Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Mikaela

Budaya Toxic Productivity Menjadi Bumerang Bagi Diri Sendiri

Gaya Hidup | 2025-01-05 20:47:06

Oleh : Mikaela Maria Chrisavedetha B. Mahasiswi S1 Psikologi Universitas Airlangga

Sumber : teamly.com

Di era digital, kerja keras sudah menjadi simbol kesuksesan. Media sosial seringkali menunjukkan betapa sibuk dan produktifnya orang lain, sehingga mendorong individu berlomba-lomba memamerkan pencapaiannya. Namun di balik semua produktivitas yang gemilang, terdapat fenomena yang sering luput dari perhatian, yaitu Toxic Productivity. Fenomena ini terjadi ketika individu memiliki dorongan obsesif untuk ingin selalu sibuk dan belum puas akan pencapaiannya. Hal tersebut pastinya berdampak negatif pada kesehatan fisik maupun mental. Banyak orang merasa bahwa semakin banyak mereka melakukan, semakin meningkat value diri mereka. Faktanya, pola pikir ini bisa menimbulkan dampak negatif yang serius.

Apabila diselidiki, penyebab utama dari Toxic Productivity tidak jauh dari rasa takut, yaitu FOMO atau Fear of Missing Out yang sering muncul dari media. Kondisi ini bisa terjadi setelah individu melihat pencapaian orang lain di sosial media atau mendengar pencapaian orang lain. Lalu, ia akan merasakan sebuah perasaan takut ketinggalan dan membandingkan diri dengan orang lain. Hal tersebut muncul perasaan apabila dirinya merasa tidak produktif, jika tidak melakukan atau mengerjakan suatu hal. Sehingga, merasa lebih baik bagi dirinya mengorbankan waktu istirahat dan memilih untuk mengambil beberapa kegiatan dalam waktu sama. Memforsir tenaga dan pikiran dengan mengambil banyak tanggung jawab, dapat berdampak pada kesehatan mental dengan munculnya perasaan tertekan karena banyaknya beban yang harus diselesaikan dengan waktu singkat dan berdekatan (Alni T. et., 2023).

Selain mengabaikan waktu istirahat, yang mana hal tersebut justru penting bagi kesehatan mental dan fisik, individu dengan Toxic Productivity biasanya cenderung suka menyalahkan diri sendiri ketika hasil kerjanya tidak sesuai harapan dan ekspetasi. Hal ini terjadi juga dikarenakan faktor ambisi dan jiwa persaingan yang terbentuk dalam diri individu dari lingkungannya. Apabila terus dibiarkan akan berdampak pada terjadinya Burnout. Kondisi ini digambarkan dengan individu mengalami stres kronis yang melemahkan tubuh, emosi, dan pikiran. Istilah Burnout pertama kali dicetuskan oleh psikolog Herbert Freudenberger pada 1974. Ia menggambarkannya sebagai kelelahan fisik dan mental akibat tekanan pekerjaan yang terus-menerus. Orang yang mengalami Burnout merasa kehabisan energi, kehilangan motivasi, dan sulit berkonsentrasi.

Dilansir dari jurnal SOSMANIORA, Toxic Productivity juga berdampak signifikan pada prestasi akademik remaja. Beberapa efek yang sering terjadi, yaitu pertama, stres dan kecemasan akibat dari tekanan untuk selalu produktif, apalagi jika pekerjaan menumpuk dan harus selesai dalam waktu bersamaan. Hal ini membuat mereka sulit fokus dan ikut serta secara maksimal dalam pembelajaran. Kedua, berdampak pada daya kreativitas menurun karena terlalu banyaknya tekanan membuat ruang untuk berpikir kreatif hampir tidak ada. Alih-alih mencari solusi inovatif, mereka hanya menyelesaikan tugas seadanya demi memenuhi tenggat waktu. Ketiga, kehilangan motivasi belajar karena tekanan yang terus-menerus. Ketika produktivitas lebih didorong oleh ekspektasi eksternal daripada keinginan pribadi, siswa atau mahasiswa bisa kehilangan minat dan akhirnya performa mereka pun menurun.

Sebagai langkah untuk mengatasi Toxic Productivity ini, perlu adanya kesadaran diri dari individu untuk mau berubah. Langkah pertama yang bisa dilakukan adalah dengan menyadari bahwa istirahat adalah kebutuhan, bukan kemewahan. Kedua, dengan latihan mindfulness dapat membantu diri untuk menikmati setiap momen tanpa tekanan multitasking (Camilla R. et., 2023). Ketiga, juga disarankan dengan melakukan meditasi atau sekadar berfokus pada satu tugas dalam satu waktu, seseorang dapat melatih diri untuk lebih menghargai proses daripada hasil.

Tak hanya ketiga langkah itu saja yang bisa diterapkan, dengan penting pula bagi diri untuk menetapkan batasan yang sehat antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Dengan kemajuan teknologi, banyak sekali alat bantu yang bisa digunakan, salah satunya menggunakan Google Calendar atau membuat daftar prioritas dan reminder. Hal ini dilakukan agar membantu individu untuk mengurangi tekanan dari pekerjaannya. Dilansir dati jurnal Interaksi : Jurnal Ilmu Komunikasi, disebutkan bahwa membatasi waktu penggunaan aplikasi media sosial juga bisa menjadi cara efektif untuk menghindari perbandingan sosial yang tidak sehat. Serta, kita pun perlu menyadari apabila solusi utama dari Toxic Productivity yang terjadi adalah bagaimana meredefinisikan arti produktivitas itu sendiri. Produktivitas bukan hanya sekedar berapa banyak yang telah dicapai, tetapi juga tentang seberapa bermaknanya hal yang dilakukan sehingga bisa berdampak pada diri.

Sebagai refleksi akhir, kita perlu bertanya pada diri sendiri: apakah kita bekerja untuk hidup, atau hidup untuk bekerja? Jika jawabannya adalah yang kedua, maka mungkin sudah saatnya untuk mengubah pola pikir. Hidup bukan hanya tentang pencapaian, tetapi juga tentang kebahagiaan dan kedamaian. Mari kita mulai dengan langkah kecil menghargai diri sendiri, menetapkan batasan, dan berani mengatakan tidak pada tekanan yang tidak perlu. Karena pada akhirnya, kesehatan fisik dan mental adalah investasi terbaik untuk masa depan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image