Sibuk Nyapres Saat Rakyat Serasa 'Stres'
Politik | 2022-02-18 08:08:21Sibuk Nyapres Saat Rakyat Serasa ‘Stres’
Oleh: Dhevy Hakim
Dua tahun diterpa badai pandemi covid-19 bukanlah kondisi yang mudah bagi rakyat kecil. Banyak yang di PHK dan sangat susah mencari pekerjaan lagi. Kalaupun mau membuka usaha modal pun tidak ada, apalagi situasi pandemi belum juga stabil sepenuhnya. Terbukti dua pekan terakhir, angka kasus harian covid meningkat tajam.
Kondisi ini semakin membuat rakyat serasa “stres” merasakan kesulitan demi kesulitan yang mereka hadapi. Bagaimana tidak, sudahlah penghasilan tidak ada ataupun kalau ada sangat minim, namun beban kebutuhan hidup sehari-hari semakin bertambah. Harga-harga serba naik, seperti minyak goreng, gula, beras, bahkan garam. Belum lagi wacana tarif dasar listri naik, pertalite sebagi BBM yang banyak diminati rakyat juga mau dicabut. Belum persoalan pendidikan anak, kesehatan keluarga dll.
Mirirsnya, di tengah situasi kondisi rakyat yang serba sulit dan bertaruh nyawa setiap saat menghadapi serangan Corona, justru para elite saat ini berlomba-lomba menyibukkan diri menjadi calon presiden di pemilu 2024 mendatang. Dukung mendukung mulai dilakukan.
Seperti yang dilakukan oleh Marjuanto Koordinator Jaringan Petani dan Peternak Blora bersama warga setempat memberikan dukungan kepada Abdul Muhaimin Iskandar atau Cak Imin sebagai capres di pemilu 2024. Kaos bergambar Cak Imin pun ramai-ramai mereka pakai. (kompas.com, 5/2/2022)
Dukungan serupa juga dilakukan oleh pengemudi ojek online dan ojek pangkalan dari Tangerang Raya, Jakarta, Bogor, Depok, dan Bekasi, yang tergabung dalam Jack Etho dengan melakukan mendeklarasikan dukungan kepada Erick Thohir untuk maju menjadi capres. (wartaekonomi.co.id, 7/2/2022)
Lebih seru lagi, kunjungan yang dilakukan oleh sejumlah elite. Sejumlah nama mulai disebut-sebut sebagai calon presiden di pilpres 2024 mendatang. Nama-nama tersebut diantaranya Puan Maharani, Ridwan Kamil, Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, Erick Thohir, hingga Muhaimin Iskandar. Adu argumentasi, dukungan para fans, hingga sindir menyindir diantara elite mulai memanas.
Padahal pemilu kurang dua tahun lagi. Berdasarkan keputusan pemerintah dengan DPR, pemilu untuk memilih presiden dan wakil presiden, anggota DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta anggota DPD RI diselenggarakan pada tanggal 14 Februari 2024. Lantas, kenapa bisa demikian?
Iya, pemilu sebagai bentuk pesta demokrasi pada dasarnya adalah cara kapitalisme untuk menancapkan kuku-kukunya. Lewat pemilu, para kapital bisa dengan mudah menentukan penguasa bonekanya. Oleh karenanya dengan model pemilu yang mengandalkan suara terbanyak para elite penting untuk melakukan pencitraan, dukungan masa, dan elektabilitas yang baik.
Sedangkan masalah pencitraan, dukungan masa dan elektabilitas tidak cukup dilakukan dengan cara mendadak. Tidak heran sejumlah elite politik lebih semangat untuk melakukan itu semua daripada menjalankan amanah rakyat. Bahkan seolah tidak peduli dengan penderitaan rakyat dan aspirasinya.
Ya, inilah watak demokrasi yang sebenarnya. Elite politik yang beramanah tak jarang terseret arus ke pusaran demokrasi. Alhasil, seperti lingkaran setan, pembiayaan yang dibutuhkan untuk melakukan dukungan masa menjadikan mereka yang terpilih menjadi penguasa menanggung utang budi kepada pemilik modal.
Hal ini tentu berbeda dengan kepemimpinan dalam Islam. Pemimpin adalah amanah, pertanggungjawabannya kepada Allah SWT, bukan jabatan yang diperebutkan. Kisah Umar bin Khattab saat ditunjuk menjadi amirul mukminin, beliau bukannya bersorak gembira, namun beliau mengucapkan “innalillahi wa innalilahi roji’un”.
Konsep amanah inilah yang menjadikan setiap pemimpin di dalam sistem Islam berhati-hati. Di sisi lain, Islam memiliki konsep khas dalam masalah pondasi negara. Bukan seperti demokrasi, namun negara dijalankan atas dasar pijakan aqidah islam. Disinilah menjadikan proses pemilihan pemimpin Islam tidak ada transaksional, balas budi ataupun bagi-bagi kue kekuasaan.
Calon Khalifah bukan dipilih berdasarkan pencitraan, namun melalui seleksi ketat yakni pemenuhan syarat in’iqad. Ada tujuh syarat wajib yang harus dipenuhi yakni muslim, laki-laki, balig, berakal, adil, merdekda dan mampu.
Selain itu, Islam juga memiliki konsep khas tentang masa jabatan Khalifah, yakni tidak dibatasi periode dan lamanya, hanya saja dengan batasan Khalifah mampu mengemban amanah tugasnya dan tidak menyalahi syari’at Islam. Oleh karenanya para penguasa tidak terus-menerus disibukkan dengan pemilihan umum seperti di sistem demokrasi. Jikalau ada Khalifah yang berhenti maka proses pemulihannya juga sangat cepat. Hal ini dikarenakan, umat Islam tidak boleh tidak memiliki Khalifah lebih dari tiga hari tiga malam.
Demikianlah konsep khas yang ada di dalam Islam, sangat berbeda dengan demokrasi. Sekarang pilihan ada di tangan masing-masing, bertahan dengan demokrasi atau move on menuju sistem Islam penuh berkah. Wallahu a’lam.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.