Tekanan Belajar Anak Bisa Jadi Bumerang: Apa yang Salah?
Eduaksi | 2024-12-11 16:49:19Apakah kalian pernah dengar cerita seperti ini?
Bayangkan seorang anak bernama Dimas. Setiap hari, ia harus bangun pagi untuk sekolah, lanjut les tambahan, lalu mengerjakan tugas hingga larut malam. Ketika nilai ujiannya turun, Dimas mendapat hukuman dari orang tuanya. Ia akhirnya frustasi, sampai nekat mencuri uang dari kantin sekolah untuk membayar guru privat tambahan.
Kisah ini bukan hanya sekadar fiksi. Banyak anak di Indonesia menghadapi tekanan belajar yang berlebihan. Alih-alih mencetak prestasi, tekanan ini justru menyeret mereka ke masalah emosional, hingga beberapa dari mereka memilih jalan yang salah—bahkan melibatkan diri dalam kekerasan atau kriminalitas.
Kenapa Tekanan Belajar Jadi Masalah?
1. Beban Akademik yang Berat
Sekolah sering kali menjadi tempat yang menakutkan bagi anak-anak. Dengan kurikulum yang padat, ujian yang terus-menerus, dan tugas bertumpuk, siswa kehilangan waktu bermain dan bersosialisasi.
Bayangkan ini: seorang anak kelas 6 SD harus belajar hingga 10 jam sehari hanya untuk memastikan dirinya lulus ujian masuk SMP favorit. Padahal, anak seusia itu seharusnya juga punya waktu untuk bermain sepeda atau membaca buku cerita.
2. Orang Tua yang Terlalu Banyak Menuntut
Banyak orang tua berpikir bahwa sukses hanya bisa diraih dengan nilai akademik yang tinggi. Akibatnya, mereka menuntut anak belajar keras tanpa memikirkan keseimbangan emosional. Sebagian besar anak akhirnya merasa takut mengecewakan orang tua. Rasa takut ini lama-lama berubah menjadi stres atau bahkan depresi.
3. Lingkungan yang Kompetitif
Media sosial memperburuk situasi. Anak-anak kini tidak hanya bersaing di ruang kelas tetapi juga di dunia maya. Melihat teman-temannya memamerkan sertifikat penghargaan atau nilai ujian yang tinggi sering membuat mereka merasa minder.
Ketika Tekanan Berujung Kriminalitas
Kisah 1: Perundungan Berujung Maut di Sulawesi Utara
Pada tahun 2022, seorang siswa MTsN menjadi korban perundungan fisik oleh teman-temannya hingga siswa tersebut meninggal dunia. Perundungan ini tidak hanya dipicu oleh faktor personal, tetapi juga tekanan akademik yang membuat siswa merasa frustrasi dan melampiaskannya dengan kekerasan.
Kisah 2: Kekerasan di Tarakan
Seorang siswa SMP di Tarakan melakukan tindakan kekerasan terhadap temannya. Penyelidikan yang dilakukan menunjukkan bahwa pelaku merasa terabaikan di rumah dan menyalurkan rasa frustrasinya dengan cara yang salah.
Kisah 3: Pemaksaan Simbol Agama di Sekolah
Di beberapa sekolah negeri, tekanan belajar semakin diperparah dengan aturan yang tidak inklusif. Misalnya, pemaksaan penggunaan jilbab dapat menciptakan konflik emosional dan sosial yang tidak sehat.
Apa yang Salah dengan Sistem Pendidikan Kita?
1. Kurangnya Dukungan Psikologis di Sekolah
Contoh: Sebuah survei di Jakarta menemukan bahwa hanya 1 dari 10 sekolah yang memiliki konselor profesional untuk mendukung kesehatan mental siswa. Padahal, kasus seperti kecemasan, depresi, hingga percobaan bunuh diri di kalangan remaja saat ini semakin meningkat. Akibatnya, banyak siswa yang merasa terisolasi dan tidak memiliki tempat untuk mencurahkan perasaan mereka.
2. Fokus Berlebihan pada Nilai Akademik
Contoh: Banyak sekolah menghapus pelajaran seni dan olahraga demi menambah jam mata pelajaran yang dianggap "penting" seperti matematika dan sains. Padahal, kegiatan seni dan olahraga dapat membantu siswa untuk merilekskan diri dan mengekspresikan diri mereka. Akibatnya, siswa yang memiliki bakat di luar akademik sering merasa diabaikan, karena prestasi mereka dianggap tidak "bernilai".
3. Tidak Adanya Pendidikan Karakter yang Serius
Contoh: Dalam beberapa kasus, siswa yang cerdas secara akademik justru melakukan tindakan kekerasan atau tidak memiliki empati terhadap teman sekelasnya. Ini terjadi karena pendidikan karakter di sekolah hanya menjadi formalitas saja, seperti upacara bendera atau ceramah. Sekolah tidak menyediakan pembelajaran yang benar-benar aplikatif dan dapat membangun karakter siswa.
4. Tekanan Berlebih dari Ujian Nasional atau Standar
Contoh: Sebelum dihapus pada 2021, Ujian Nasional menjadi hal horor bagi siswa. Mereka merasa bahwa masa depan mereka hanya ditentukan oleh hasil tes yang berlangsung selama beberapa hari, bukan proses pembelajaran mereka selama bertahun-tahun. Meskipun Ujian Nasional telah diganti, sistem penilaian berbasis angka masih menjadi fokus utama di pendidikan saat ini.
Solusi: Apa yang Bisa Kita Lakukan?
1. Orang Tua: Jadilah Teman, Bukan Hanya Penilai
Praktik yang Bisa Dilakukan Oleh Orang Tua, ialah:
- Berikan penghargaan pada usaha yang dilakukan anak, bukan hanya hasil. Misalnya, ketika anak gagal dalam ujian, ajak mereka berdiskusi tentang apa yang bisa diperbaiki tanpa menekan mereka dengan komentar yang membuat anak merasa disalahkan. Memberi kata-kata pendukung dan apresiasi kepada anak atas pencapaiannya dapat membuat anak lebih dihargai dan didukung.
- Libatkan anak dalam kegiatan santai bersama keluarga, seperti memasak atau jalan-jalan. Hal itu dapat membantu mereka melepaskan stres.
2. Guru: Ciptakan Lingkungan Belajar yang Menyenangkan
Contoh Solusi Praktis yang Dapat Dilakukan, seperti:
- Terapkan metode belajar yang interaktif, seperti diskusi kelompok atau pembelajaran berbasis proyek. Misalnya, guru sains dapat mengajak siswa membuat eksperimen sederhana dibanding hanya menghafal teori. Dengan begitu anak-anak dapat melaksanakan proses pembelajaran tanpa merasakan tekanan.
- Berikan penghargaan non-akademik, seperti "Siswa Paling Peduli" atau "Siswa Paling Kreatif," untuk membangun kepercayaan diri mereka. Siswa akan merasa semangat dan mendapat dukungan jika guru memberikan perhargaan pada mereka.
3. Pemerintah: Wujudkan Pendidikan yang Lebih Inklusif
Langkah yang Bisa Diambil Oleh Pemerintah, yakni:
- Pastikan setiap sekolah memiliki minimal satu konselor profesional.
- Masukkan kurikulum yang mengintegrasikan pendidikan karakter secara praktis, seperti pelatihan empati, kerja sama, dan pengelolaan emosi. Misalnya, siswa dapat diajak untuk melakukan kunjungan ke panti asuhan atau mengadakan proyek sosial.
- Perbarui sistem penilaian yang tidak hanya berdasarkan angka, tetapi juga penilaian holistik seperti portofolio dan keterampilan hidup siswa.
4. Komunitas: Dukung Anak Belajar dengan Seimbang
Praktik di Lingkungan yang Dapat Diterapkan:
- Adakan kegiatan bersama seperti olahraga sore, lomba seni, atau kelas keterampilan untuk memberikan anak-anak ruang mengekspresikan diri di luar akademik.
- Bentuk komunitas belajar yang santai, di mana anak-anak bisa bealajar dan berbagi tanpa merasa dihakimi.
Kesimpulan
Tekanan belajar yang berlebihan tidak hanya membahayakan masa depan anak-anak tetapi juga merusak kesejahteraan mereka saat ini. Pendidikan seharusnya menjadi alat untuk membangun generasi muda yang cerdas, bahagia, dan seimbang, bukan sarana untuk mengejar nilai akademik semata.
Anak-anak kita bukan robot yang hanya dibuat untuk belajar dan memenuhi ekspektasi. Mereka adalah individu yang membutuhkan dukungan, cinta, dan ruang untuk berkembang.
Mari kita berhenti menilai anak-anak hanya dari angka. Beri mereka ruang untuk tumbuh, mengeksplorasi, dan menemukan kebahagiaan. Karena pada akhirnya, kebahagiaan dan kesehatan mental jauh lebih berharga dibandingkan nilai tinggi di atas kertas. Anak-anak kita layak mendapatkan masa kecil yang penuh tawa, bukan air mata.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.