Gerakan 7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat dan Mindset Shifting
Pendidikan dan Literasi | 2025-01-29 07:56:23Oleh: Imanuddin Kamil
Selama ini jargon “Ganti Menteri Ganti Kurikulum” atau “Ganti Menteri Ganti Kebijakan” masih populer dan menempel erat pada Kementerian Pendidikan. Walaupun sebetulnya kondisi perubahan tersebut ditemukan hampir pada setiap kementerian. Bahkan sejatinya bergantinya sebuah pemerintahan memang faktanya melahirkan perubahan kebijakan pada berbagai sektor yang diikuti penyesuaian kebijakan di level para pembantu Presiden sebagai Kepala Pemerintahan.
Tulisan ini tidak sedang membahas lebih jauh tentang pro kontra tersebut. Tetapi mengulas salah satu kebijakan baru Kementerian Pendidikan Dasar Menengah yang belum lama diluncurkan yaitu; Gerakan 7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat. Idenya sudah digulirkan di masa-masa awal pak Menteri menjabat. Namun program ini secara resmi baru dilaunching Mendikdasmen Abdul Mu’ti pada awal tahun 2025. Apa hal mendasar yang bisa dihasilkan dari gerakan ini? Adakah dampak besar yang diharapkan dari kebiasaan yang sebagian orang menilainya sebagai rutinitas biasa? Bagaimana peran keluarga dalam program ini? Itulah sekelumit pertanyaan-pertanyaan pemantik yang menjadi gagasan pembahasan dalam tulisan ini.
Perubahan Mindset
Dikutip dari laman resmi Kementerian Pendidikan bahwa peluncuran Gerakan 7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat menjadi tonggak penting dalam upaya menciptakan generasi emas Indonesia menuju tahun 2045. Gerakan ini berfokus pada tujuh kebiasaan utama yang diharapkan dapat diinternalisasi oleh anak-anak sejak dini, yaitu Bangun Pagi, Beribadah, Berolahraga, Makan Sehat dan Bergizi, Gemar Belajar, Bermasyarakat, dan Tidur Cepat.
Melalui implementasi kebiasaan-kebiasaan ini, Kemendikdasmen ingin memastikan anak-anak Indonesia tidak hanya unggul dalam aspek akademis, tetapi juga memiliki kepribadian yang kuat, kepedulian sosial, serta tanggung jawab terhadap lingkungan sekitarnya.
Gerakan 7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat merupakan wujud nyata dari komitmen Kemendikdasmen dalam mengembangkan sistem pendidikan nasional yang berorientasi pada penguatan karakter bangsa. Dengan menanamkan delapan karakter utama bangsa -religius, bermoral, sehat, cerdas, kreatif, kerja keras, disiplin, mandiri, dan bermanfaat-Kemendikdasmen percaya bahwa pembangunan SDM berkualitas harus dimulai dari penanaman nilai-nilai luhur pada anak-anak sejak dini.
Berbagai tanggapan muncul seiring peluncuran dan sosialisasi program 7 kebiasaan tersebut. Ada yang menyambut penuh harapan, ada yang skeptis dan ada pula yang memberikan catatan serta kritikan. Seperti mempersoalkan pilihan kata pada program tersebut yang dirasa kurang membumi pada anak. Gerakan ini betul melibatkan “anak-anak,” tapi tanpa anak-anak. Jadi, mari kita kritisi: apakah benar daftar ini bicara pada anak-anak, atau malah lebih cocok untuk WhatsApp group para orang tua? Demikian seperti terungkap dalam sebuah tulisan berjudul; 7 Kebiasaan Anak, Hebat untuk Siapa?
Atau juga catatan yang diungkapkan dalam tulisan pada sebuah situs komunitas menulis seperti berikut, “Setelah peluncuran Gerakan ini, banyak yang memberikan tanggapan lebih khusus pendidik bahwa kebiasaan positif ini sudah dilakukan selama ini di sekolah dalam mendukung implementasi kurikulum merdeka (IKM) melalui pembelajaran dan Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5). P5 bertujuan untuk membentuk karakter anak bangsa yang Beriman, Bertakwa kepada Tuhan YME, dan Berakhlak Mulia, Mandiri, Bernalar Kritis, Kreatif, Bergotong Royong, dan Berkebinekaan Global. Selain itu dalam Kurikulum Merdeka, ada Gerakan Sekolah Sehat dan juga menjamin Keamanan bagi anak didik melalui Gerakan Sekolah Ramah Anak. Semua kebijakan baik adanya dan akan berdampak positif jika dapat diimplementasikan dengan baik dan butuh komitmen serta keterlibatan semua elemen bila kebiasaan positif kelak membudaya baik pada satuan pendidikan maupun lingkungan keluarga dan masyarakat terkait”.
Sepintas memang tidak ditemukan sesuatu yang baru dalam gebrakan Kemendikdasmen ini. Poin-poin yang diharapkan menjadi kebiasaan (habit) anak Indonesia ini sudah menjadi aktivitas keseharian yang menyatu dalam kehidupan. Bangun pagi dan tidur, ada atau tidak ada program Kemendikdasmen itu sudah berjalan. Pun demikian beribadah, berolahraga, dan makan, itu adalah rutinitas keseharian yang sudah ada dalam aktivitas kehidupan. Dalam bahasa simpelnya, memang tidak ada yang baru.
Namun apabila direnungkan, ikhtiar yang dilakukan Kemendikdasmen melalui program pembiasaan ini sesungguhnya adalah sebuah terobosan yang mencoba mendudukan kembali diksi pendidikan pada persepsi dan dimensi yang lebih luas. Pada saat banyak orang tua terjebak memaknai pendidikan dalam dimensi yang sempit, seperti menyamakan pendidikan dengan sekolah tidak lebih. Dalam hal ini terdapat pula upaya penataan kembali peran, tugas dan tanggung jawab pendidikan yang selama ini -lagi-lagi dipersepsikan- seolah hanya domain guru dan lembaga sekolah. Persepsi ini dikembalikan pada paradigma yang benar seperti termuat dalam konsep tripusat pendidikan, bahwa sukses pendidikan itu ditentukan kolaborasi dan sinergi efektif tiga elemen penting; rumah, sekolah dan masyarakat.
Dengan pemaknaan seperti ini, maka program sederhana yang memuat 7 kebiasaan itu sebetulnya sedang mencoba mengatasi problematika pendidikan dimulai dari hal yang paling mendasar yaitu perubahan mindset (pola pikir). Sedangkan perubahan pola pikir merupkan kunci melakukan perubahan besar. Semua perubahan pada diri, lingkungan maupun sebuah bangsa diawali dari perubahan mindset. Dan perubahan besar pada dunia pendidikan negeri kita, harus dimulai dengan perubahan mindset, pola pikir dan paradagima yang benar tentang pendidikan itu sendiri.
Mindset Shifting Tentang Pendidikan
Sedikitnya ada 3 perubahan mindset yang diharapkan muncul sebagai dampak positif dari penerapan program 7 pembiasaan ini. Dari perubahan mindset tersebut diharapkan bisa memperbaiki kualitas pendidikan menjadi lebih baik lagi terutama pada penguatan karakter sebagai goal utama dari pembiasaan ini.
Dari 7 pembiasaan anak Indonesia hebat yang termuat pada program ini, dapat diklasifikasikan bahwa prosentase terbesar pembiasaan ini ada di dalam rumah, seperti bangun pagi, beribadah (bagi muslim ibadah pertama yang dilakukan adalah shalat subuh), makan sehat dan bergizi (sarapan dilakukan di rumah), tidur cepat (dipastikan di rumah). Sementara, berolahraga, gemar belajar dan bermasyarakat mungkin bisa diklaim sebagai pembiasaan di sekolah atau bisa juga fifty-fifty antara sekolah dan rumah.
Dengan gambaran prosentase seperti ini; 57,14% pembiasaan berpusat di rumah dan 42,86% pembiasaan ada di sekolah, diharapkan membawa dampak perubahan mindset pada 3 ranah:
Pertama; merubah mindset tentang makna dan dimensi pendidikan tidak lagi dipahami sebagai melulu sekolah saja. Pergeseran mindset ini penting sehingga tidak ada lagi orang tua yang beranggapan ketika sudah menyekolahkan anaknya, merasa sudah lepas tanggung jawab mendidik. Kedua; menguatkan kembali konsep tripusat pendidikan atau tiga sentra Pendidikan yang dicetuskan Ki Hajar Dewantara, yang menekankan pendidikan pada kolaborasi dan sinergi antara keluarga dalam hal ini orang tua di rumah, guru dan seluruh stakeholder di sekolah serta masyarakat. Ketiga; mengembalikan peran dan tanggung jawab utama dalam pendidikan anak kepada orang tua. Dalam program 7 kebiasaan ini terdapat penguatan peran pendidikan keluarga.
Karena itu, peran sentral keluarga sangat menentukan keberhasilan program 7 kebiasaan ini. Sebab ketujuh kebiasaan tersebut sebagian besar berpusat di rumah. Maka menjadi hal utama, kepedulian orang tua dan keluarga untuk selalu mengawasi dan mengingatkan. Mustahil program bagus ini akan berhasil, tanpa pengawasan yang bagus.
Pada akhirnya program ini akan menyadarkan orang tua supaya dapat menjadi teladan dalam menciptakan rutinitas pagi yang positif untuk membangun kebiasaan bangun pagi pada anak. Menuntut peran orang tua dalam menanamkan nilai spiritual sejak dini dengan menciptakan suasana beribadah yang menyenangkan dan bermakna. Mangingatkan pentingnya olahraga dalam keluarga sebagai aktivitas rutin untuk menjaga kebugaran fisik, sekaligus membangun kebersamaan. Memaksa orang tua sebagai “Inspirator Literasi Anak". Bagaimana orang tua menumbuhkan minat membaca dengan menciptakan lingkungan kaya literasi di rumah dan menjadi contoh nyata. Pada waktu yang lain orang tua menciptakan kebiasaan berinteraksi positif sejak kecil dengan mengajarkan nilai sopan santun, empati, dan partisipasi sosial kepada anak dalam kehidupan bermasyarakat.
Tidak ketinggalan peran orang tua dalam membangun pola makan bergizi juga sangat diharapkan. Bagaimana orang tua memilihkan makanan sehat, mengedukasi anak tentang gizi, dan menjadikan momen makan bersama sebagai bagian dari pembelajaran. Dan last but not least, pola tidur yang baik untuk pertumbuhan dan konsentrasi anak, serta bagaimana orang tua dapat menciptakan rutinitas malam yang mendukung kebiasaan tidur cepat. Karena kebiasaan yang baik dimulai dari kelarga dalam hal ini orang tua.
Wallahu a’lam bishawab!
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
