Ujian Nasional 2026: Kembali ke Masa Lalu atau Langkah Menuju Masa Depan?
Pendidikan dan Literasi | 2025-01-04 20:23:23
Rencana untuk mengembalikan Ujian Nasional (UN) pada tahun 2026 yang akan mendatang telah menjadi topik hangat di kalangan masyarakat, pendidik dan siswa. Setelah dihapus pada tahun 2021, UN kini diusulkan untuk diterapkan kembali dengan sistem yang berbeda. Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti menyatakan bahwa evaluasi baru ini akan dirancang untuk memenuhi kebutuhan pendidikan saat ini, termasuk aspirasi dari perguruan tinggi yang membutuhkan data pencapaian akademik individu calon mahasiswa, bukan hanya hasil dari asesmen nasional berbasis sampling.
Namun, keputusan ini tidak lepas dari yang namanya kritik. Banyak pakar pendidikan berpendapat bahwa UN sebagai penentu kelulusan tidak lagi relevan dalam konteks pendidikan modern sekarang ini. Dengan rendahnya skor literasi, numerasi, dan sains siswa Indonesia dalam Program for International Student Assessment (PISA), seharusnya siswa diarahkan pada peningkatan kualitas pembelajaran dan pengembangan keterampilan kritis dan kreatifitas, bukan sekadar mengembalikan sistem yang lama.
Namun, di sisi lain pengembalian UN ini juga menimbulkan kekhawatiran karena ini akan menjadi beban baru bagi siswa. Analisis terhadap UN sebelumnya menunjukkan bahwa UN sering kali menciptakan tekanan yang berlebihan pada siswa, mendorong mereka untuk fokus pada hasil akhirnya saja daripada proses pembelajaran itu sendiri. Stres dan kecemasan menjelang ujian dapat mengganggu kesehatan mental siswa, yang seharusnya menjadi perhatian utama dalam sistem pendidikan. Selain itu, UN cenderung memfokuskan pada materi pembelajaran tertentu yang diuji, sehingga banyak sekolah yang memprioritaskan pelajaran yang diujikan dalam UN. Akibatnya, pendidikan menjadi lebih sempit dan siswa kurang memiliki kemampuan dalam berpikir kritis dan kreatifitas mereka.
Penyebab kritik tentang penerapan kembalinya UN. Pertama, mereka menganggap bahwa UN tidak memenuhi asas keadilan karena menyamakan mutu pendidikan di berbagai daerah yang berbeda. Kualitas pendidikan di sekolah-sekolah unggulan di kota besar tidak dapat dibandingkan dengan sekolah-sekolah di daerah terpencil. Selain itu, UN hanya menguji beberapa mata pelajaran tertentu dan lebih berfokus pada aspek intelektual, sehingga mengabaikan aspek pendidikan lainnya seperti keterampilan sosial dan moral.
Kedua, penerapan UN sering kali menimbulkan stres dan tekanan berlebihan pada siswa. Banyak siswa mengalami gejala kecemasan menjelang ujian dan dalam beberapa kasus, tekanan tersebut dapat berdampak serius pada kesehatan mental mereka. Ketidaklulusan dalam UN sering kali dianggap sebagai cerminan dari ketidakmampuan sistem pendidikan, bukan kesalahan siswa itu sendiri.
Di sisi lain, ada juga pendapat yang mendukung kembalinya UN. Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) menyatakan dukungannya terhadap rencana ini. Sekretaris Jenderal PGRI Dudung Abdul Qadir berpendapat bahwa UN berfungsi sebagai mekanisme untuk mengetahui keberhasilan dari setiap satuan pendidikan dan individu siswa. Ia menilai bahwa penerapan kembali UN harus dilihat sebagai upaya peningkatan potensi siswa. Menurutnya, asesmen nasional yang diterapkan sejak UN ditiadakan tidak memberikan gambaran utuh tentang pencapaian siswa. Dudung menekankan bahwa baik asesmen nasional maupun UN seharusnya memberikan data yang terukur tentang kondisi satuan pendidikan dan siswa.
DPR juga memberikan dukungan terhadap rencana ini, tetapi dengan catatan bahwa UN harus benar-benar berkontribusi pada peningkatan kualitas pendidikan tanpa membebani siswa dan guru. Ada harapan bahwa evaluasi baru ini tidak hanya akan mengukur hasil belajar secara kuantitatif, tetapi juga mempertimbangkan aspek perkembangan karakter dan kompetensi siswa secara keseluruhan. Hal ini menunjukkan bahwa ada harapan bahwa pengembalian UN dapat digunakan untuk memetakan kualitas pendidikan secara lebih efektif baik di kota besar maupun di daerah terpencil.
Dengan semua perubahan yang direncanakan, pertanyaan besar tetap ada: Apakah pengembalian UN ini merupakan langkah maju menuju sistem pendidikan yang lebih baik atau justru kembali ke masa lalu? Hanya waktu yang akan menjawab pertanyaan ini, tetapi penting bagi semua para pendidik dan yang terlibat dalam program ini untuk memastikan bahwa kebijakan yang diambil benar-benar merupakan kebutuhan siswa dan harapan masyarakat mengenai pendidikan di Indonesia bisa tercapai.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.