabad-abad, kemerosotannya bukan hanya sekadar fenomena linguistik, tetapi juga cerminan dari konflik politik, tekanan asimilasi, dan erosi identitas budaya. Berdasarkan data dari laporan akademis, organisasi HAM, dan survei lokal, esai ini akan menganalisis faktor-faktor yang mempercepat kepupusan bahasa Melayu di Patani serta implikasinya bagi masyarakat setempat.

1. Kebijakan Asimilasi dan Sentralisasi Pemerintah Thailand

Sejak awal abad ke-20, pemerintah Thailand menerapkan kebijakan "Thaifikasi" untuk memperkuat kesatuan nasional. Bahasa Thai dijadikan satu-satunya bahasa resmi dalam pendidikan, administrasi, dan media, sementara bahasa Melayu dipinggirkan. Undang-Undang Pendidikan Thailand (1999 dan 2008) mewajibkan semua sekolah, termasuk sekolah agama tradisional (pondok), menggunakan kurikulum nasional berbahasa Thai. Menurut Human Rights Watch (2010), kebijakan ini memaksa sekolah pondok—yang sebelumnya menjadi benteng pelestarian bahasa Melayu-Jawi (tulisan Arab)—untuk mengurangi pengajaran bahasa ibu siswa. Joseph Lo Bianco (2016), pakar linguistik, menegaskan bahwa tekanan sistematis ini bertujuan menghapuskan identitas linguistik minoritas Melayu agar selaras dengan narasi nasional Thailand.

2. Mobilitas Sosial dan Dominasi Bahasa Thai

Bahasa Thai menjadi kunci mobilitas sosial di Thailand. Generasi muda Patani menganggap kemahiran berbahasa Thai sebagai jalan untuk mengakses pendidikan tinggi, pekerjaan, dan integrasi dengan masyarakat luas. Survei Deep South Watch (2021) mengungkapkan bahwa hanya 15-20% pemuda Patani yang masih fasih berbahasa Melayu, sementara 80% lebih dominan menggunakan bahasa Thai. Fenomena ini diperparah oleh stigma bahwa bahasa Melayu dianggap "kuno" atau "penghambat kemajuan". Orang tua pun cenderung mengajarkan bahasa Thai kepada anak-anak mereka, khawatir anak mereka akan tertinggal secara akademis dan ekonomi.

3. Konflik Bersenjata dan Represi Budaya

Konflik berkepanjangan antara kelompok separatis Melayu-Muslim dan pemerintah Thailand sejak 2004 telah menciptakan lingkungan represif bagi ekspresi budaya Melayu. Laporan International Crisis Group (2019) menyebutkan bahwa operasi militer di Patani sering disertai larangan penggunaan bahasa Melayu di ruang publik, termasuk di masjid dan acara adat. Institusi pendidikan yang mencoba mempertahankan pengajaran bahasa Melayu menghadapi pengawasan ketat, bahkan ancaman penutupan. Kondisi ini memaksa masyarakat menyembunyikan identitas linguistik mereka demi menghindari tuduhan "separatisme".

4. Globalisasi dan Pergeseran Media

Dominasi media Thailand dan budaya pop semakin menggeser penggunaan bahasa Melayu di kalangan generasi muda. Penelitian Universitas Thammasat (2020) terhadap 500 remaja Patani menunjukkan bahwa 90% lebih memilih menonton konten berbahasa Thai atau Inggris di media sosial, sementara hanya 5% yang aktif mengonsumsi konten Melayu-Jawi. Radio dan televisi berbahasa Melayu juga semakin langka akibat minimnya dana dan regulasi ketat, seperti dilaporkan SIL International (2019). Tanpa ruang untuk berkembang di dunia digital, bahasa Melayu semakin terpinggirkan.

5. Lemahnya Perlindungan Hukum dan Transmisi Antar-Generasi

Bahasa Melayu tidak diakui sebagai bahasa resmi atau daerah di Thailand. Konstitusi Thailand 2017 (Pasal 67) secara eksplisit menetapkan bahasa Thai sebagai satu-satunya bahasa resmi, tanpa perlindungan bagi bahasa minoritas. Akibatnya, tidak ada insentif untuk melestarikan bahasa Melayu melalui institusi formal. Selain itu, perkawinan campur antara etnis Melayu dan Thai semakin mengurangi transmisi bahasa antar-generasi. Orang tua yang khawatir anak mereka akan didiskriminasi memilih berkomunikasi dalam bahasa Thai di rumah.

Dampak: Hilangnya Warisan Budaya

Kepunahan bahasa Melayu di Patani bukan hanya kehilangan alat komunikasi, tetapi juga penghapusan memori kolektif masyarakat. Bahasa ini mengandung nilai sejarah, sastra, dan tradisi Islam yang kaya, seperti syair hikayat dan kitab-kitab keagamaan beraksara Jawi. UNESCO telah mengklasifikasikan bahasa Melayu Patani sebagai "rentan" dalam Atlas Bahasa-Bahasa Terancam Punah (2020), menandakan bahwa tanpa intervensi, bahasa ini bisa punah dalam 2-3 generasi.

Kesimpulan

Kepupusan bahasa Melayu di Patani adalah tragedi multidimensi yang melibatkan politik, ekonomi, dan budaya. Meskipun upaya revitalisasi—seperti sekolah bilingual atau festival budaya—perlu didorong, akar masalahnya terletak pada ketimpangan kebijakan dan konflik yang belum terselesaikan. Jika Thailand ingin mencapai perdamaian di Selatan, pengakuan terhadap hak linguistik dan budaya Melayu-Patani harus menjadi bagian dari solusi. Tanpa itu, identitas sebuah komunitas akan hilang ditelan zaman, meninggalkan luka yang mungkin tak pernah sembuh.

Referensi:

- UNESCO Atlas of the World’s Languages in Danger (2020).

- Human Rights Watch, "Thailand: Insurgent Attacks in South Spark Abuses" (2010).

- Deep South Watch, "Language Shift Among Patani Youth" (2021).

- International Crisis Group, "Southern Thailand: The Problem with Paramilitaries" (2019).

- Konstitusi Thailand (2017).

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Komentar

Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image