
Drama Pagar Laut, Kedaulatan Negara di Tangan Siapa?
Politik | 2025-02-20 05:51:42Drama Pagar Laut, Kedaulatan Negara di Tangan Siapa? Oleh : Dhevy Hakim Pagar laut hingga saat ini masih menjadi pesoalan yang terus dikawal publik. Pasalnya deretan pagar bambu yang awalnya dipersoalkan adalah pagar laut yang ditemukan di Tangerang, kini kasus serupa juga ditemukan di daerah lain seperti Bekasi, Surabaya, Sidoarjo, dan Makassar.
Hal ini tak ubahnya fenomena gunung es, bisa jadi kasus pagar laut akan terus bertambah. Publik terus mengawal kasus pagar laut terutama yang ada di Tangerang dikarenakan hingga saat ini penyelesaiannya belum dianggap tuntas, bahkan terkesan seperti kebanyakan drama saja.
Bagaimana tidak, setelah dilakukan penelusuran jelas sekali persoalan pagar laut bukan sekadar pemasangan pagar bambu di sepanjang pantai dan laut saja, tapi sudah berubah menjadi perampasan ruang laut menjadi hak milik individu. Hal ini sebagaimana penelusuran yang ditemukan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang di area pemagaran laut Tangerang bahwasanya ada area yang sudah memiliki SHGB (Sertifikat Hak Guna Bangunan) dan SHM (Sertifikat Hak Milik (SHM).
Disebutkan telah terbit sejumlah 263 bidang SHGB, yang terdiri dari 234 bidang SHGB atas nama PT Intan Agung Makmur, 20 bidang SHGB atas nama PT Cahaya Inti Sentosa, dan sembilan bidang atas nama perseorangan. Selain itu, ditemukan 17 bidang SHM. Anehnya lagi pasca Menteri ATR/BPN Nusron Wahid menyatakan sertifikat itu batal demi hukum tetapi pemilik SHM dan SHGB hingga saat ini belum ada tindakan hukum untuknya.
Pemberian sanksi baru kepada delapan pejabat Kantor pertanahan Tangerang yang diduga terlibat dalam kasus pagar laut itu. Lantas kenapa persoalan pagar laut ini belum menyentuh pada pelakunya? Kedaulatan di Tangan Oligarki Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 3/PUU-VIII/2010 menyatakan bahwa ruang laut adalah milik bersama dan terbuka untuk semua.
Putusan MK ini mengatur beberapa hal seperti pemberian SHM di ruang laut bertentangan dengan UUD 1945, pemagaran ruang laut melanggar aturan, dan pemanfaatan ruang laut, pelaku usaha dapat mengajukan KKPRL (Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut). Sedangkan menurut Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Pung Nugroho Saksono, bahwa pemagaran laut tersebut ilegal jika merujuk izin dasar Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL).
Sebabnya, pagar tersebut berada di Zona Perikanan Tangkap dan Zona Pengelolaan Energi yang diatur Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang DKP Provinsi Banten 2/2023. Selain itu, menurutnya, pemagaran juga tidak sesuai dengan praktik internasional di United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982. Alasannya, keberadaan pagar laut itu berpotensi menimbulkan kerugian bagi nelayan dan merusak ekosistem pesisir. Artinya kasus pemagaran laut sampai terbit SHM dan SHGB di Tangerang ini jelas melanggar hukum.
Semestinya tidak cukup sertifikat dibatalkan demi hukum, tetapi juga dilakukan tindakan pidana pada pelakunya. Sayangnya terlihat tidak mudah, ada kekuatan besar di balik pagar laut ini sehingga yang nampak di publik para pejabat dan pemangku kebijakan saling melempar persoalan dan berlepas tangan. Jika ditelusuri, kasus pagar laut di Tangerang mirip dengan kasus penjualan area pesisir laut di berbagai pulau yakni ada kekuatan korporasi dalam lingkaran kekuasaan, atau yang disebut dengan istilah korporatokrasi.
Diduga kasus pagar laut di Tangerang menjadi bagian dari proyek Pantai Indah Kapuk 2 (PIK 2) hanya salah satu contoh praktik korporatokrasi, terutama karena pembangunannya telah dinyatakan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN). Mengutip Katadata (24/3/2024), Jokowi menetapkan Pengembangan Pantai Indah Kapuk 2 (PIK 2) menjadi PSN, bersamaan dengan Kawasan Terpadu Bumi Serpong Damai (BSD). Apabila dugaan ini benar adanya maka semakin membuktikan bahwa saat ini pilar demokrasi sejatinya adalah ilusi.
Salah satu pilar demokrasi, kedaulatan di tangan rakyat nyatanya tidak ada, yang nyata-nyata ada adalah kedaulatan di tangan oligarki. Kedaulatan yang Sesungguhnya Kata kedaulatan memiliki arti kekuasaan tertinggi yang dimiliki suatu negara. Konsep kedaulatan yang dimiliki demokrasi menjadikan hukum atau aturan dibuat oleh manusia. Pada akhirnya hal ini dimanfaatkan dan dikuasai oleh para pemilik modal.
Terlebih saat pelaksanaan pesta demokrasi semakin mahal, maka para pejabat yang disokong oleh pemilik modal pada akhirnya lebih mengedepankan kepentingan mereka. Berbeda dengan konsep Islam, Islam memandang bahwasanya kedaulatan ada di tangan As-Syari’ yakni Allah SWT. Oleh karenanya dalam pandangan Islam, negara menjalankan aturannya berdasarkan sumber-sumber hukum Islam.
Dari konsep ini maka negara mengatur semua urusan rakyat berdasarkan aturan dari Allah SWT bukan membuat aturan sendiri. Kalau pun yang ditemui adalah fakta baru, maka seorang pemimpin negara (Khalifah) akan mengambil keputusan berdasarkan pendapat Islam dan ijtihadnya. Termasuk dalam hal persoalan ruang lingkup laut. Islam memiliki konsep kepemilikan. Merujuk pendapat Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitabnya Nizamul Iqthisadiy yang menjelaskan bahwa sistem ekonomi Islam hanya mengakui tiga kepemilikan, yakni kepemilikan individu, kepemilikan negara, dan kepemilikan umum.
Sebagaimana hadis Rasulullah, ”Manusia berserikat dalam tiga hal yaitu air, padang rumput, dan api.” Dalam hal pemagaran laut Rasulullah saw bersabda, ’Tidak ada pagar pembatas, kecuali bagi Allah dan Rasul-Nya.’ Makna hadis ini adalah tidak ada hak bagi seorang pun untuk memberikan batasan atau pagar segala sesuatu yang diperuntukkan bagi masyarakat umum. Adapun pada oknum yang melanggar syariat seperti mengaku-ngaku memiliki ataupun mengkavling laut sampai memagarinya maka negara khilafah akan memberikan uqubat (sanksi) tanpa pandang bulu.
Di dalam kitab An-Nidzhamu al-Uqubat fii al-Islam karya Syekh Abdurrahman al-Maliki rahimahullah, disebutkan bahwa Khilafah mampu mewujudkan sanksi tegas bagi pelaku tindak kriminal dan pelanggaran aturan Islam. Sistem sanksi dalam Islam mampu berfungsi sebagai pencegah (zawajir) dan penebus (jawabir). Maknanya, agar orang lain yang bukan pelanggar hukum tercegah untuk melakukan tindak kriminal yang sama dan jika sanksi itu diberlakukan kepada pelanggar hukum, sanksi tersebut dapat menebus dosanya.
Bagaimana dengan oknum pejabat yang terlibat? Islam juga menetapkan penguasa wajib menjalankan aturan Islam saja. Penguasa haram menyentuh harta rakyat, memfasilitasi pihak lain untuk mengambil harta milik rakyat/umum, bahkan menerima suap dengan sebab jabatan yang ia sandang. Ini sebagaimana diriwayatkan dari Buraidah ra. Bahwa Nabi saw. Bersabda, “Barang siapa yang telah kami angkat untuk melakukan sesuatu tugas, lalu dia telah kami beri gaji maka apa saja yang diambilnya selain dari gaji adalah harta khianat (ghulûl).” (HR Abu Dawud).
Oleh karenanya khilafah akan menindak tegas juga dengan memberikan uqubat kepada pejabat yang terlibat dalam pelanggaran syariat. Merujuk hadis tersebut, hadiah untuk pegawai itu termasuk ghulûl. Artinya, jika ada seorang pejabat pemerintah, kemudian ada orang lain yang memberikan hadiah berkenaan dengan tugas pejabat itu, hal itu termasuk ghulûl. Tidak halal bagi pejabat itu untuk mengambil hadiah yang ada sedikit pun, meski itu diberikan dengan senang hati. Inilah solusi tuntas yang ada di dalam Islam seandainya praktek pagar laut itu terjadi. Wallahualam bissawab.

Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
Komentar
Gunakan Google Gunakan Facebook