Kebakaran di Pemukiman Padat: Jakarta Perlu Terobosan Kebijakan
Kebijakan | 2025-01-24 22:22:02Kebakaran di Pemukiman Padat: Jakarta Perlu Terobosan Kebijakan
Sitti Aminah
Pusat Pemerintahan Dalam negeri, BRIN
Tragedi Berulang
Kebakaran di Jakarta, khususnya di kawasan permukiman padat penduduk, telah menjadi tragedi yang berulang tanpa solusi tuntas. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat dalam periode 2019-2024 terjadi 8.863 kejadian kebakaran, dengan lonjakan signifikan pada 2023 sebanyak 2.286 kasus. Meski ada penurunan di 2024 dengan 787 kasus, dampak kebakaran selama lima tahun terakhir tetap mengkhawatirkan: 117 korban meninggal, 384 orang luka-luka, serta 44 petugas pemadam kebakaran terluka, bahkan seorang di antaranya kehilangan nyawa. Awal tahun 2025, tragedi kebakaran besar yang kembali mengguncang Jakarta. Pada 15 Januari, kebakaran hebat melanda Glodok Plaza, merenggut nyawa 11 orang dan meninggalkan duka mendalam. Tak berhenti di situ, hanya berselang enam hari, pada 21 Januari, empat kebakaran terjadi di lokasi berbeda—Kemayoran, Mangga Dua, sebuah bangunan di Cipayung, dan gedung Panin Bank.
Rentetan peristiwa ini mengingatkan kita bahwa kebakaran di Jakarta bukan sekadar insiden, tetapi krisis yang membutuhkan perhatian serius berupa terobosan kebijakan dan langkah konkret.
Faktor Penyebab
Penyebab kebakaran di Jakarta bukan hanya kesalahan teknis atau perilaku masyarakat, melainkan ada struktural kegagalan dalam penataan kawasan yang komprehensif. Di kawasan pemukiman padat banyak terdapat bangunan ilegal dan tidak terdaftar. Selain itu, banyak m mayoritas bangunan yang tidak memenuhi standar keselamatan. Lebih parah lagi, praktik penggunaan listrik ilegal seperti sambungan liar sering kali menjadi pemicu utama kebakaran.
Kondisi fisik permukiman padat sebagian besar dibangun semi permanen dengan bahan mudah terbakar, seperti kayu dan triplek, yang tidak memenuhi standar keselamatan. Penduduk tinggal berdempetan dengan ruang terbuka yang minim, sementara akses jalan sering kali sempit atau terhalang bangunan liar, sehingga menyulitkan mobilitas petugas pemadam kebakaran. Situasi ini menunjukkan lemahnya pengawasan dalam perencanaan dan pembangunan kawasan padat penduduk.
Faktor perilaku masyarakat pun tak kalah pentingnya. Penggunaan alat listrik yang tidak sesuai standar dan pemasangan instalasi yang ceroboh menjadi pemicu utama korsleting listrik, yang menyumbang hingga 80 persen kasus kebakaran di Jakarta. Penggunaan kompor gas yang tidak aman juga memperburuk situasi.
Kebijakan Saat Ini dan Keterbatasannya
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menetapkan pemadam kebakaran sebagai urusan wajib pemerintah daerah, sejajar dengan layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan. Konsekuensinya, pemerintah daerah wajib memberikan prioritas melalui penerapan standar pelayanan minimal (SPM). Namun, pada kenyataannya, perhatian terhadap upaya pencegahan kebakaran belum sebanding dengan urgensinya, terutama di wilayah urban seperti Jakarta yang memiliki risiko kebakaran tinggi.
Jakarta sebenarnya telah memiliki Perda Nomor 8 Tahun 2008 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Bahaya Kebakaran. Sayangnya, lebih dari satu dekade berlalu, implementasi kebijakan ini belum mencapai hasil yang memadai. Program mitigasi kebakaran di masyarakat masih sangat terbatas, baik dari segi cakupan edukasi maupun kualitasnya. Selain itu, sistem pemadam kebakaran menghadapi tantangan kurangnya jumlah personel, pelatihan yang belum merata sesuai standar kualifikasi, serta minimnya sarana dan peralatan yang mendukung respons cepat dan efektif.
Perda Nomor 7 Tahun 2010 yang mengatur standar keselamatan bangunan juga belum berjalan sesuai harapan. Banyak bangunan di kawasan permukiman padat yang dibangun tanpa pengawasan ketat, sementara inspeksi keselamatan rutin hampir tidak pernah dilakukan. Selain itu, rendahnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pencegahan kebakaran menunjukkan kurangnya program edukasi publik yang terencana dan berkelanjutan. Ini membutuhkan evaluasi mendalam dan inovasi nyata untuk menjawab tantangan yang ada.
Terobosan Kebijakan
Pemerintah perlu melampaui pendekatan tambal sulam dengan menciptakan kebijakan visioner yang mampu mencegah kebakaran di masa depan. Penataan kawasan permukiman padat harus menjadi prioritas, dimulai dengan memastikan apakah kawasan tersebut telah sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kota Jakarta. Langkah ini penting untuk menentukan status layak huni dan legalitas tanah.
Bila kawasan permukiman ternyata berada di zona larangan atau rawan bahaya, pemerintah perlu bertindak tegas dengan menawarkan relokasi ke tempat yang lebih aman. Relokasi harus disertai dengan ganti untung atau kompensasi yang adil untuk menjaga kesejahteraan warga terdampak. Di sisi lain, bangunan ilegal, tidak berizin, dan yang berdiri tidak sesuai peruntukan harus ditertibkan melalui penegakan hukum yang konsisten. Ketegasan ini penting untuk memastikan bahwa setiap langkah yang diambil tidak hanya bersifat reaktif, tetapi juga preventif.
Transformasi ini tidak hanya soal mengubah bentuk hunian tetapi juga penataan ulang lingkungan permukiman secara komprehensif. Hunian vertikal dirancang dengan fasilitas pencegahan kebakaran yang lengkap, seperti penataan utilitas kabel dan jaringan air bersih, pemasangan pompa hidran, hingga penyediaan taman evakuasi dan jalur evakuasi yang memadai. Semua fasilitas ini harus menjadi prioritas utama dalam desain hunian vertikal, sehingga memberikan rasa aman dan meningkatkan kualitas hidup mereka secara keseluruhan.
Langkah awal yang krusial adalah membuka dialog dengan warga. Selain untuk mengkomunikasikan tujuan pemerintah dalam membangun kawasan permukiman yang memenuhi standar, dialog ini juga bertujuan membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya hunian layak untuk keselamatan bersama.
Regulasi standar keselamatan bangunan di Jakarta yang disusun satu dekade lalu membutuhkan revisi strategis untuk mengintegrasikan teknologi mutakhir guna menghadapi tantangan kebakaran di kota modern. Jakarta dapat belajar dari praktik terbaik kota-kota maju di dunia dalam penanggulangan kebakaran. Tokyo, misalnya, menerapkan standar bangunan tahan api yang sangat ketat dan melengkapi gedung dengan sensor asap untuk deteksi dini kebakaran. Sementara itu, Singapura mewajibkan pemasangan sistem sprinkler otomatis dan alarm kebakaran di setiap bangunan, memastikan respons cepat terhadap insiden. Di New York, teknologi drone dan CCTV digunakan untuk memantau area kebakaran secara real-time, mempercepat pengambilan keputusan di lapangan, dan meningkatkan efektivitas pemadam kebakaran.
Investasi infrastruktur kebakaran menjadi kebutuhan yang mendesak. Pemerintah Jakarta harus meningkatkan jumlah hydrant, menyediakan peralatan pemadam kebakaran modern, dan memastikan keberadaan jalur evakuasi yang jelas di setiap kawasan. Selain itu, alat pemadam kebakaran mandiri perlu diwajibkan bagi pengurus RT dan RW untuk antisipasi dini secara cepat dan efisien saat insiden terjadi. Penguatan kapasitas pemadam kebakaran juga harus menjadi prioritas, baik dari segi ketersediaan personel maupun peningkatan kualitas SDM melalui diklat sesuai standar kompetensi dan kualifikasi internasional.
Akhirnya, kebijakan penanggulangan kebakaran hanya efektif dengan dukungan aktif masyarakat. Pemerintah perlu menginisiasi program edukasi berkelanjutan melalui pelatihan tanggap darurat, simulasi kebakaran, dan kampanye publik di tingkat RT/RW hingga sekolah-sekolah berguna untuk membangun kesadaran kolektif. Kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sangat penting untuk memberdayakan warga menjadi bagian dari solusi, menciptakan lingkungan yang lebih aman, dan mendukung keberhasilan mitigasi kebakaran.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.