Media Sosial dalam Kebebasan Berekspresi dan Tanggung Jawab Sosial
Teknologi | 2024-12-26 12:24:29Media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari kita saat ini. Dengan kemudahan akses yang diberikan di media sosial hanya dengan beberapa kali klik, informasi yang kita sebar dapat tersebar dengan cepat ke berbagai sudut dunia. Meskipun media sosial membawa manfaat yang besar, tantangan yang signifikan terutama dalam konteks kebebasan berekspresi dan tangung jawab sosial yang tak bisa diabaikan.
Banyak kejadian di media sosial terkini yang mencuatkan kontroversialitas terkait unggahan para influencer maupun individu lainnya di media sosial yang menimbulkan perdebatan di antara netizen karena perberbedaan pendapat tentang hal tersebut; sebagian mendukung atas keberanian dalam menyampaikan pendapat sedangkan yang lain mengkritik karena dinilai kurang memahami konteks situasi yang sedang terjadi saat itu. Hal ini memunculkan perdebatan seputar batasan antara kritik konstruktif dan ujaran destruktif dalam kebebasan berekspresi di platform online seperti media sosial.
Hak harus diimbangi dengan etika
Di zaman digital ini, mudah bagi setiap orang untuk mengekspresikan pendapat mereka dengan bebas. Berbagai media sosial seperti Twitter, Instagram, dan TikTok memberikan kesempatan kepada siapa saja untuk membicarakan masalah-masalah yang dianggap penting. Banyak orang telah menggunakan platform mereka untuk menyuarakan ketidakpuasan terhadap hal-hal yang dianggap tidak pantas bagi mereka. Tentunya, ini adalah hak setiap individu yang dijamin oleh konstitusi. Tetapi, apakah kebebasan tersebut berarti kita dapat mengucapkan apapun tanpa memikirkan konsekuensi yang mungkin timbul ?
Pengertian dari kebebasan berekspresi sendiri masih banyak disalah artikan. Padahal kenyataannya kebebasan yang ada akan selalu diiringi oleh tanggung jawab. Misalnya ulasan kasus tentang bagaimana memberikan komentar yang provokatif mengarah kepada penggiringan opini yang justru memperkeruh suasana. Dalam kasus ini, mungkin dalam beberapa kasus tersebut berniat menyuarakan aspirasi tetapi dengan cara dan verbalisasi yang salah sehingga memperkeruh suasana.
Salah satu hal yang paling mencolok dalam dunia media sosial adalah reaksi cepat dari pengguna. Beberapa mendukung, tetapi tidak sedikit yang menyerangnya secara personal. Fenomena ini sering disebut sebagai cancel culture, di mana seseorang "dihukum" secara sosial karena tindakan atau pernyataannya yang dianggap salah. Budaya ini menjadi tantangan besar bagi kebebasan berekspresi. Di satu sisi, cancel culture dapat berfungsi sebagai kontrol sosial, mengingatkan orang bahwa setiap ucapan memiliki konsekuensi. Namun, di sisi lain, reaksi yang berlebihan juga bisa merugikan. Tidak jarang seseorang kehilangan pekerjaan atau reputasi karena satu kesalahan yang sebenarnya bisa diperbaiki. Hal ini menunjukkan bahwa sebagai pengguna media sosial, kita perlu lebih kritis dan tidak terburu-buru dalam menilai suatu isu
Sebenarnya jika kita mencermati perjalanan zaman, kita bisa merujuk banyak hal dari sejarah perjuangan di zaman dahulu untuk dijadikan bahan pelajaran tentang bagaimana menyampaikan pendapat di ruang publik. Sebelum merdeka, pers adalah sarana para pejuang untuk menyampaikan gagasan di muka umum. Misalnya, pada tahun 1905 berdiri surat kabar Soeara Moehammadijah, oleh organisasi Muhammadiyah, yang dimanfaatkan untuk menyampaikan opini-opini kebangsaan. Begitu pun harian Pemandangan, yang diterbitkan oleh perseroan Persatoean Djurnalis Indonesia, juga kerap menyampaikan kritik terhadap pemerintah kolonial Belanda, menjelang kemerdekaan, lewat tulisan-tulisan kolom opini mereka. Bedanya dengan media sosial zaman sekarang, pers ataupun surat kabar zaman dahulu, memiliki kurasi melalui penyuntingan sebelum disebarluaskan kepada para pembaca. Adanya proses penyuntingan sebelum diunggah membawa kita pada poin penyampaian pendapat dan informasi secara langsung memang bisa menarik perhatian banyak orang dengan cepat. Tapi, apakah itu akan menuntun kita menjadi lebih bijaksana? Atau malah jadi tersesat di dalam kebencian?
Maka dari itu, melihat celah-celah media sosial ini, kita sebagai generasi muda bangsa Indonesia harus terus meningkatkan literasi digital supaya tidak gagap dalam bersosial media. Akan tetapi, peningkatan literasi digital yang dimaksud bukan sekadar memiliki kemampuan untuk menggunakan berbagai perangkat-perangkat digital secara efektif dan efisien. Melainkan, juga kecakapan untuk menyaring informasi, serta menyampaikan pendapat di media sosial yang tidak secara asal. Sehingga kita bisa berpikir kritis apabila menyerap pendapat dari orang lain, serta mempertanyakan pendapat yang kita sampaikan sendiri: apakah ini berdampak baik? Apakah pendapat yang kita sampaikan lebih bermanfaat bagi masyarakat? Atau hanya akan merusak?
Sebagai generasi muda, kita pun bisa mengimplementasikan pentingnya bijak berpendapat di media sosial melalui kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan penyampaian pendapat di berbagai media dengan cara positif dan kompeten. Misalnya, mendorong kegiatan bimbingan mengenai praktik jurnalistik, atau aktivitas diskusi mengenai penulisan dan pengemasan konten digital, sehingga merupakan salah satu bentuk perbaikan untuk menyalurkan pendapat atau opini kita terutama melalui platform-platform digital yang dapat diakses oleh umum.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.