Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Esa Mafatihurrahmah

Polemik Chatgpt di Dunia Akademik

Iptek | 2024-12-11 07:17:36

Genap 2 tahun lalu sejak perilisannya pada November 2022, Chatgpt membawa banyak perubahan baru bagi manusia. Namun, di sisi lain, kehadirannya juga memunculkan kekhawatiran akan potensi plagiarisme, penurunan kualitas keterampilan menulis, hingga bergesernya nilai kejujuran akademik. l. Apakah dunia akademik siap untuk beradaptasi dengan kehadiran teknologi seperti ChatGPT, atau justru akan memperketat regulasi untuk membatasi penggunaannya?

Chatgpt dikembangkan oleh OpenAI dan memiliki kemampuan untuk menghasilkan tulisan seperti tulisan karya manusia. Menurut data dari Explodingtopics.com, Chatgpt telah memiliki 180 juta pengguna dan hanya dalam 5 hari mampu menarik 1 juta pengguna baru. Dalam data tersebut juga disebutkan bahwa Chatgpt mendapatkan 600 juta kunjungan dalam waktu 1 bulan. Dilansir dari YouGov, 15% pengguna Chatgpt untuk menghasilkan teks adalah manusia dengan rentang usia 18 sampai 29 tahun, yang artinya pelajar atau akademisi bisa jadi termasuk di dalamnya.

Chatgpt mempunyai kemampuan yang luar biasa untuk menghasilkan jawaban sesuai dengan keinginan penggunanya. Semakin detail pertanyaan atau permintaan, maka semakin objektif pula hasilnya. Hal ini menjadikan Chatgpt banyak dipakai untuk pendamping para pelajar, khususnya mahasiswa dan orang-orang dengan latar belakang akademisi. Pencipta Chatgpt sekaligus CEO dari OpenAi, Sam Altman, mengatakan Chatgpt dapat meningkatkan potensi pelajar di dunia pendidikan dan perlu dilatih supaya bisa dimanfaatkan se-kreatif dan sebaik mungkin. "Saya merasa aneh bila orang mengharuskan kita mengerjakan sesuai dengan cara lawas. Padahal ada teknologi AI yang bisa dimanfaatkan sedemikian rupa," ujar Altman.

Namun, realitanya banyak mahasiswa yang terlalu mengandalkan Chatgpt untuk menjawab tugas-tugas perkuliahan mereka sehingga mahasiswa menjadi malas berpikir dan cara kerja otak mereka cenderung melambat. Hal ini disebabkan beberapa kampus dan tenaga pengajar yang menerapkan ujian atau tugas untuk dibawa ke rumah (take-home). Cara ini menekan maraknya penggunaan Chatgpt karena minimnya pengawasan selama mahasiswa mengerjakan ujian atau tugas.

Di beberapa negara maju mulai melarang penggunaan Chatgpt di ranah pendidikan. Contohnya di Amerika Serikat yang mengimplementasikan ujian atau penugasan dilakukan di kelas dengan tulisan tangan atau ujian lisan daripada menggunakan sistem take-home. Berbeda dengan di Singapura yang memperbolehkan untuk penggunaan AI di ranah pendidikan. Namun, guru dan tenaga pengajar perlu diberikan bimbingan untuk menggunakan AI secara professional untuk mengulik manfaat penggunaan AI dalam dunia pendidikan.

Chatgpt memang sangat memudahkan mahasiswa untuk mengerjakan tugas, tetapi jangan serta merta mahasiswa untuk mengambil hasil Chatgpt tanpa difilter dan dikoreksi lebih dalam. Mahasiswa perlu untuk mengembangkan tulisan yang telah ditelusuri lewat Chatgpt menjadi gagasan yang lebih kuat. Karena Chatgpt juga bisa salah. Chatgpt terkadang menulis jawaban yang masuk akal tetapi salah atau tidak masuk akal. Chatgpt juga cenderung menebak apa yang diinginkan pengguna daripada meminta pengguna untuk kembali memasukkan kata di kolom pencarian. Seperti kata Christian Lous Lange, seorang ilmuan sosial, "Technology is a useful servant but a dangerous master,".

Chatgpt bagaikan pedang bermata dua, bisa menjadi alat yang sangat bermanfaat apabila digunakan dengan bijak, tetapi bisa menjadi ancaman yang mengerikan jika disalahgunakan penggunaannya. Teknologi Chatgpt tidak bisa kita hindari, maka dari itu penting bagi kita untuk keunggulannya tanpa melupakan etika akademik yang menjunjung tinggi intregritas, kejujuran, dan tanggungjawab.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image