PPN Merangkak Naik, Ekonomi Tercekik
Politik | 2024-11-30 16:38:01Oleh Sahna Salfini Husyairoh
Aktivis Dakwah
Menteri keuangan Sri Mulyani memastikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% akan ditetapkan. Hal itu sesuai beleid soal harmonisasi peraturan perpajakan. Saat ini, tarif PPN adalah sebesar 11%, hal ini untuk menjaga kesehatan APBN (www.ekonomi.republika.co.id)
Kebijakan ini menuai kritik dari berapa kalangan masyarakat, kebijakan ini makin menekan daya beli masyarakat dan menganggu dunia ekonomi usaha di tengah perekonomian yang sedang lesu.
Beberapa sektor usaha, seperti industri tekstil, sedang babak belur bersaing dengan banjir barang impor. Sektor ritel dan perbelanjaan juga lesu. Meskipun pengunjung tetap banyak dan mal tetap ramai, tingkat penjualan turun. Masyarakat hanya datang berkunjung tanpa belanja. Pajak sangat mempengaruhi hajat hidup orang banyak. Namun miris ditengah ekonomi yang sedang lesu, pemerintah memaksakan kenaikan pajak untuk meningkatkan pendapatan negara.
Pelaksanaan pembangunan dan pengurangan ketergantungan pada utang menjadi alasan kuat pemerintah tetap melanjutkan kebijakan kenaikan pajak. Faktanya kenaikan pajak belum tentu meningkatkan penerimaan negara dan mengurangi utang, sementara yang pasti kesengsaraan rakyat terlebih yang sedang berada dalam ekonomi sulit, maraknya pengangguran, kenaikan harga pokok, sulitnya mendapatkan pekerjaan yang layak dan memadai. Apalagi ada problem korupsi uang rakyat (APBN) dan pemerintah yang gemar berutang.
Situasi ini konsekuensi penerapan ekonomi kapitalisme yang menjadikan pajak sebagai sumber negara. Padahal negara memiliki sumber daya alam yang melimpah jika dikelola oleh negara akan menghasilkan pemasukan yang sangat besar. Namun akibat penerapan sistem kapitalis dengan prinsip liberalisasinya. Negara menyerahkan Sumber Daya Alam (SDA) kepada pihak korporat hingga rakyat sulit mengaksesnya. Akibat kenaikan pajak mengonfirmasi posisi negara bukan sebagai ra'in (pengurus urusan umat).
Negara tampak tidak peduli dengan nasib 25 juta rakyatnya yang hidup dibawah garis kemiskinan. Bukankah kenaikan pajak akan menjauhkan dari kata sejahtera?
Mirisnya negara semakin menampakkan keberpihakannya kepada korporat atau pemilik modal. Negara bertindak sebagai regulator dan fasilitator yang siap melayani kepentingan pemilik modal. Oleh karena itu sistem Kapitalisme tidak layak dijadikan sebagai sistem yang mengatur kehidupan manusia sebab sistem ini lahir dari buatan akal manusia sehingga bersifat batil dan tidak manusiawi.
Sangat berbeda dengan sistem Islam yaitu Khilafah. Khilafah adalah negara ri'ayah (negara pengayom), bukan negara pemalak. Rasulullah saw. bersabda "Imam/Khalifah adalah raa'in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya" (HR. Al Bukhari)
Periayahan ini terlihat dari salah satu mekanisme bagaimana Khilafah mendapatkan sumber pemasukan negara, tanpa berutang dan memalak rakyat dengan pajak. Islam memiliki sistem ekonomi yang mewajibkan negara menjadi raa'in mengurus rakyat dengan penuh tanggung jawab.
Wallahualam bissawab
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.