Ahmada
#5 Cinta dan Takhta: Kisah Perjalanan Zhu Zhanji dan Permaisuri Sun Xiu dalam Sejarah Dinasti Ming
Sastra | 2024-11-17 22:52:19
Bab 4: Dalam Bayang-bayang PerangZhanji berjalan dengan langkah mantap di lorong istana yang sunyi. Setiap langkahnya terasa semakin berat, seperti beban dunia yang tergantung di pundaknya. Meskipun di luar, kegelapan malam telah tiba, di dalam hatinya, api ketegangan masih berkobar. Dalam beberapa hari terakhir, pergerakan pasukan Mongol semakin mendekati perbatasan, dan laporan tentang kekuatan mereka yang semakin besar tak dapat diabaikan begitu saja. Zhanji tahu bahwa waktu yang dimilikinya semakin sedikit. Persiapannya tidak bisa lagi hanya bergantung pada diplomasi.Dalam ruang takhta, para pejabat tinggi dan jenderal sudah berkumpul menunggu kehadirannya. Di tengah mereka, tampak Yu Qian yang sedang berbicara dengan Kapten Liang Shu, mengatur strategi militer. Melihat wajah mereka yang serius, Zhanji merasakan sebuah ketegangan yang semakin menguat.“Yang Mulia, kami telah menerima laporan terbaru,” kata Yu Qian, suaranya tetap tenang meskipun situasi semakin genting. “Pasukan Mongol semakin bergerak ke arah utara, dan mereka telah mempersiapkan pasukan tambahan. Mereka berencana menyerang pada musim semi. Kita hanya punya waktu beberapa bulan untuk mengatur pertahanan kita.”Zhanji mengangguk, menyadari bahwa itu adalah kenyataan yang tak bisa dihindari. Namun, dalam hatinya, ia masih berharap ada jalan keluar tanpa perang. Namun, kenyataan itu semakin sulit diterima. Keputusan berat akan segera diambil.---Beberapa Hari Sebelumnya di Rumah Xu BinMalam itu, Zhanji memutuskan untuk menemui Xu Bin. Ia merasa membutuhkan kedamaian, suatu pandangan yang dapat menuntunnya melewati jalan yang penuh keraguan ini. Xu Bin, yang telah banyak memberi petuah spiritual selama ini, selalu berhasil menenangkan hatinya.Di rumahnya yang sederhana namun penuh dengan suasana kedamaian, Xu Bin menyambut Zhanji dengan senyum hangat. Udara malam yang dingin terasa lebih sejuk dengan adanya cahaya lentera yang redup.“Yang Mulia, sudah lama tidak bertemu. Ada apa gerangan, begitu mendalam wajahmu malam ini?” tanya Xu Bin, sambil menyiapkan teh harum.Zhanji duduk di kursi dekat meja batu, menatap Xu Bin dengan tatapan kosong. “Aku merasa beban ini semakin berat, Xu Bin. Apa yang harus aku lakukan untuk melindungi tanah air ini? Aku tahu perang semakin dekat, tetapi aku juga takut akan apa yang akan terjadi setelahnya. Bagaimana aku bisa memimpin tanpa membuat kesalahan besar?”Xu Bin mengangguk, menatap Zhanji dengan tatapan penuh pemahaman. Ia menatap secangkir teh yang baru diseduh, lalu berkata, “Kekhawatiranmu adalah hal yang wajar. Namun, seperti yang pernah aku katakan, pemimpin yang bijaksana bukanlah yang tidak pernah ragu, tetapi yang mampu menghadapi keraguan dengan keberanian. Perang, jika memang tak terhindarkan, adalah ujian terbesar bagi seorang pemimpin. Tetapi apakah yang kita lakukan setelah perang—itulah yang akan membentuk masa depan kita.”Zhanji mendengarkan dengan seksama, meresapi setiap kata yang diucapkan Xu Bin. “Aku selalu merasa berat untuk mengambil keputusan yang akan mempengaruhi ribuan nyawa. Apakah ada cara lain selain berperang?”Xu Bin tersenyum lembut. “Kadang, Yang Mulia, kita hanya dapat berdoa agar keputusan yang kita ambil adalah yang terbaik. Tetapi percayalah, jika niatmu tulus untuk kebaikan rakyat, Tuhan akan menunjukkan jalan yang tepat.”Kata-kata itu sedikit banyak menguatkan Zhanji. Meskipun hati kecilnya masih penuh keraguan, ia mulai merasa bahwa ia harus mengambil keputusan, apapun yang terjadi. Tidak ada lagi waktu untuk menunggu.---Kembali ke Istana: Persiapan PerangPada keesokan harinya, Zhanji mengumpulkan seluruh jenderal dan pejabat tinggi kerajaan di aula besar istana. Matahari baru saja terbit, namun suasana dalam ruangan itu sudah dipenuhi dengan ketegangan yang tebal.“Jenderal Zhang, bagaimana persiapan pasukan kita?” tanya Zhanji, matanya tajam menatap jenderal yang berdiri tegak di hadapannya.“Yang Mulia, pasukan telah siap. Kami telah memperkuat garis pertahanan di perbatasan utara, dan kami juga telah memobilisasi pasukan cadangan dari wilayah selatan. Sementara itu, kami telah mengirimkan pengintai untuk memantau gerak-gerik pasukan Mongol.”Zhanji mengangguk, namun ada sedikit kecemasan di matanya. Ia tahu bahwa pasukan Mongol jauh lebih besar dan lebih terlatih, sehingga perang ini tidak akan mudah. Zhanji beralih menatap Yu Qian yang berdiri di sebelahnya.“Pejabat Yu, menurutmu, apakah kita siap menghadapi ini? Jika perang pecah, kita harus bertempur dengan segenap kekuatan. Namun, aku masih berharap ada jalan damai.”Yu Qian menatap Zhanji dengan serius. “Yang Mulia, kita telah melakukan segala yang bisa kita lakukan untuk menghindari perang. Kita telah mengirimkan utusan dan mencoba berdiplomasi, tetapi kenyataannya, musuh kita tidak akan berhenti sebelum mereka merasa menang. Jika perang memang terjadi, kita harus siap menghadapi mereka dengan sekuat tenaga.”Zhanji merasakan kepalanya berdenyut, pikiran dan perasaan yang saling bertentangan berputar-putar di benaknya. Ia tahu bahwa, sebagai pemimpin, ia harus mengambil keputusan yang benar, apapun konsekuensinya. Tetapi apakah ia telah cukup bijaksana untuk memilih dengan tepat? Sejak awal, ia selalu mengandalkan kebijaksanaan Sun Xiu dan Xu Bin, tetapi kali ini, ia merasa lebih sendirian daripada sebelumnya.---Sun Xiu: Sumber KekuatanSetelah rapat yang penuh tekanan itu, Zhanji merasa perlu untuk kembali mencari ketenangan dalam pelukan istrinya. Sun Xiu, yang selalu menjadi sumber kekuatan dan kebijaksanaan, tampaknya bisa memahami ketegangan yang dirasakannya tanpa ia harus berkata-kata.Di ruang pribadi mereka, Zhanji duduk di samping Sun Xiu. “Sun Xiu, aku takut. Aku takut kalau perang ini akan menghancurkan semuanya. Aku tidak ingin ada darah yang tertumpah, tetapi aku juga tidak bisa menutup mata terhadap kenyataan. Aku harus memimpin dengan tegas, tetapi bagaimana jika aku gagal?”Sun Xiu menggenggam tangan Zhanji dengan lembut, memberi kekuatan yang luar biasa meskipun hanya dengan sebuah sentuhan. “Zhanji, jangan biarkan ketakutan menguasai dirimu. Semua pemimpin besar juga pernah merasa takut. Tetapi yang membedakan mereka adalah bagaimana mereka memilih untuk bergerak maju meski takut. Aku tahu kamu akan membuat keputusan yang tepat, dan apa pun yang terjadi, aku akan selalu ada di sini untuk mendukungmu.”Kata-kata Sun Xiu membuat Zhanji merasa lebih tenang. Ia menyadari bahwa dirinya tidak sendirian, dan bahwa apapun yang terjadi, ia harus tetap berdiri teguh. Ia merasa lebih siap untuk menghadapi apa yang akan datang, meskipun tantangan yang menantinya jauh lebih besar daripada yang pernah ia bayangkan.---Malam yang MenentukanSemalam, laporan datang bahwa pasukan Mongol telah mulai bergerak lebih dekat ke perbatasan. Zhanji tahu bahwa saatnya untuk bertindak sudah semakin dekat. Di bawah bimbingan Yu Qian dan Jenderal Zhang, pasukan Ming bersiap menghadapi serangan yang diperkirakan akan datang dalam beberapa hari.Namun, dalam hatinya, Zhanji masih berharap akan ada perubahan, sebuah keajaiban yang bisa menghindarkan mereka dari peperangan yang menghancurkan. Tetapi ia tahu, harapan itu mulai memudar. Ia harus memimpin dengan tegas, tanpa ragu.Saat malam tiba, ia kembali merenung di kamar istana, memandangi bintang-bintang yang berkelip di langit. “Apakah ini jalan yang benar?” bisiknya kepada dirinya sendiri. “Jika memang harus terjadi, aku hanya bisa berdoa agar kami berhasil melewatinya dengan kemenangan dan kehormatan.”Dengan tekad yang semakin bulat, Zhanji akhirnya memutuskan bahwa perang tidak bisa lagi dihindari. Pasukan Ming akan menghadapi Mongol, namun ia berdoa agar pertumpahan darah ini segera berakhir. Sebuah babak baru, yang penuh dengan ketegangan dan harapan, kini dimulai.--- Ujian SejatiBab ini menggambarkan perjalanan Zhanji yang semakin dekat dengan keputusan besar yang akan mengubah nasib Dinasti Ming. Ia harus menghadapi ketegangan militer dan politik, sementara juga mencari kedamaian dalam hati melalui nasihat dari Sun Xiu dan Xu Bin. Konflik batin Zhanji semakin kuat, tetapi ia tahu bahwa sebagai pemimpin, ia harus memilih jalan yang benar, walaupun itu penuh dengan risiko dan tantangan.
Zhanji merasakan kengerian perang yang semakin mendekat. Setiap hari, laporan tentang pergerakan pasukan Mongol semakin intens, dan perbatasan utara semakin rapat oleh gerakan tentara yang tidak mengenal ampun. Zhanji duduk di ruang takhta yang sunyi, dikelilingi oleh para pejabat dan jenderal yang semua tampak cemas. Bahkan Yu Qian, yang biasanya tenang dan penuh kebijaksanaan, tidak bisa menutupi ekspresi khawatirnya."Yang Mulia, saya khawatir jika kita tidak bertindak segera, kita akan terlambat," ujar Yu Qian dengan suara rendah, berbicara langsung pada Zhanji.Zhanji mengangguk perlahan, matanya menatap meja kayu di depannya yang penuh dengan peta dan laporan pasukan. Namun, meskipun ia tahu bahwa pasukan Mongol siap menyerang kapan saja, ada rasa ragu yang tak bisa hilang begitu saja dari hatinya."Saya tidak ingin perang ini terjadi," ujar Zhanji dengan suara penuh keraguan. "Namun, apakah kita bisa menghindarinya dengan mengorbankan seluruh kerajaan? Perang ini bisa menjadi akhir dari segalanya."Sun Xiu, yang sejak tadi duduk di sisi suaminya, meraih tangan Zhanji dengan lembut. Ia merasakan ketegangan dalam tubuhnya, tetapi ia tetap berusaha memberikan ketenangan. "Zhanji, aku tahu betapa beratnya keputusan ini, tetapi seorang pemimpin harus siap menghadapi kenyataan, meskipun itu adalah kenyataan yang pahit. Kita harus bertindak demi masa depan rakyat kita."Zhanji menatap Sun Xiu, terdiam sejenak. Kata-kata Sun Xiu membangkitkan tekad yang sempat pudar dalam dirinya. Meskipun hatinya masih penuh dengan kekhawatiran, ia tahu bahwa Sun Xiu selalu menjadi pilar kekuatannya.---Perjalanan Spiritual: Menghadirkan Sunan Gunung JatiBeberapa hari setelah pertemuan itu, Zhanji memutuskan untuk mencari bimbingan spiritual lebih jauh. Meskipun ia telah mendapatkan banyak nasihat dari Xu Bin, ia merasa bahwa masih ada pertanyaan besar dalam dirinya yang belum terjawab. Ia merasa tidak hanya butuh keputusan strategis, tetapi juga kedamaian batin untuk membimbingnya di tengah peperangan yang akan datang.Zhanji memutuskan untuk memanggil seorang guru spiritual yang terkenal di kalangan kalangan kerajaan. Namanya adalah Sunan Gunung Jati, seorang tokoh yang sangat dihormati di luar negeri. Sunan Gunung Jati, seorang ulama dari Jawa, telah dikenal sebagai pribadi yang bijak dan memiliki kedalaman spiritual yang luar biasa. Meskipun jauh dari pusat kekuasaan Dinasti Ming, ajaran dan pengaruhnya telah merambah ke banyak tempat.Sunan Gunung Jati tiba di istana pada malam hari dengan suasana yang tenang. Tubuhnya yang kurus terlihat tegap, dan matanya yang tajam memancarkan kebijaksanaan yang mendalam. Zhanji segera menemui Sunan Gunung Jati di ruang meditasi istana. Wajahnya yang penuh dengan beban terlihat lebih teduh saat ia berhadapan dengan orang yang dikenal dengan kebijaksanaannya."Guru Sunan, saya telah mendengar banyak tentang kebijaksanaan dan ajaran-ajaran Anda," kata Zhanji dengan hormat. "Saat ini, saya menghadapi keputusan yang sangat sulit. Saya harus memilih antara berperang untuk mempertahankan kerajaan ini atau mencari jalan lain yang lebih damai. Apakah ada petunjuk dari Tuhan yang dapat saya ikuti?"Sunan Gunung Jati tersenyum lembut dan menggelengkan kepalanya. "Tidak ada jawaban yang pasti, Yang Mulia. Namun, setiap pilihan yang kita buat harus datang dari kedamaian batin dan bukan hanya dari ketakutan atau ambisi. Dalam peperangan, tidak hanya nyawa yang terancam, tetapi juga hati kita sendiri. Jalan damai adalah jalan yang paling sulit, tetapi itu adalah jalan yang akan membimbing kita menuju kebesaran sejati."Zhanji merenungkan kata-kata Sunan Gunung Jati. Ia merasa seperti ada kedamaian yang menyentuh hatinya yang bergejolak. Mungkin inilah saatnya untuk merenung lebih dalam, untuk menemukan kedamaian dalam keputusan yang akan ia ambil.---Kembali ke Istana: Meningkatkan PersiapanSetelah pertemuan spiritual dengan Sunan Gunung Jati, Zhanji merasa sedikit lebih tenang. Namun, waktu yang ada semakin mendesak. Saat kembali ke ruang pertemuan, Zhanji mendengarkan laporan terbaru tentang posisi pasukan Mongol. Mereka semakin mendekat, dan bentrokan tampaknya tak terhindarkan."Yang Mulia, pasukan Mongol telah mencapai perbatasan timur, dan mereka mulai bergerak lebih cepat dari yang kami perkirakan," lapor Jenderal Zhang dengan wajah tegang. "Mereka berencana menyerang dalam waktu dekat, dan kami harus bertindak secepatnya."Zhanji menatap peta dengan penuh perhatian, merasakan ketegangan yang semakin memuncak. Namun, sesuatu yang berbeda terjadi pada dirinya. Setelah berbicara dengan Sunan Gunung Jati, ia merasakan ketenangan dalam hatinya. Ia tahu bahwa apapun yang terjadi, ia harus menghadapi dengan kepala dingin."Jenderal Zhang, persiapkan pasukan kita. Kita tidak akan mundur, tetapi kita juga akan mencari peluang untuk menghindari pertempuran yang lebih besar," ujar Zhanji dengan tegas.---Strategi Pertahanan: Harapan yang Terus MenyalaZhanji mulai merumuskan strategi pertahanan yang lebih hati-hati. Pasukan Mongol mungkin lebih kuat dan lebih terlatih, namun pasukan Ming yang dipimpin oleh Zhanji dan dibantu oleh jenderal-jenderalnya yang cerdik, juga memiliki potensi besar. Mereka akan memanfaatkan medan yang lebih dikenal dan menggunakan kekuatan lokal untuk melawan pasukan Mongol.Dengan bimbingan Yu Qian dan saran-saran dari Sunan Gunung Jati, Zhanji merencanakan sebuah pertahanan yang tidak hanya mengandalkan kekuatan fisik, tetapi juga strategi gerilya dan taktik perang yang lebih pintar."Saya tidak ingin peperangan ini menghancurkan lebih banyak nyawa," kata Zhanji kepada Yu Qian saat mereka merencanakan strategi di ruang takhta. "Namun, saya tahu kita harus melindungi rakyat kita. Jika ini adalah harga yang harus dibayar untuk kedamaian, maka kita harus siap."---Sun Xiu: Perempuan yang Tak Pernah GentarMalam itu, setelah pertemuan panjang dengan para jenderal dan penasihat, Zhanji kembali ke kamarnya. Sun Xiu sudah menunggu, wajahnya penuh perhatian."Zhanji, aku tahu ini tidak mudah," ujar Sun Xiu dengan lembut. "Namun, aku tahu kamu bisa melalui ini dengan kebijaksanaanmu. Aku percaya pada keputusanmu."Zhanji memandang Sun Xiu, dan untuk sesaat, dunia terasa lebih ringan. Perempuan yang selalu berada di sisinya ini, adalah penguat jiwanya. Tanpa kata-kata lebih lanjut, Zhanji merangkulnya. Ia tahu, bahwa apapun yang akan terjadi, ia tidak akan pernah sendirian.---Keputusan yang MenentukanBab ini semakin menegangkan seiring dengan keputusan besar yang harus diambil oleh Zhanji. Ia tidak hanya harus bertanggung jawab atas nasib negara, tetapi juga mengendalikan ketakutan yang semakin merayapi dirinya. Sunan Gunung Jati memberikan pencerahan batin yang mendalam, mengingatkan Zhanji bahwa pemimpin sejati tidak hanya memikirkan kemenangan, tetapi juga bagaimana menang dengan hati yang jujur. Dengan persiapan perang yang matang dan hati yang semakin yakin, Zhanji siap menghadapi kenyataan. Namun, ia juga berdoa agar takdir membimbingnya untuk memilih jalan yang terbaik, tidak hanya bagi dirinya, tetapi juga bagi rakyatnya. Peperangan mungkin tidak bisa dihindari, tetapi semangat dan kebijaksanaan akan menjadi kekuatan terbesar yang dimilikinya.---
Zhanji berbaring di ranjang kerajaan, menatap langit-langit kamarnya yang sepi. Angin malam berhembus lembut melalui jendela terbuka, membawa aroma harum dari taman istana yang menghadap ke arah perbukitan. Meskipun semua tampak tenang, di dalam hatinya ada perasaan yang sulit diungkapkan—sebuah kebimbangan yang menyelimuti dirinya.Malam itu, ia kembali teringat akan kata-kata Sunan Gunung Jati yang masih bergema dalam pikirannya._"Keputusan yang diambil dengan kedamaian batin akan menjadi keputusan yang membawa kebaikan, meskipun jalan yang harus ditempuh penuh dengan tantangan."_Zhanji menatap jari-jarinya yang gemetar, seolah ingin meraih ketenangan yang ia rasakan saat berbicara dengan Sunan Gunung Jati. Tetapi ketenangan itu terasa rapuh, mudah pecah oleh kenyataan yang ada di depannya. Perang yang akan datang bukan hanya ancaman terhadap kehidupan fisik, tetapi juga ancaman terhadap integritas moral dan kemanusiaan mereka. Apa yang terjadi jika mereka menang dalam pertempuran ini, namun kehilangan segalanya dalam prosesnya?"Aku harus kuat," gumam Zhanji, berbicara pada dirinya sendiri. "Aku harus membuat keputusan yang benar, apapun biayanya."---Keputusan yang TerbebaniDi ruang pertemuan istana, suasana semakin tegang. Yu Qian dan jenderal-jenderal lainnya sudah berkumpul, mempersiapkan langkah-langkah selanjutnya. Mereka sudah memetakan medan pertempuran, memperhitungkan kekuatan pasukan, serta potensi musuh. Tak lama setelah Zhanji memasuki ruangan, semua mata tertuju padanya, menunggu arahan yang jelas.Yu Qian memulai pembicaraan. "Yang Mulia, kami telah menyiapkan strategi untuk menghadapi pasukan Mongol. Kami bisa mengerahkan pasukan kita untuk melakukan serangan langsung atau bertahan dalam benteng yang lebih aman. Namun, saya rasa kita harus bertindak cepat. Pasukan Mongol sudah semakin dekat, dan jika kita terlalu lama menunggu, mereka akan mengepung kita."Zhanji mendengarkan dengan seksama, tetapi hatinya dipenuhi dengan kebimbangan. Mengambil keputusan untuk berperang artinya akan ada darah yang tumpah, tetapi jika tidak, kerajaan ini bisa hancur."Aku memahami. Namun, apakah kita bisa menghindari perang?" Zhanji akhirnya bertanya, suara penuh keraguan. "Apa kita harus mempersiapkan diri untuk melawan musuh yang lebih besar? Apakah ini jalan yang tak terelakkan?"Yu Qian menundukkan kepalanya, tidak berani memberikan jawaban pasti. "Terkadang, Yang Mulia, kita harus memilih antara dua jalan yang sama sulitnya. Namun, kita harus siap untuk menghadapi apa pun yang datang. Ini adalah ujian bagi kita semua."Zhanji terdiam, memandang peta yang terhampar di depannya. Perlahan, ia mengingat kembali ajaran Sunan Gunung Jati, yang mengingatkan bahwa seorang pemimpin sejati bukan hanya seorang pejuang di medan perang, tetapi juga seorang pemimpin yang dapat menjaga kedamaian batinnya di tengah kekacauan."Aku harus mencari jalan lain," bisik Zhanji, lebih kepada dirinya sendiri.---Mendalam dengan Jalan DamaiKeesokan harinya, Zhanji memutuskan untuk bertemu kembali dengan Sunan Gunung Jati. Ia merasa bimbang dan memerlukan bimbingan lebih lanjut dari guru spiritual yang bijaksana itu. Setelah memberitahukan para pejabatnya bahwa ia membutuhkan waktu untuk merenung, Zhanji menuju ruangan meditasi tempat Sunan Gunung Jati biasa berlatih.Sunan Gunung Jati duduk bersila di tengah ruangan, memejamkan mata, seolah-olah ia sedang meresapi setiap ketukan alam semesta. Ketika Zhanji memasuki ruangan, Sunan Gunung Jati membuka matanya perlahan, tersenyum dengan bijaksana."Yang Mulia, apa yang membawa Anda ke sini?" tanya Sunan Gunung Jati dengan suara lembut.Zhanji menatapnya dalam diam sebelum akhirnya berkata, "Aku tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan. Aku berada di persimpangan jalan yang sulit. Di satu sisi, aku ingin menghindari perang, tetapi di sisi lain, jika aku tidak melawan, kerajaan ini bisa hancur. Apa yang harus aku pilih?"Sunan Gunung Jati mengangguk, mendengarkan dengan penuh perhatian. "Perang sering kali menjadi jalan yang terlihat tidak terelakkan. Namun, jalan yang tampak paling mudah bukan selalu jalan yang terbaik. Kadang, jalan damai adalah yang paling sulit, tetapi itu yang akan mengangkat martabatmu sebagai pemimpin sejati."Sunan Gunung Jati kemudian melanjutkan, "Ketika Anda memimpin, Anda tidak hanya memikirkan kemenangan, tetapi juga memikirkan apa yang akan Anda tinggalkan untuk generasi berikutnya. Sebuah kerajaan yang dibangun dengan darah akan runtuh dengan cepat, tetapi kerajaan yang dibangun dengan kebijaksanaan akan bertahan lebih lama."Zhanji terdiam mendengar kata-kata tersebut. Ia merasa seperti ada sebuah beban yang terangkat dari hatinya, meskipun keputusan yang harus diambil masih tetap sulit. Namun, ia tahu bahwa ada kebenaran dalam kata-kata Sunan Gunung Jati. Ia tidak hanya harus mengandalkan pasukan, tetapi juga harus mengandalkan kebijaksanaan dan visi untuk masa depan.---Persiapan untuk Perang atau Perdamaian?Sementara Zhanji merenung, pasukan Ming semakin mempersiapkan diri. Namun, ada satu kesempatan yang tidak bisa dilewatkan begitu saja. Zhanji memutuskan untuk mencoba merundingkan perdamaian dengan pasukan Mongol, meskipun ia tahu ini adalah langkah yang berisiko. Dalam hatinya, ia berharap bisa menemukan jalan untuk menghindari pertumpahan darah, jika memungkinkan.Ia memanggil utusan untuk bertemu dengan duta dari pasukan Mongol. Berbagai surat dikeluarkan, dan perundingan akhirnya dimulai. Namun, dalam pertemuan itu, Zhanji menyadari betapa beratnya situasi yang dihadapinya. Pasukan Mongol, yang dipimpin oleh jenderal besar mereka, tidak menunjukkan tanda-tanda ingin mengalah. Mereka menginginkan wilayah yang lebih luas, dan mereka bertekad untuk merebut wilayah utara Ming.Zhanji mendengarkan dengan seksama, namun hatinya merasa kecewa. Seperti yang dikhawatirkan oleh Sunan Gunung Jati, perdamaian tampaknya terlalu jauh dari jangkauan mereka.Namun, Zhanji masih memiliki harapan. "Mungkin ini bukan akhir dari segalanya," pikirnya. "Jika kita harus berperang, kita akan berperang dengan penuh kehormatan. Tapi aku masih percaya, ada kekuatan dalam kedamaian."---Jalan yang Penuh PerjuanganMalam itu, Zhanji kembali ke kamarnya, merasa sedikit lebih ringan. Ia telah mencoba menghindari perang dengan segala cara yang mungkin. Namun, ia juga tahu bahwa dalam hidup ini, terkadang kita harus menerima kenyataan pahit yang datang. Perang mungkin tak terhindarkan, tetapi ia tidak akan berhenti mencari jalan damai hingga detik terakhir.Sun Xiu datang ke kamarnya, dan ketika melihat suaminya yang tampak lebih tenang, ia mendekat dan merangkulnya. "Zhanji, aku tahu betapa berat keputusan ini. Namun, aku percaya padamu. Kita akan menghadapi apapun yang datang bersama-sama."Zhanji memeluk Sun Xiu dengan erat, merasakan kedamaian yang baru ditemukannya dalam pelukan itu. Mungkin perang yang akan datang tidak bisa dihindari, namun ia tahu satu hal: ia tidak akan pernah menghadapinya sendirian.---Akhir Bab 4: Perang yang Tak TerhindarkanDengan persiapan perang yang semakin matang, Zhanji akhirnya menerima kenyataan. Pasukan Mongol akan segera datang, dan ia harus memimpin pasukannya dengan kebijaksanaan yang telah dipelajarinya dari Sunan Gunung Jati. Meskipun ketakutan dan kekhawatiran masih ada, ia siap untuk bertindak. Ia akan berjuang untuk rakyatnya dan untuk masa depan kerajaan Ming, tetapi ia juga berjanji untuk tetap mencari jalan perdamaian hingga akhir.---
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.