Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Sajidatul Roihanah

Tafsir Gharib Alquran

Agama | 2025-01-12 10:02:11
Sumber: https://kumparan.com/kabar-harian/bacaan-gharib-dalam-al-quran-dan-jenisnya-22nhz2afh5u

Pendahuluan

Secara bahasa, gharîb berarti sesuatu yang asing atau tidak umum. Dalam konteks khusus, gharîb al-Qur'an mengacu pada kata-kata dalam Al-Qur'an yang maknanya sulit dipahami, samar, atau tidak segera dimengerti oleh orang awam. Namun, konsep gharîb al-Qur'an ini berbeda dari pengertian gharîb dalam linguistik. Dalam bahasa, gharîb merujuk pada kata atau ungkapan yang jarang digunakan dan memerlukan kajian mendalam dalam kitab-kitab bahasa yang rinci. Istilah ini mengacu pada makna yang sulit dipahami atau butuh diarahkan agar lebih jelas bagi pemahaman umum.

Sifat ini tidak berlaku untuk Al-Qur'an. Setiap kata dalam Al-Qur'an memiliki kefasihan tinggi, tanpa ada ungkapan yang membingungkan atau tidak sesuai kaidah. Penggunaan istilah gharîb dalam Al-Qur'an hanyalah istilah teknis untuk menunjuk kata-kata yang perlu penjelasan, bukan karena susunan kata-katanya sulit atau kurang fasih. Dengan demikian, gharîb al-Qur'an bukan berarti kata-kata dalam Al-Qur'an itu aneh atau tidak sesuai dengan aturan bahasa. Sebab, sifat-sifat demikian tentu tidak mungkin ada dalam Al-Qur'an.

Berdasarkan definisi ini, dapat disimpulkan bahwa gharîb al-Qur'an merujuk pada kata-kata yang maknanya mungkin tidak jelas atau terasa asing bagi masyarakat umum. Sebenarnya, maknanya tidak rumit; hanya saja, masyarakat umum yang jarang menggunakan bahasa Al-Qur'an menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak familiar. (Zuhurul Fuqohal & Abdul Karim, Tafsir Gharib Al-Qur’an: Sistematika dan Metodologi , h. 1-3).

Contoh Tafsir Gharîb Al-Qur’an

Berikut ini adalah beberapa contoh kata gharîb dalam Al-Qur’an yang dihimpun dari kitab Gharîb al-Qur'an karya Ibnu Qutaybah, dengan mengambil contoh lafal gharîb dalam surat Al-Fajr (Ibnu Qutaibah, Gharîb al-Qur'an).

وَلَيَالٍ عَشْرٍۙ ۝٢

Artinya: “Demi malam yang sepuluh.”

Dalam ayat ini, lafal gharibnya adalah kata وَلَيَالٍ عَشْرٍ (demi malam yang sepuluh), yang ditafsirkan sebagai sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.

Makna dari tafsir ayat gharîb di atas adalah bahwa sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah merupakan waktu yang sangat istimewa dalam Islam. Selama sepuluh hari ini, umat Islam dianjurkan untuk memperbanyak ibadah seperti puasa, dzikir, dan amal-amal baik lainnya. Hari-hari ini mencakup momen-momen penting seperti hari Arafah dan Idul Adha, sehingga Allah memberikan keutamaan khusus pada waktu ini sebagai kesempatan bagi hamba-Nya untuk meraih pahala besar dan mendekatkan diri kepada-Nya.

وَّالشَّفْعِ وَالْوَتْرِۙ ۝٣

Artinya: “Demi yang genap dan yang ganjil.”

Dalam ayat ini, lafal gharibnya adalah kata وَالشَّفْعِ (demi yang genap) da وَالْوَتْرِ (demi yang ganjil). Kata وَالشَّفْعِ ditafsirkan sebagai hari Idul Adha, sedangkan kata وَالْوَتْرِ ditafsirkan sebagai hari Arafah.

Dalam bahasa Arab, syaf‘ berarti "genap," sedangkan watr berarti "ganjil."

Qatadah berkata: "Seluruh makhluk itu terdiri dari pasangan (genap) dan ganjil; maka Allah bersumpah dengan ciptaan-Nya."

Imran bin Husain berkata: "Salat yang diwajibkan itu ada yang genap dan ada yang ganjil."

Ibnu Abbas berkata: "Yang ganjil adalah Adam; dan yang genap adalah ketika ia dipasangkan dengan istrinya Hawa, semoga keselamatan tercurah kepada keduanya."

Abu ‘Ubaidah berkata: “Asy-Syaf‘ berarti az-Zaka, yaitu pasangan; sedangkan al-Witr berarti al-Khasa, yaitu yang tunggal.”

وَالَّيْلِ اِذَا يَسْرِۚ ۝٤

Artinya: “Demi malam apabila berlalu.”

Dalam ayat ini, lafal gharibnya adalah kata وَالَّيْلِ اِذَا يَسْر ِ (demi malam apabila berlalu), yang ditafsirkan sebagai “malam yang dilalui atau dijalani." Sebagaimana dikatakan, "malam yang tidur", yaitu malam yang digunakan untuk tidur."

Makna dari tafsir ayat gharîb diatas adalah bahwa ungkapan "malam yang dilalui atau dijalani" menggambarkan malam sebagai waktu yang berlalu dengan aktivitas tertentu, seperti tidur atau beristirahat. Hal ini mengisyaratkan bahwa malam bukan hanya sekadar waktu yang berlalu, tetapi juga memiliki fungsi tertentu dalam kehidupan manusia. Seperti dalam perumpamaan "malam yang tidur," maksudnya adalah malam digunakan untuk tidur, sehingga malam menjadi momen penting untuk istirahat dan ketenangan setelah beraktivitas di siang hari. Tafsir ini menyoroti makna malam sebagai waktu yang dikhususkan untuk menjalani fase-fase kehidupan yang tenang dan damai.

هَلْ فِيْ ذٰلِكَ قَسَمٌ لِّذِيْ حِجْرٍۗ ۝٥

Artinya: “Apakah pada yang demikian itu terdapat sumpah (yang dapat diterima) oleh orang yang berakal?”

Dalam ayat ini, lafal gharibnya adalah kata لِّذِيْ حِجْرٍ (bagi yang memiliki akal) yang ditafsirkan sebagai "bagi orang yang memiliki akal."

Makna dari tafsir ayat gharîb diatas adalah bahwa pesan-pesan dalam Al-Qur'an hanya dapat dipahami dan diambil pelajarannya oleh orang-orang yang menggunakan akalnya. Dengan demikian, mereka yang memiliki akal sehat akan lebih mudah memahami kebenaran dan petunjuk yang disampaikan dalam wahyu, serta mengambil hikmah dari segala tanda-tanda kebesaran Allah yang ada di alam semesta.

وَثَمُوْدَ الَّذِيْنَ جَابُوا الصَّخْرَ بِالْوَادِۖ ۝٩

Artinya: “(Tidakkah engkau perhatikan pula kaum) Samud yang memotong batu-batu besar di lembah.”

Dalam ayat ini, lafal gharibnya adalah kata جَابُوا الصَّخْرَ (mereka memotong batu-batu besar) yang ditafsirkan sebagai "mereka menggali dan membuat rumah-rumah dari batu besar."

Makna dari tafsir ayat gharîb diatas ini menggambarkan kemampuan kaum Samud dalam mengolah alam, khususnya batu-batu besar, untuk dijadikan tempat tinggal. Tafsir ini menunjukkan kekuatan dan kemajuan teknologi yang mereka miliki pada masa itu, namun juga mengingatkan bahwa meskipun mereka mampu menciptakan hal-hal besar, kekuatan tersebut tidak menjamin keselamatan mereka dari kehancuran jika mereka mengabaikan peringatan Allah.

وَاَمَّآ اِذَا مَا ابْتَلٰىهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَه فَيَقُوْلُ رَبِّيْٓ اَهَانَنِۚ ۝١٦

Artinya: “Sementara itu, apabila Dia mengujinya lalu membatasi rezekinya, berkatalah dia, ‘Tuhanku telah menghinaku.’”

Dalam ayat ini, lafal gharibnya adalah kata فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَه (lalu membatasi rezekinya) yang ditafsirkan sebagai "Dia menyempitkan rezekinya." Dikatakan , “Aku menyempitkan rezekinya,” atau “Aku menguranginya.”

Makna dari tafsir ayat gharîb diatas adalah bahwa rezeki tidak selalu melimpah, dan terkadang Allah mengujinya dengan keterbatasan atau kesempitan dalam hal materi. Tafsir ini mengingatkan kita bahwa dalam kehidupan, ada saat-saat di mana rezeki seseorang berkurang, dan hal tersebut merupakan bagian dari ujian Allah. Keadaan ini mengajarkan pentingnya bersabar dan bersyukur dalam segala kondisi, karena rezeki sepenuhnya berada di tangan Allah.

وَتَأْكُلُوْنَ التُّرَاثَ اَكْلًا لَّمًّاۙ ۝١٩

Artinya: “Memakan harta warisan dengan cara mencampurbaurkan (yang halal dan yang haram).”

Dalam ayat ini, yang dimaksud dengan kata التُّرَاثَ adalah "harta warisan." Huruf ta' pada kata tersebut berubah dari waw, seperti kata تُجاه yang asalnya adalah وُجَاه , atau kata تُخَمة yang asalnya adalah وُخَمة.

Dan kata اَكْلًا لَّمًّاۙ adalah "makan dengan rakus." Kata ini berasal dari ungkapan "Aku mengumpulkan sesuatu," yaitu ketika kamu mengumpulkannya.

Makna dari tafsir ayat gharîb diatas yaitu bahwa ungkapan "makan dengan rakus" menggambarkan perilaku seseorang yang memakan harta warisan tanpa memedulikan apakah itu halal atau haram. Ini menunjukkan sikap serakah yang tidak memedulikan batasan agama dalam memperoleh harta, seolah-olah ia mengumpulkan segala sesuatu yang dapat diperolehnya tanpa memilah. Tafsir ini mengingatkan kita untuk menghindari ketamakan dan pentingnya mempertimbangkan kehalalan harta yang kita ambil atau manfaatkan.

وَّتُحِبُّوْنَ الْمَالَ حُبًّا جَمًّاۗ ۝٢٠

Artinya: “Dan mencintai harta dengan kecintaan yang berlebihan.”

Dalam ayat ini, lafal gharibnya adalah kata حُبًّا جَمًّاۗ (dengan kecintaan yang berlebihan) yang ditafsirkan sebagai "cinta yang sangat besar" atau "cinta yang melimpah."

Makna dari tafsir ayat gharîb diatas menekankan bahwa cinta yang dimaksud dalam ayat ini bukanlah sekadar rasa biasa, tetapi cinta yang berlebihan dan meluap, seringkali terkait dengan kecintaan seseorang terhadap harta, dunia, atau hal-hal yang membuatnya terlena.

كَلَّآ اِذَا دُكَّتِ الْاَرْضُ دَكًّا دَكًّاۙ ۝٢١

Artinya: “Jangan sekali-kali begitu! Apabila bumi diguncangkan berturut-turut (berbenturan).”

Dalam ayat ini, lafal gharibnya adalah kata دُكَّتِ الْاَرْضُ (bumi diguncangkan) yang ditafsirkan sebagai "gunung-gunung dihancurkan" dan bagian-bagian tingginya diratakan hingga menjadi rata.’’

Makna dari tafsir ayat gharîb ini menggambarkan suatu peristiwa besar, seperti saat kiamat, di mana gunung-gunung yang menjulang tinggi akan dihancurkan dan tidak lagi berdiri kokoh. Ini melukiskan perubahan besar pada alam semesta sebagai tanda kehancuran dan kekuasaan Allah yang mengatur segala sesuatu, serta mengingatkan manusia akan akhir kehidupan dunia yang sementara.

Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa gharîb al-Qur’an merujuk pada kata-kata dalam Al-Qur'an yang memiliki makna asing atau jarang digunakan oleh masyarakat umum, sehingga memerlukan penjelasan tambahan. Meskipun demikian, istilah ini bukan berarti kata-kata tersebut sulit atau tidak fasih secara bahasa. Setiap kata dalam Al-Qur’an telah mencapai standar kefasihan yang tinggi dan sesuai dengan kaidah bahasa Arab yang murni. Istilah gharîb dalam konteks Al-Qur'an hanyalah teknis untuk menunjukkan kata-kata yang membutuhkan interpretasi lebih mendalam.

Signifikansi tafsir gharîb al-Qur'an sangat penting dalam upaya memahami pesan Al-Qur'an secara akurat. Dengan memberikan penjelasan atas kata-kata yang kurang umum, tafsir ini membantu menghilangkan potensi kesalahpahaman dan menjembatani jarak antara bahasa Al-Qur'an dengan pemahaman masyarakat modern yang mungkin kurang akrab dengan bahasa klasik Arab. Dengan demikian, tafsir gharîb al-Qur’an tidak hanya memperkaya pemahaman makna tetapi juga memastikan bahwa interpretasi yang dihasilkan sesuai dengan konteks dan tujuan wahyu. Tafsir ini, pada akhirnya, memberikan pengaruh besar dalam memperkuat pemahaman dan kedalaman penafsiran Al-Qur'an, sehingga pesan-pesan ilahi dapat tersampaikan dengan lebih jelas dan tepat kepada umat Islam.

Daftar Pustaka

Zuhurul Fuqohal dan Abdul Karim. Tafsir Gharib Al-Qur’an: Sistematika dan Metodologi. Kudus: IAIN Kudus Press, 2021.

Ibnu Qutaibah. Gharîb al-Qur'an. Mesir: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1978 M/1398 H.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image