Perang Saudara Suriah Jilid Kedua
Politik | 2024-12-02 12:56:45Arab Spring simbol dari gerakan rakyat (people power) di beberapa negara Timur Tengah pada tahun 2010, menjadi peristiwa menggetarkan dunia di kawasan itu, setelah Revolusi Iran 1979, Arab Spring yang berhasil menggulingkan penguasa-penguasa otoriter seperti Zainal Abidin bin Ali (Tunisia), Husni Mubarak (Mesir), Muammar Khadafi (Libya), dan Ali Abdullah Saleh (Yaman), tercatat sebagai salah satu pergerakan rakyat terbesar di abad kedua puluh satu.
Keunikan Arab Spring bila dibandingkan dengan peristiwa revolusi sosial di berbagai negara, pergerakan massa ini tidak dimobilisasi kekuatan oposisi arus utama seperti partai politik atau organisasi pergerakan, tetapi digerakkan oleh narasi perlawanan melalui teknologi digital atau media sosial, yang berhasil memobilisasi ratusan ribu sampai jutaan orang untuk turun ke jalan-jalan, memperjuangkan perubahan dan keterbukaan sistem politik ke arah demokrasi di negara Tunisia, Mesir, Libya, dan Yaman.
Pasca tergulingnya para penguasa otoriter-totaliter itu, perjalanan Arab Spring tidak sesuai harapan masyarakat dunia, justru pasca tergulingnya para penguasa, arah demokratisasi mengalami arus balik, dengan menguatnya kembali sistem non-demokrasi, bahkan diantara negara-negara itu mengalami perang sipil berlarut-larut, seperti terjadi di Yaman dan Libya, musim semi demokrasi mengalami kematian lebih awal serta kandas di tengah jalan, gagal mengantarkan sistem politik dari otoriter-totaliter menuju demokratisasi terkonsolidasi.
Musim Semi Suriah
Suriah tidak luput dari gelombang Arab Spring, aksi perlawanan rakyat bermula dari aksi demonstrasi para pedagang di Pasar al-Hamidiyeh, di kota lama Damaskus, sekitar empat puluh orang meneriakkan “Allah, Suriah, Bebas”, slogan ini mirip yang diteriakkan para demonstran Tunisia dan Mesir, aksi ini kemudian merembet ke kota-kota lain.
Skala aksi demonstrasi semakin membesar ketika pada bulan Maret 2011 di sebuah sekolah di daerah Deraa, lima belas siswa laki-laki menuliskan slogan-slogan revolusi di dinding sekolah seperti “Rakyat Ingin Menumbangkan Rezim”. Kemudian aparat keamanan melakukan penangkapan pada belasan siswa itu, mereka mengalami penyiksaan sampai berdarah-darah, tindakan ini mengundang kemarahan rakyat Suriah, aksi demonstrasi tidak dapat dibendung, akhirnya merebak ke berbagai kota di Suriah, menuntut Presiden Bashar al-Assad mundur dari singgasana kekuasaan (Kuncahyono, 2013).
Presiden Basar al-Assad menanggapi aksi demonstrasi dengan tindakan represif, mengerahkan ribuan tentara ke jalan-jalan untuk menghadapi para demonstran, hal ini berakibat terjadi aksi kekerasan, mengakibatkan ribuan orang meninggal, merespons kekerasan dilakukan aparat militer, akhirnya rakyat Suriah merubah strategi perlawanan dari aksi demonstrasi damai menjadi gerakan revolusioner bersenjata, menggulingkan pemerintah Basar al-Assad.
Mereka mendirikan berbagai organisasi perlawanan bersenjata seperti Koalisi Nasional untuk Pasukan Revolusi dan Oposisi Suriah (National Coalition for Syrian Revolutionary and Opposition Forces), Tentara Pembebasan Suriah (Free Syrian Army/FSA), Hay'at Tahrir al-Sham (HTS), dan Kurdish Democratic Union Party (PYD) dan Pasukan Demokratik Suriah (SDF). Berbagai kelompok oposisi ini selain memiliki perbedaan garis ideologi, perbedaan dukungan (proxy) negara luar, dan berbeda kepentingan kelompok, tetapi mereka memiliki satu tujuan sama, yaitu menggulingkan pemerintahan Basar al-Assad.
Konflik bersenjata melibatkan pasukan pemerintah dan pasukan oposisi di Suriah, telah memakan korban jiwa meninggal sebanyak 494.438, menunjukkan angka jumlah korban sangat besar, hal ini belum dihitung mereka yang terpaksa meninggalkan Suriah untuk mengungsi ke negara-negara lain, termasuk ke berbagai negara di Benua Eropa berdampak terjadinya krisis pengungsi serta kemanusiaan berlarut-larut.
Perang Jilid Kedua
Terdesak oleh pasukan oposisi, akhirnya Basar al-Assad meminta bantuan pihak Rusia, bantuan militer dari negara beruang merah ini, berhasil membalik situasi di medan perang, pada awalnya pasukan pemerintah terpojok dan tersudut di berbagai palagan pertempuran, bahkan Presiden Basar al-Assad nyaris tumbang, tetapi berkat bantuan militer Rusia serta dukungan dari milisi Hizbullah (Lebanon) dan Iran, ia masih bisa bertahan sampai sekarang (Nainggolan, 2019).
Motif Rusia membantu Basar al-Assad, salah satunya untuk melindungi eksistensi pangkalan militer Rusia di Tartus, Suriah, menjadi satu-satunya pangkalan militer Rusia di Kawasan Mediterania, kehadiran pangkalan militer Rusia ini, berguna menjaga perimbangan kekuatan kawasan Timur Tengah antara blok Amerika Serikat dengan blok Rusia. Sedangkan motif Hizbullah dan Iran, disebabkan wilayah Suriah itu menjadi jalur menghubungkan Iran dengan Lebanon, jalur yang sering digunakan mengirimkan logistik dan finansial kepada Hizbullah, serta ambisi Iran membentuk poros aliansi bulan sabit Islam Syiah menghubungkan Teheran (Iran), Damaskus (Suriah), Baghdad (Irak), Sana'a (Yaman), dan Beirut (Lebanon).
Meskipun berhasil memukul mundur kelompok oposisi beberapa tahun lalu, aliansi pasukan Basar al-Assad, Rusia, Iran, dan Hizbullah pada pekan ini dikejutkan oleh serangan mendadak kelompok-kelompok oposisi ke Kota Allepo, kota terbesar kedua di Suriah, mengakibatkan dikuasainya kembali kota itu oleh pasukan oposisi. Kesuksesan serangan gabungan pasukan oposisi dipengaruhi beberapa faktor.
Pertama, kekuatan militer Rusia di Suriah, sepertinya tidak bisa membantu maksimal pemerintahan Basar al-Assad, dikarenakan seluruh sumber daya militer dimiliki, saat ini difokuskan menghadapi perang di Ukraina, dampaknya kemampuan pertahanan pasukan Suriah berkurang, ditandai mudahnya pasukan oposisi menguasai beberapa kota yang sebelumnya dikuasai pasukan pemerintah Basar al-Assad. Kedua, Iran selama ini menjadi sekutu dekat Presiden Basar al-Assad dalam menghadapi pasukan oposisi, perhatian negara para mullah sepertinya bergeser membantu poros perlawanan melawan zionis-Israel. Ketiga, milisi Hizbullah membantu pasukan Basar al-Assad di Suriah, saat ini terlibat pertempuran melawan Israel, lebih memperioritaskan sumber daya militer dimiliki menghadapi invasi Israel ke wilayah Lebanon Selatan, terlebih selama pertempuran melawan Israel, organisasi Hizbullah mengalami tekanan luar biasa, dengan banyak meninggalnya pemimpin dan komandan tempur mereka.
Pihak oposisi Suriah paham situasi ini, pertempuran melibatkan sekutu-sekutu Presiden Basar al-Assad di palagan Rusia-Ukraina, Hizbullah-Israel, dan Iran-Israel. Mereka menilai sistem pertahanan militer pasukan pemerintah Suriah mengalami pelemahan, sehingga serangan kejutan perlu dilancarkan untuk memukul mundur pasukan Basar al-Assad dari beberapa wilayah yang strategis di Suriah. Artinya perang saudara di Suriah memasuki babak baru setelah menguatnya kembali pasukan oposisi, masa depan perdamaian di negara ini, sepertinya semakin menjauh dari harapan, berbagai pihak lebih mengedepankan pendekatan militer dari pendekatan dialogis, hal ini bisa memicu eskalasi konflik lebih meluas di kawasan Timur Tengah, serta meningkatkan intensitas perang saudara dan memperburuk penderitaan rakyat.
Perang saudara berkepanjangan dikhawatirkan memunculkan gelombang pengungsian baru berdampak krisis kemanusiaan, perkembangan terakhir situasi di Suriah ditakutkan semakin memperburuk krisis di kawasan Timur Tengah, ditengah-tengah masih terjadinya aksi genosida zionis-Israel di Jalur Gaza, maka pendekatan berbasis dialog antara pemerintah dan kelompok oposisi, keterlibatan dunia internasional menekan terjadi rekonsiliasi politik bisa menjadi jalan keluar untuk menghentikan perang saudara berlarut-larut di Suriah.
Gili Argenti, Dosen FISIP Universitas Singaperbangsa Karawang (UNSIKA).
Referensi artikel
1. Kuncahyono, Trias. 2013. Musim Semi Suriah Anak-Anak Sekolah Penyulut Revolusi (Jakarta, Penerbit Kompas).
2. Nainggolan, Poltak Partogi. 2019. Proxy War di Timur Tengah (Jakarta, Yayasan Obor Indonesia).
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.