Gen Z Susah Diajak Kerja Sama dalam Dunia Kerja, Benarkah?
Eduaksi | 2024-12-06 22:17:07
Generasi Z atau yang akrab disebut dengan Gen z ialah mereka yang lahir di antara tahun 1997 hingga 2012. Saat ini keterlibatan Gen Z di dalam dunia kerja mulai menunjukkan jumlah yang signifikan. Namun, mereka seringkali mendapat stigma negatif. Mulai dari kurang sikap kooperatif saat diajak kerja sama, kurangnya motivasi dalam menyelesaikan pekerjaan hingga bermalas-malasan, terlalu bergantung terhadap teknologi, kemudian dianggap kurang setia karena sering pindah-pindah tempat kerja. Sterotipe ini tidak hanya merugikan para Gen Z secara individual, namun mulai digeneralisasikan oleh beberapa pihak sehingga banyak angka pemecatan pekerja yang berasal dari Generasi Z. Bahkan beberapa waktu lalu, sebuah survei yang dilakukan intelligent.com pada Agustus 2024 terhadap 966 manajer perekrutan menunjukkan, sebanyak 6 dari 10 perusahaan memecat pekerja Gen Z. Alasannya yakni Gen Z dianggap tidak professional dalam bekerja. Selain itu plus minus bekerja dengan Gen Z juga menuai pro dan kontra.
Apakah ini sepenuhnya bisa membuktikan bahwa Gen Z susah diajak bekerja sama?
Didalam tempat kerja tentunya banyak memiliki pegawai dari berbagai generasi. Anggapan bahwa Gen Z kurang bisa bekerja sama seringkali munculnya dari tempat kerja multi generasi. Kelompok generasi yang lebih tua seperti Generasi Milenial dan Gen X cenderung mengutamakan stabilitas mereka dalam bekerja untuk mencapai kesuksesan sedangkan Gen Z lebih mengedepankan fleksibilitas dalam melakukan pekerjaan. Mereka lebih mengutamakan keseimbangan antara hidup dan kerja dibandingkan dengan jam kerja yang ketat dengan tuntunan stabilitas yang konvensional. Maka dari itu diperlukan penciptaan lingkungan dan jam kerja yang mendorong fleksibilitas dalam bekerja. Dengan memberikan fleksibilitas dalam melakukan pekerjaan baik di aspek waktu ataupun tempat, perusahaan dapat membuata Gen Z merasa nyaman dan termotivasi dalam melakukan pekerjaan mereka. Hal ini bisa meningkatakan produktivitas dan kesejahteraan mereka. Kalaupun perusahaan tidak dapat menyediakan fleksibilitas dalam waktu serta tempat kerja, perusahaan bisa memperhatikan jam kerja serta cakupan tugas kerja sesuai kapasitas normal, tidak melebih-lebihkan karena Gen Z tidak seperti generasi sebelumnya yang akan baik-baik saja dengan dengan tugas kerja overload maupun lembur. Hal ini dikarenakan Gen Z sangat mengedepankan keseimbangan antara kerja dengan hidup (work life balance).
Kemudahan Teknologi dan Gen Z
Tumbuh ditengah-tengah kemudahan teknologi membuat pembentukan karakter dari Gen Z ini kurang gigih karena kemajuan teknologi mendorong terciptanya budaya dan pola pikir instan. Teknologi ini juga mempengaruhi intensitas komunikasi secara langsung, mulai dari menyampaikan pesan hingga mendengarkan umpan balik, Gen Z dianggap kurang mampu dalam berinteraksi secara tatap muka dan tradisional serta sikap menghormati masukan dan pendapat masih dianggap kurang menghargai. Hal ini masih menjadi keluhan perusahaan-perusahaan terkait pegawai dari Gen Z. Untuk mengatasi permasalahan tersebut perusahaan bisa memberikan pelatihan kepada Gen Z sebagai kesempatan mereka untuk berkembang. Selain meningkatkan keterampilan yang dimiliki, kegiatan ini akan membuat Gen Z merasa dihargai oleh perusahaan mereka. Yang kita tahu Gen Z ini memang sedikit harus divalidasi keberadaan mereka karena dengan begitu mereka bisa merasa dianggap oleh lingkungan tempat mereka. Memberikan pengakuan atau validasi atas usaha mereka ini menunjukkan perusahaan menghargai kontribusi mereka. Apalagi dengan adanya penghargaan atas pencapaian yang telah mereka raih juga dapat mendorong ide-ide inovatif Gen Z untuk terus berkontribusi secara positif.
Ekspektasi Gen Z dalam Dunia Kerja
Gen Z memiliki ekspektasi yang tinggi terhadap dunia kerja. Mereka dalam mencari pekerjaan tidak hanya melihat output dari gaji yang mereka dapatkan. Namun, mereka juga melihat dari sisi pemaknaan pekerjaan mereka. Apakah dari kerja yang telah mereka lakukan dapat memberikan manfaat bagi lingkungan sekitar mereka atau tidak. Jika dirasa ekspektasi pekerjaan yang telah mereka lakukan tidak sesuai dengan apa yang ingin mereka penuhi maka mungkin saja mereka tidak merasa puas dan berpindah tempat kerja. Dari pristiwa tersebut dilihat oleh generasi sebelumnya sebagai ketidakprofesionalan mereka dalam melakukan pekerjaan.
Generalisasi negatif pada Gen Z
Tidak dapat disangkal bahwa saat ini banyak generalisasi terhadap Gen Z berdasar pada sterotipe tertentu. Meskipun memang ada beberapa dari Gen Z yang menunjukkan perilaku kurang professional dalam dunia kerja, ini bukan berarti semua individu dalam generasi tersebut memiliki sifat dan perbuatan yang sama. Seringkali stigma dan sterotipe ini diperkuat oleh media dan cerita negative yang dibesar-besarkan. Untuk mengubah sterotipe negatif ini diperlukan kolaborasi dari kedua pihak. Gen Z harus menunjukkan bahwa mereka mampu berkontribusi secara positif dan aktif dalam bekerja. Sementara itu perusahaan juga harus menujukkan sikap keterbukaan terhadap cara kerja baru dan memberikan support mereka untuk pegawai muda.
Seringkali sterotipe negatif muncul karena kurangnya pemahaman dan komunikasi. Dengan menjalin hubungan baik antar generasi yang terlibat kita bisa menciptakan lingkungan kerja yang harmonis dan produktif. Gen Z membawa banyak potensi dan energi baru ke dunia kerja. Meskipun mereka sering dihadapkan pada stereotipe negatif, kenyataannya mereka memiliki banyak hal positif untuk ditawarkan. Dengan pendekatan yang tepat, perusahaan dapat memanfaatkan potensi ini dan membantu menciptakan lingkungan kerja yang lebih inovatif dan produktif. Stereotipe negatif harus diubah dengan pemahaman yang lebih baik dan penerimaan terhadap keberagaman.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.