Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan

Strategi Maritim dalam Sejarah Islam: Menjaga Gelombang Dakwah dan Kejayaan Perdagangan

Sejarah | 2025-02-24 11:26:52
Ilustrasi peradaban maritim Islam dan kejayaannya (Sumber: AI Chatgpt)

Pendahuluan

Kali ini kita akan membahas sedikit hal menarik mengenai pengembangan pengaruh Islam ke berbagai wilayah. Kajian ini menekankan pentingnya peran penguasaan maritim dalam sejarah peradaban Islam.

Dengan mengacu pada temuan Ahmad Mansur Suryanegara yang berjudul Api Sejarah Jilid I,[1] kami akan membahas aspek krusial dalam memperluas pengaruh Islam di berbagai wilayah dengan strategi penguasaan maritim. Menurut Suryanegara, sejak era awal penyebaran Islam, khususnya pascawafatnya Rasulullah ﷺ (632 M) hingga tahun 732 M, wilayah yang berada di bawah pengaruh Islam sudah membentang luas dari Jazirah Arabia menuju Eropa, India, Cina, Afrika, dan Nusantara Indonesia.

Salah satu aspek utama yang mendukung argumentasi tersebut adalah ajaran Islam yang sangat menekankan pentingnya penguasaan maritim atau kelautan. Dalam tulisan ini, kami akan membahas konsep dan strategi penguasaan maritim yang diajukan oleh Suryanegara, serta relevansinya dalam sejarah pengembangan wilayah Islam pada masa tersebut.

Penguasaan Maritim dalam Al-Qur’an dan Sejarah Islam

Menurut Ahmad Mansur Suryanegara, Al-Qur’an mencatat sekitar 40 ayat yang menekankan pentingnya penguasaan laut. Ayat-ayat ini tidak hanya menjelaskan aspek fisik dari lautan sebagai bagian dari ciptaan Allah, tetapi juga sebagai simbol kekuasaan dan keberkahan yang harus dimanfaatkan oleh umat Islam.

Dalam konteks ini, Suryanegara menginterpretasikan wahyu tentang kelautan sebagai testamen politik dari Allah ﷻ melalui Rasulullah ﷺ untuk umat Islam supaya dapat menguasai lautan untuk memperluas wilayah pengaruh mereka. Selain itu, penguasaan lautan pun juga dapat ditujukan untuk menghindari dominasi penguasa non-Islam atas jalur perdagangan maritim yang sangat vital, sehingga umat Islam dapat meraup keuntungan dan laba yang halal.

Kepentingan Strategis Penguasaan Maritim

Di era awal Islam, Jazirah Arabia merupakan wilayah yang terletak di antara dua kekaisaran besar: Kekaisaran Persia di Timur dan Kekaisaran Romawi di Barat. Kedua kekaisaran ini menguasai jalur-jalur perdagangan maritim yang menghubungkan dunia Timur dan Barat.

Suryanegara menjelaskan bahwasanya penguasaan terhadap wilayah laut tersebut, terutama di sekitar Yaman, merupakan pintu gerbang perdagangan. Wilayah ini sangat penting bagi kemerdekaan dan kemajuan umat Islam. Akan tetapi, pada saat itu, Persia dan Romawi masih mendominasi jalur-jalur niaga di laut, yang membuat Arabia terjepit antara dua kekuatan besar tersebut.

Di sinilah ajaran maritim dalam Islam menjadi sangat relevan. Allah ﷻ melalui wahyu-Nya memotivasi umat Islam untuk berorientasi pada kekuatan maritim jika mereka ingin terbebas dari dominasi dua kekaisaran besar tersebut. Penguasaan atas laut akan memberikan kemerdekaan politik dan ekonomi yang lebih luas bagi umat Islam, serta memperkuat posisi mereka dalam perdagangan global yang pada saat itu sangat bergantung pada jalur-jalur laut.

Implementasi Strategi Maritim dalam Sejarah Islam

Sayangnya, banyak penulis sirah (biografi Rasulullah ﷺ) dan sejarawan Islam yang lebih fokus pada penguasaan daratan dan tidak banyak menyoroti pentingnya penguasaan maritim oleh para sahabat. Sejarah Khulafaur Rasyidin, Kekhalifahan Umayyah, Kekhalifahan Abbasiyyah, dan dinasti-dinasti Islam lainnya lebih banyak membahas aspek penguasaan wilayah daratan dan pertempuran di daratan, sementara penguasaan maritim—meskipun terdapat banyak petunjuk dalam Al-Qur’an—sering kali diabaikan atau tidak terlalu ditekankan.

Namun, dalam praktiknya, penguasaan maritim menjadi salah satu faktor yang sangat mendukung penyebaran Islam ke berbagai belahan dunia, meskipun kurang dibahas dalam literatur klasik. Hal ini terlihat dari ekspansi Islam yang tidak hanya melalui jalur daratan, tetapi juga melalui jalur lautan.

Pada masa pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan, armada laut Islam mulai dibentuk. Begitu pula pada masa Khalifah Mu’awiyah bin Abu Sufyan, penguasaan laut menjadi lebih intensif dengan pembentukan armada laut yang tangguh untuk melawan Kekaisaran Romawi Bizantium.

Menurut Philip K. Hitti dalam History of the Arabs dilansir dari Sultanate Institute,[2] masyarakat Arab pada umumnya dikenal sebagai masyarakat yang berkebudayaan maritim. Meskipun sebagian besar masyarakat Arab berasal dari pedalaman, masyarakat pesisir seperti Yaman, Oman, dan Bahrain telah lama memiliki tradisi pelayaran yang kuat.

Bagi penduduk di pesisir Jazirah Arabia, laut bukan hanya sebagai jalur perdagangan, melainkan juga sebagai bagian dari kehidupannya sehari-hari. Sebagai perantara dagang antara dunia Eropa dan India sejak abad pertama Masehi, orang-orang Arab pesisir pun dikenal dengan keahliannya dalam navigasi laut dan perdagangan maritim.

Pada masa kekuasaan Dinasti Sassaniyah Persia, masyarakat pesisir Semenanjung Arab bahkan sudah menjelajah jauh hingga mencapai Cina. Keberhasilan ini menunjukkan bahwa keberadaan masyarakat maritim di wilayah tersebut telah berlangsung sejak lama. Tradisi ini membentuk dasar bagi pengembangan kekuatan maritim Islam di masa berikutnya, yang sangat bergantung pada kemampuan masyarakat Arab pesisir dalam menguasai laut.

Mu’awiyah bin Abu Sufyan yang menjabat sebagai Gubernur Syam pada masa Khalifah Umar bin Khattab memiliki peran signifikan dalam membentuk angkatan laut Islam. Ia menyadari bahwasanya ancaman kekuatan Bizantium yang dominan di Laut Mediterania harus dijawab dengan pembentukan armada maritim yang kuat. Mu’awiyah kemudian menginisiasi pembentukan armada laut Islam untuk mendukung ekspansi Islam melalui jalur laut, baik untuk tujuan futuhat (penaklukan) maupun untuk mempertahankan wilayah-wilayah yang sudah dikuasai.

Pembentukan armada ini dilakukan di Damaskus, yang terletak di wilayah yang berbatasan langsung dengan wilayah kekuasaan Romawi Timur (Bizantium). Langkah strategis ini tidak hanya untuk mempertahankan wilayah yang telah dikuasai, tetapi juga untuk memperluas pengaruh Islam di kawasan Laut Mediterania, yang pada saat itu merupakan jalur utama perdagangan dan kekuasaan politik.

Mu’awiyah bin Abu Sufyan kemudian mendirikan Daulah Umayyah dan menjadikan dirinya sebagai khalifah pertama. Ia memiliki peran besar dalam memulai pembentukan armada laut Islam. Pada masa pemerintahannya, Mu’awiyah memindahkan pusat kekuasaan Islam dari Madinah ke Damaskus, yang secara geografis sangat strategis karena berada dekat dengan Laut Mediterania dan kawasan Bizantium. Hal ini memberikan kesempatan bagi Mu’awiyah untuk memperkuat armada laut yang nantinya digunakan untuk memperluas wilayah kekuasaan Islam.[3]

Salah satu pencapaian penting dalam pembangunan armada laut ini adalah penguasaan galangan kapal Bizantium di Akka (Acre), yang menjadi titik awal bagi kekuatan maritim Islam. Keberhasilan ini tidak hanya menguntungkan dari segi militer, tetapi juga memacu perkembangan ekonomi, perdagangan, dan pergerakan kultural antara wilayah-wilayah kekuasaan Islam dan Bizantium. Armada laut yang dipimpin oleh Mu’awiyah berhadapan langsung dengan armada laut Bizantium dalam beberapa pertempuran besar, termasuk Pertempuran Dzatu al-Syawari, yang menandai dominasi armada Islam di Laut Mediterania.[4]

Puncak dari perluasan wilayah Daulah Umayyah terjadi pada masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik bin Marwan dan Khalifah Al-Walid bin Abdul Malik. Pada masa pemerintahan keduanya ini, wilayah Islam meluas dari pantai Lautan Atlantik di barat hingga kawasan perbatasan Cina di timur.

Di barat, wilayah Islam mencakup Andalusia, Maroko, Tunisia, Qairawan, dan Mesir. Wilayah ini juga diperluas hingga mencapai Selat Gibraltar, yang menjadi jalur utama menuju Eropa. Pada tahun 711 M, pasukan Islam yang dipimpin oleh Thariq bin Ziyad berhasil membebaskan Andalusia, yang kemudian berkembang menjadi pusat peradaban Islam di Eropa.

Di sisi timur, wilayah Islam mencapai kawasan Bukhara, Samarkand, dan beberapa wilayah di Asia Tengah hingga perbatasan Cina. Ekspansi ini dipermudah oleh keberhasilan pasukan militer Islam, yang dipimpin oleh komandan-komandan tangguh, seperti Musa bin Nushayr di barat dan Hajjaj bin Yusuf Al-Tsaqafi di timur. Keberhasilan mereka dalam menaklukkan wilayah-wilayah baru ini memperkuat Daulah Umayyah sebagai kekuatan besar yang mendominasi hampir seluruh dunia bagian barat dan timur.

Andre Wink dalam Al-Hind The Making of the Indo-Islamic World, yang menyebutkan bahwa sejak abad ke-7 M hingga abad pertengahan, Samudra Hindia menjadi kawasan yang sangat strategis dan hampir sepenuhnya dikuasai oleh Islam. Samudra Hindia, yang terletak di antara Asia, Afrika, dan dunia Arab, merupakan jalur perdagangan penting yang menghubungkan berbagai peradaban.

Bagi umat Islam era itu, Samudra Hindia layaknya “danau” yang terhubung langsung dengan dunia Arab dan menjadi kawasan yang sangat dikuasai dalam hal pelayaran dan perdagangan. Hal ini menunjukkan bahwa penguasaan maritim Islam tidak hanya terbatas pada kawasan Laut Mediterania, tetapi juga merambah hingga ke wilayah Samudra Hindia, yang pada masa itu menjadi pusat pertemuan berbagai budaya dan peradaban.

Pengaruh Maritim terhadap Ekspansi Islam ke Berbagai Wilayah

Suryanegara juga mengemukakan bahwasanya penguasaan maritim pada akhirnya memainkan peran penting dalam penyebaran Islam ke berbagai wilayah, seperti ke Eropa, India, Cina, dan Nusantara Indonesia. Dalam konteks ini, kekuatan maritim Islam memungkinkan umat Islam untuk memperluas wilayah hingga pengaruhnya jauh melampaui Jazirah Arabia.

1. Eropa: Pengaruh Islam memasuki wilayah Eropa melalui jalur laut, terutama dalam invasi Muslim ke Spanyol pada abad ke-8. Armada laut Islam yang kuat memungkinkan penaklukan wilayah-wilayah pesisir Eropa, yang pada gilirannya memperkenalkan Islam ke wilayah-wilayah ini.

2. India dan Cina: Penguasaan maritim juga memungkinkan umat Islam untuk menjalin perdagangan dengan India dan Cina, serta menyebarkan ajaran Islam ke wilayah-wilayah tersebut. Di India, kerajaan-kerajaan Islam mulai muncul di sepanjang pesisir, sedangkan di Cina, jalur perdagangan laut membuka peluang bagi misi dakwah.

3. Nusantara Indonesia: Nusantara Indonesia merupakan salah satu contoh wilayah yang menerima pengaruh Islam melalui jalur laut. Pedagang Muslim yang datang dari Gujarat, Persia, dan Arab memperkenalkan Islam kepada masyarakat Indonesia melalui pelabuhan-pelabuhan dagang yang tersebar di sepanjang pesisir.

Khusus untuk Nusantara Indonesia, Prof. Nasaruddin Umar, Menteri Agama Republik Indonesia, mengemukakan hal yang menarik, yakni penilaiannya penerimaan Islam—yang bermula dalam budaya kontinental (daratan) Jazirah Arab—dengan mudah diterima di masyarakat maritim, khususnya di Nusantara. Menurutnya, agama Islam diterima dengan mudah di kawasan ini karena karakter masyarakat Nusantara yang lebih terbuka dan adaptif. [5]

Wali Songo, sebagai penerus ajaran Nabi Muhammad ﷺ dan wali Allah untuk menyebarkan Islam di Indonesia, tidak perlu menggunakan kekerasan atau peperangan saat berupaya mengislamkan masyarakat Nusantara. Islam diterima sebagai nilai yang sudah inheren di dalam kepribadian dan budaya masyarakat maritim.

Penerimaan Islam di Nusantara, menurut Nasaruddin Umar, berbeda dengan penerimaan agama-agama besar lainnya yang lebih sulit diterima di masyarakat kontinental karena faktor diskriminasi dan ketegangan sosial. Di masyarakat maritim, nilai-nilai Islam seperti toleransi, keadilan, dan kesederhanaan sejalan dengan nilai-nilai yang sudah ada dalam budaya lokal, sehingga masyarakat dengan mudah mengadopsinya.

Nasaruddin Umar melanjutkan dengan pernyataan bahwa Tuhan tidak perlu menurunkan wahyu, Nabi, ataupun Rasul di wilayah maritim, seperti Nusantara, karena karakter dasar masyarakatnya sudah lebih lembut dan toleran. Dalam hal ini, Tuhan hanya perlu “mengirimkan” wali-wali Allah dan ulama-ulama cerdas, seperti Wali Songo, untuk menyebarkan risalah-Nya di Nusantara. Apatah lagi, spirit ajaran Islam sesungguhnya dirasakan sudah tidak asing bagi masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwasanya masyarakat maritim memiliki kesiapan spiritual yang lebih tinggi untuk menerima ajaran agama tanpa harus mengalami konflik sosial yang besar, sebagaimana yang terjadi di masyarakat kontinental.

Pernyataan Nasaruddin Umar ini mengarah pada pemahaman bahwa setiap masyarakat, berdasarkan latar belakang sosial dan kulturalnya, memiliki cara yang berbeda dalam menerima dan menginterpretasikan agama. Masyarakat maritim seperti di Nusantara, dengan sifatnya yang lebih terbuka dan egaliter, dapat lebih mudah mengintegrasikan ajaran agama tanpa adanya benturan yang signifikan dengan struktur sosial atau budaya mereka.

Referensi

[1] Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah 1: Mahakarya Perjuangan Ulama dan Santri dalam Menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia, ed. oleh Nia Kurniawati, Anni Rosmayani, dan Rakhmat Gumilar, Rev., Api Sejarah (Bandung: Suryadinasti, 2014), https://books.google.co.id/books?id=0AMxDwAAQBAJ.

[2] Furqon Muhammad Faiz, “Armada Maritim Islam Masa Khulafaurrasyidin,” Sultanate Institute, 15 Februari 2023, https://sultanateinstitute.com/islamic-civilization/5443/armada-maritim-islam-masa-khulafaurrasyidin/.

[3] Furqon Muhammad Faiz, “Perkembangan Armada Maritim Masa Daulah Umawiyyah,” Sultanate Institute, 18 Februari 2023, https://sultanateinstitute.com/islamic-civilization/5447/perkembangan-armada-maritim-masa-daulah-umawiyyah/.

[4] Agung Sasongko, “Armada Laut, Strategi Umayyah Bebaskan Wilayah,” Republika Online, 8 November 2019, https://khazanah.republika.co.id/berita/q0n66w313/armada-laut-strategi-umayyah-bebaskan-wilayah.

[5] Nasaruddin Umar, “Islam Dan Kultur Maritim (1),” Rakyat Merdeka (RM.id), 10 Februari 2022, https://rm.id/baca-berita/kolom/111766/islam-dan-kultur-maritim-1.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Komentar

Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Berita Terkait

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image