Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Sella Narisa

Generasi Z Menavigasi Dunia Digital dan Harapan Nyata

How To | 2024-11-26 22:36:34

Bayangkan generasi yang tumbuh dan berkembang bersama layar, generasi yang sangat bergantung terhadap suatu kecanggihan. Tak hanya televisi, tetapi layar kecil yang ada di tangan mereka, akan menjadi jendela menuju dunia tak terbatas. Generasi Z, sering disebut sebagai digital natives di mana hidup dalam persimpangan realitas fisik dan digital. Lingkungan di sekitar mereka bukan lagi sekadar rumah atau sekolah kini mencakup feed Instagram, tren TikTok, hingga suara dari para influencer yang mungkin tidak pernah mereka temui. Tetapi sebetulnya apakah dampak yang timbul dari lahirnya lingkungan ini terhadap pola pikir dan cara mereka bersikap? Lingkungan Digital Menjadi Teman atau Penguji? Generasi Z dikenal sebagai generasi yang kritis, berpikiran terbuka, namun sering kali rentan dalam bertindak.

Media sosial, yang menjadi bagian tak terpisahkan dari hidup mereka, banyak sekali menawarkan akses ke ide-ide besar dan peluang tak terbatas. Namun, platform ini juga menjadi tempat di mana standar sosial yang tidak realistis diciptakan. Penelitian dari Journal of Adolescence (2023) menemukan bahwa remaja yang menghabiskan lebih dari 3 jam sehari di media sosial dan cenderung mengalami tingkat kecemasan yang lebih tinggi.

Mengapa demikian? Sebab di sana hidup terlihat lebih sempurna, adanya proporsi tubuh yang ideal, karier gemilang, bahkan hubungan tanpa cela. Namun hal ini tak hanya dikonsumsi sebagai hiburan, tetapi juga sebagai cermin dan celah untuk diri mereka dalam membandingkan dan mempertanyakan kelayakan dari potensi yang diri mereka miliki, Jika pemikiran akan hal seperti ini terus berlanjut dengan populasi yang lebih banyak maka akan sangat pantas jika nanti nya lingkungan digital disebut sebagai “Penguji” generasi Z.

Di lansir melalui salah satu kasus yang di beritakan ketika standar dunia maya menguasai Di Jakarta, bahwa seorang siswa SMA bernama Ayu Safira viral karena unggahannya tentang perjuangan akademik. Namun, alih-alih mendapat dukungan, ia menerima hujatan karena dianggap “berlebihan” Komentar-komentar seperti “itu biasa aja, kok lebay sih?” atau “cuma cari perhatian” membuatnya menarik diri dari media sosial selama berbulan-bulan.

Dalam wawancara dengan Kompas tahun 2022, Ayu mengungkapkan bagaimana komentar-komentar itu membuatnya mempertanyakan nilainya sebagai individu pada umumnya. Tetapi miris nya Kasus yang di alami oleh Ayu bukanlah kasus langka sebuah survei dari UNICEF menunjukkan bahwa 3 dari 10 remaja pernah menjadi korban perundungan online. Hal Ini menunjukkan bagaimana lingkungan digital bisa menjadi arena yang penuh tekanan, bukan hanya tempat berbagi cerita melainkan dapat menjadi sarana paling kejam untuk perlahan membunuh mental diri sendiri.

Saat ini yang menjadi salah satu tantangan dalam membangun ketangguhan di dua dunia pada generasi Z ialah saat menghadapi dilema bagaimana menjadi otentik di tengah tuntutan dunia digital yang seolah mengharuskan seragam? kita tidak bisa hanya menyalahkan teknologi atau lingkungan kita perlu membekali mereka dengan kemampuan untuk bertahan dan beradaptasi dengan banyak cara beberapa di antaranya :

1. Cerita Asli Lebih Berdaya

Makna nya membuat inovasi bertemakan “Behind The Scenes” yang tujuan nya mengedukasi dan memotivasi pola pikirmereka terhadap cerita asli di balik kesuksesan yang dapat mematahkan ilusi kesempurnaan yang lekat muncul di sosial media. Kemudian generasi Z perlu tahu bahwa tokoh idola dan role model mereka pun pasti pernah mendapati keadaan gagal dalam proses berjuang.

2. Ciptakan Ruang Nyaman Digital

Alih-alih menutup akses media sosial, solusi dan opsi lain yang dapat di terapkan adalah menciptakan ruang aman untuk berekspresi misalnya, platform yang mempromosikan empati seperti forum diskusi terbuka tentang pengalaman hidup tanpa takut dihakimi.

3. Manajemen Keseimbangan Antara Digital-Fisik

Berupaya lebih banyak mendorong kegiatan offline, seperti diskusi komunitas atau kegiatan alam, dapat menjadi solusi relevan di tengah adanya badai digital. Di kutip dalam sebuah Journal of Nature and Health (2020) menunjukkan bahwa jika berinteraksi dengan alam selama 20 menit saja dapat mengurangi tingkat stres secara signifikan. Hal ini dapat menjadi solusi untuk menjadi generasi Z yang bersikap realistis dengan di imbangi manajemen waktu yang baik dalam menghadapi kehidupan nyata.

Pada kesimpulan nya jika terdapat pertanyaan apakah kita siap membimbing generasi Z ini menuju masa depan? jawabannya terletak pada seberapa baik kita menciptakan lingkungan yang tidak hanya membentuk pola piker mereka, tetapi juga mendukung mereka untuk menjadi versi terbaik dari diri mereka sendiri. Karena pada faktanya generasi Z adalah bukti nyata bagaimana terciptanya lingkungan yang kompleks, baik secara fisik maupun teknologi digital, yang mana akibat nya dapat membentuk dan merubah karakter manusia. Kedepannya dalam dunia yang terus berubah, mereka tidak hanya butuh dukungan, tetapi juga ruang untuk tumbuh dengan cara mereka sendiri. Solusi bukan hanya sekedar hal membatasi, melainkan membangun ekosistem yang sehat, di mana dunia maya dan nyata saling melengkapi dan merangkul ke arah yang positif.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image