Generasi Muda, Tuntutan, dan Mati Sia-sia
Pendidikan dan Literasi | 2024-12-24 07:51:00Seiring berjalannya waktu, semakin meningkat persoalan bunuh diri yang dialami generasi muda. Permasalahan yang semakin mencuat dan berujung kehilangan. Bagaimana fenomena mengerikan ini harus segera dituntaskan dan tidak lagi diabaikan. Setiap harinya banyak sekali pemberitaan di media massa yang membuat miris. Hal yang sebenarnya terjadi lebih banyak yang ditutupi.Intro yang panas membuat berbagai pertanyaan dipikiran pembaca.
Segala fenomena yang telah terjadi berdasarkan bukti nyata yang tidak dibuat-buat. Hanya sebagian tertutup agar beberapa dapat tetap waras. Namun, siapa yang tidak mengetahui generasi muda saat ini. Generasi yang penuh tantangan dan permasalahan. Generasi muda saat ini yang dikenal dengan Gen Z sedang dihantui kecemasan, ketakutan, dan kekhawatiran berlebih. Bahkan beberapa dari mereka tidak jarang mengalami gejala depresi dan stres.
Gen Z mengalami stres parah sebanyak 6% dan 1% mengidap stres sangat parah, menurut j-innovative.org. Hal ini semakin diperkuat dengan pernyataan bahwa Generasi Z lahir di era digital dan internet. Peran mereka semakin bertambah karena bertanggung jawab pada roda perkembangan negara ini. Sehingga memicu bertambahnya tuntutan dan rawannya peningkatan stres. Banyaknya berita bunuh diri semakin membuat cemas. Angka kematian yang setiap tahunnya semakin bertambah dan didominasi oleh Gen Z.
Berbagai permasalahan hidup sepertinya semakin mendorong mereka untuk melakukan hal buruk itu. Generasi muda penerus bangsa, mereka yang menggantikan roda perputaran negara ini. Akankah permasalahan ini dapat menemukan titik terangnya.Pada awal Oktober, warganet tengah digemparkan oleh pemberitaan di media massa. Terjadi peristiwa bunuh diri yang dilakukan oleh mahasiswa dari Universitas Kristen Petra Surabaya. Mahasiswa (RD) ditemukan tewas bunuh diri setelah melompat dari gedung kampusnya sendiri yang memiliki 12 lantai.
Korban melakukan hal tersebut karena dipicu depresi.Pasca pemberitaan tersebut, tidak lama ditemukan kasus bunuh diri yang dilakukan oleh seorang mahasiswa. Mirisnya lagi mahasiswa tersebut baru menginjak semester satu di Universitas Tarumanegara yang terletak di Jakarta. Motif bunuh diri yang dilakukan korban sama persis dengan mahasiwa dari Surabaya tersebut. Korban (E) yang baru berusia 18 tahun nekat melompat dari lantai atas gedung kampusnya.Angka bunuh diri pada remaja lebih tinggi daripada populasi usia lainnya, yaitu sebanyak 3,7% per 100.000 populasi. Fakta ini terungkap pada data Kementrian Kesehatan tahun 2019.
Banyaknya kasus bunuh diri pada usia remaja dan produktif perlu perhatian khusus serta diselidiki lebih lanjut lagi. Media sosialMedia sosial semakin mengganas dan tidak terkontrol menjadi mimpi buruk bagi generasi muda. Sebanyak 45% dari Gen Z mengatakan merasa dihakimi dari penggunaan media sosial. Sementara sebanyak 38% merasa tidak percaya diri dan menganggap dirinya buruk. Kehidupan sehari-hari Gen Z, tidak terlepas dari penggunaan media sosial. Media sosial yang berisi berbagai macam konten, saat ini banyak didominasi konten negatif. Penggunaan media sosial harus dilakukan secara bijak dan kondusif. Tidak jarang, platform digital tersebut menjadi ajang hujatan dari berbagai penggunanya. Gen Z sangat rentan sekali terkena dampak buruk tersebut.
Mudahnya terpengaruh oleh hal-hal baru membuat kecemasan tersendiri bagi Gen Z. Mereka seringkali mengikuti tren yang sedang booming dan tidak ingin ketinggaalan. Ketika keinginan mereka tidak tercapai dapat menimbulkan kecemasan dan membandingkan diri dengan orang lain.Rasa khawatir Gen Z menimbulkan kecemasan yang akhirnya berujung stress dan depresi. Media sosial juga menjadi tempat untuk memamerkan pencapaian. Gen Z seringkali merasa iri dan menganggap dirinya selalu gagal dan tidak cukup baik dalam berusaha. Hal ini semakin menambah pikiran mereka dan dapat berujung bunuh diri.
Dukungan orang tuaSelain itu, gen Z sangat membutuhkan support system dari orang-orang terdekat. Dukungan dan tempat mereka dapat menceritakan beratnya masalah di kepala. Terkadang mereka hanya membutuhkan tempat untuk mengadu, bercerita, dan meluapkan keluh kesahnya. Pentingnya peran keluarga khususnya orang tua sangat dibutuhkan. Namun, beberapa dari mereka memiliki orang tua tanpa peran. Orang tua yang selalu sibuk dan tidak mengawasi perkembangan anak. Gen Z yang hidup tanpa dukungan merasa bingung dan hidupnya tidak terarah.
Ketika memiliki masalah, mereka cenderung menyimpan rapat-rapat dan memendamnya sendiri. Kecenderungan yang semakin lama dibiarkan akan berakibat fatal dan berujung depresi. Mereka seakan bingung dan resah karena tidak memiliki tempat untuk berkeluh kesah. Kurangnya kasih sayang orang tua dapat menyebabkan depresi dan berujung bunuh diri.Tuntutan dan tekananPengaruh stres juga dipicu oleh banyaknya tuntutan dan tekanan. Orang tua sebagai pondasi dalam keluarga seringkali menuntut anak untuk selalu mendapatkan nilai yang sempurna.
Setelah pulang dari delapan jam bersekolah, mereka harus menjalani les dan belajar mandiri sesampainya di rumah. Hal ini berulang terus setiap hari dan dapat memicu stres. Orang tua juga dapat memicu stres karena keegoisannya. Anak juga dituntut untuk menjadi apa yang mereka inginkan, meskipun bukan keahliannya. Sesuatu hal yang terus dipaksakan dan tidak diinginkan, maka akan menimbulkan risiko yang membahayakan psikis anak. Semakin banyaknya kasus bunuh diri yang dilakukan oleh generasi muda saat ini.
Tersebarnya data dan berita faktual tidak bisa membuat kita menutup mata. Peristiwa demikian yang seharusnya menjadi atensi bagi para petinggi negara kita. Nasib Indonesia di masa depan ada di tangan mereka. Dukungan dari orang-orang terdekat sangat dibutuhkan demi menjaga mental dan pikiran mereka. Mengurangi penggunaan media sosial dapat membawa banyak dampak positif. Memperluas relasi dan kegiatan-kegiatan positif dapat menghilangkan beban pikiran dan juga menambah banyak wawasan baru. Ketika pikiran sedang kacau dan putus asa, ingatlah orang tua yang selalu menunggu kesuksesan anaknya yang tidak ingin mati sia-sia.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.