Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Dhevy Hakim

Ketetapan Standar Hidup Layak yang tak Realistis

Info Terkini | 2024-12-20 02:20:24

Ketetapan Standar Hidup Layak yang Tak Realistis

Oleh : Dhevy Hakim

Standar hidup layak (SHL) di negara ini pada tahun 2024 menurut Badan Pusat Statistik (BPS) yakni Rp12,34 juta per tahun atau Rp1,02 juta per bulan. Besarnya SHL sendiri merupakan representasi dari pengeluaran riil per kapita per tahun. Menurut keterangan Plt. Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti (15/11/2024) besarnya SHL tahun 2024 menyatakan meningkat Rp442 ribu atau 3,71% dibandingkan 2023 yang hanya Rp11,89 juta per tahun atau Rp990,9 ribu per bulan.

SHL menurut BPS meski namanya standar, tapi bukanlah kriteria layak atau tidaknya kehidupan warga Indonesia. Namun merupakan salah satu dimensi Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Standar hidup layak mencerminkan banyaknya barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat, semakin tinggi angka SHL berarti standar hidup rakyat lebih baik. Artinya standar hidup rakyat di tahun 2024 berdasarkan data BPS dianggap lebih baik dari tahun sebelumnya.

Lantas benarkah demikian kenyataannya?

SHL versi BPS ini banyak mendapat penolakan dari masyarakat karena dianggap SHL Rp1,02 juta per bulan tidak sesuai dengan realitas. Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (ASPIRASI) salah satu yang merespon pengumuman standar hidup layak dari BPS dengan memberikan beberapa kritikan. Presiden ASPIRASI Mirah Sumirat menyampaikan kritikan tersebut diantaranya mengkritik penggunaan istilah 'standar' dalam survei BPS yang berpotensi disamakan dengan komponen hidup layak (KHL), mempertanyakan siapa yang disurvei, dan menilai kecilnya angka SHL.

Ya, realitasnya uang Rp1,02 juta untuk per bulan sangat tidak cukup. Apabila dibagi untuk mencukupi kebutuhan per harinya maka ketemu angka sekitar Rp30 ribu perharinya. Bisa dibayangkan uang sebanyak itu tentu tidaklah cukup. Belum lagi untuk pengeluaran per bulannya seperti biaya kos, listrik, air, gas, tranportasi, BBM, internet, biaya pendidikan anak, kesehatan dsb.

Ditambah lagi rakyat masih harus membayar aneka pungutan seperti iuran BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan, Tapera, berbagai jenis pajak pusat maupun daerah, dan retribusi. Bahkan, pada 2025 tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) naik menjadi 12%. Dipastikan jumlah pengeluaran untuk kebutuhan hidup rakyat akan makin banyak.

Sungguh zalim, jika negara menentukan standar hidup layak dengan jumlah yang rendah. Sebab, standar hidup layak yang ditentukan nyata-nyata tidak sebanding dengan besarnya biaya hidup yang harus ditanggung rakyat. Jika demikian berarti negara membiarkan rakyat hidup dalam keterbatasan dan kekurangan.

Menelisik tidak realistisnya standar hidup layak yang ditetapkan saat ini tidak lepas dari ukuran kesejahteraan yang dipakai. Kenyataannya ukuran yang dipakai adalah konsep ala kapitalisme, sedangkan sistem kapitalisme menitik beratkan ukuran kesejahteraan dari angka pendapatan per kapita. Pendapatan per kapita adalah rata-rata pendapatan yang diperoleh setiap individu dalam suatu negara pada kurun waktu tertentu. Pendapatan per kapita dihitung dengan membagi pendapatan nasional bruto dengan jumlah penduduk.

Artinya dengan perhitungan angka ini tidak menunjukkan realitas pendapatan setiap orang. Sebab, dengan perhitungan rata-rata yang diperoleh dari pendapatan nasional bruto dibagi dengan jumlah penduduk, maka pendapatan orang-orang miskin akan dijumlahkan dengan orang-orang kaya. Walhasil, pendapatan perkapita akan terus meningkat seiring jumlah kekayaan dari orang kaya (oligarki) yang terus meningkat. Sedangkan aslinya jumlah penduduk yang pendapatannya menengah ke bawah sangatlah banyak, bahkan setiap tahunnya bertambah.

Konsep ala kapitalisme ini pada akhirnya akan menyajikan data yang semu. Perhitngan pendapatan per kapita pada akhirnya hanya menyajikan pendapatan yang bersifat kolektif dan menyamarkan keberadaan pendapatan per individu. Kemiskinan tidak terlihat tertutupi oleh tingginya pendapatan segelintir orang kaya (oligarki). Seolah-olah semua penduduk memiliki pendapatan yang tinggi, padahal realitasnya pendapatan yang tinggi hanyalah pada segelintir orang (1%) sedangkan mayoritas penduduk justru pendapatannya berada pada level menengah ke bawah.

Oleh karenanya, apabila ingin mengukur tingkat kesejahteraan rakyat sejatinya tidak bisa hanya menggunakan dasar ukuran pendapatan per kapita. Jelaslah pendapatan perkapita tidak bisa menggambarkan kondisi standar hidup layak tiap-tiap orang, tapi hanyalah sekadar perhitungan angka-angka di atas kertas yang jauh dari realitas.

Berbeda denga konsep ala islam. Islam menjadikan negara sebagai raa’in (penanggung jawab) yang mana wajib bagi kepala negara menjamin kebutuhan rakyatnya tanpa itung-itungan untung dan ruginya. Kesejahteraan rakyat sendiri bukan dihitung dari pendapatan per kapita, tetapi diukur dari kecukupan kebutuhan dasar (pokok) individu per individu. Sehingga dengan ukuran tercukupinya kebutuhan individu per individu maka kesejahteraan terwujud secara riil.

Sedangkan negara wajib memenuhi kebutuhan pokok individu seperti sandang, pangan, dan papan maupun kebutuhan dasar publik seperti pendidikan, kesehatan dan keamanan secara ma’ruf. kebutuhan pokoknya, yaitu sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan secara makruf.

Makna “makruf” di sini adalah seluruh kebutuhan tersebut tercukupi sesuai standar hidup masyarakat setempat. Dengan demikian, semua rakyat yang hidup di dalam system islam kelayakan hidupnya sesuai standar bahkan sangat dimungkinkan merata di atas standar. Sebab Negara dalam hal ini khilafah akan mencover terpenuhinya semua kebutuhan pokok rakyat sehingga kesejahteraan rakyat riil adanya. Wallahu a’lam.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image