Fenomena Childfree di Tengah Masyarakat Indonesia.
Gaya Hidup | 2024-11-14 17:55:24Oleh. Ahmad Fadhly.Penulis Penggiat Media Sosial.
Fenomenachildfree, atau pilihan untuk tidak memiliki anak, telah menjadi topik yang semakin hangat diperbincangkan ditengah masyarakat dalam beberapa tahun terakhir. Keputusan tersebut, biasanya dilakukan pasangan suami istri.
Jelas hal tersebut, bertentangan dengan norma sosial yang berlaku di masyarakat Indonesia, sebab pernikahan sering kali dipandang sebagai langkah awal untuk memiliki keturunan. Sehingga fenomena itu menimbulkan pro dan kontra ditengah masyarakat.
Fenomena Childfree yang dilakukan dengan mengambil keputusan secara sukarela untuk tidak memiliki anak, baik secara permanen maupun sementara, bukanlah hal yang baru di dunia Barat dengan tingkat penerimaan atas keputusan untuk tidak memiliki anak lebih tinggi.
Pergeseran nilai dan Gaya Hidup.
Sementara, di Indonesia, fenomena tersebut relatif baru dan mendapat perhatian luas, terutama di kalangan generasi muda, yang memiliki akses lebih besar terhadap informasi dan keterbukaan terhadap pilihan hidup yang berbeda dari generasi sebelumnya.
Fenomena Childfree di Indonesia yang sudah mulai mendapatkan perhatian luas itu, bisa saja didorong beberapa faktor, diantaranya, adanya pergeseran nilai dan gaya hidup dikalangan generasi muda.
Terlihat dalam kehidupan sehari-hari, tidak sedikit generasi muda lebih mengutamakan karier, pendidikan, dan kebebasan. Nilai-nilai individualisme di jaman modern saat ini membuat generasi muda lebih condong terhadap hak untuk menentukan nasib sendiri.
Faktor ekonomi juga bisa menjadi alasan utama bagi beberapa pasangan untuk memilih childfree. Kebutuhan dasar, biaya pendidikan, dan kesehatan yang mahal membuat banyak pasangan merasa tidak siap secara finansial untuk memiliki anak.Dengan semakin mahalnya kebutuhan anak mulai dari pendidikan hingga kebutuhan pokok, pasangan muda Indonesia yang umumnya tinggal di perkotaan sering kali merasa beban ekonomi yang besar akan menyulitkan mereka mencapai stabilitas keuangan.
Selanjutnya, Perubahan Peran Gender.Dalam beberapa dekade terakhir, Perempuan di Indonesia dalam beberapa dekade terakhir, semakin memiliki akses yang lebih besar terhadap pendidikan dan pekerjaan.
Mereka tidak lagi sekadar menjalani peran tradisional sebagai ibu rumah tangga. Tidak sedikit perempuan, terlihat berkeinginan untuk mengembangkan karier atau menjalani kehidupan sesuai keinginan mereka sendiri bahkan, terkadang bertentangan dengan harapan sosial untuk memiliki anak.
Hal Ini, menjadi salah satu pendorong munculnya keputusan childfree di kalangan perempuan yang ingin fokus pada karier atau aktivitas pribadi lainnya.
Childfree Terhalang Nila Budaya dan Agama.
Keputusan untuk tidak memiliki anak mengakibatkan perubahan struktur keluarga tradisional. Jika fenomena ini meningkat, bisa jadi Indonesia akan mengalami pergeseran dalam struktur keluarga besar yang biasanya didukung oleh generasi yang lebih muda.
Penurunan angka kelahiran juga dapat berdampak pada demografi di masa depan. Dengan semakin banyak pasangan yang memilih childfree, ada potensi terjadinya penuaan populasi yang bisa mengakibatkan beban ekonomi bagi generasi muda yang lebih sedikit.
Dampak tersebut sudah terlihat di negara-negara maju, seperti Jepang dan beberapa negara Eropa.Di Indonesia tampaknya, fenomena childfree sulid untuk diterima masyarakat.
Pasalnya, memiliki anak masih dianggap sebagai kewajiban dalam pernikahan dan merupakan bagian dari nilai budaya dan agama yang kuat.
Bahkan, beberapa pihak menilai bahwa keputusan childfree melanggar ajaran agama yang menganjurkan umatnya untuk berketurunan dan membangun keluarga.
Selain itu, dalam masyarakat yang masih memegang teguh nilai kolektif seperti di Indonesia, keputusan childfree sering kali dipandang negatif, Individu yang memilih jalan itu kadang dihakimi sebagai egois atau kurang bertanggung jawab. Persepsi ini menciptakan stigma sosial yang cukup besar bagi pasangan atau individu childfree.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.