Kekuatan Terbesar
Sastra | 2024-11-04 08:24:57Senja itu datang lebih cepat dari biasanya. Awan-awan kelabu menggantung di langit, menutupi sebagian besar cahaya matahari. Cahaya temaram menyinari kompleks perumahan sederhana di pinggiran kota. Di salah satu rumah sederhana tersebut, seorang wanita paruh baya termenung di teras sambil menatap langit. Wajahnya tampak lelah, sorot matanya meredup.
"Bu, kenapa Ibu murung begitu?" tanya seorang gadis remaja yang baru saja keluar dari dalam rumah. Dila, putri sulung keluarga tersebut, mendekati ibunya dengan raut wajah cemas.
Wanita itu menoleh ke arah putrinya, tersenyum tipis. "Tidak apa-apa, Nak. Ibu hanya sedikit lelah."
Dila duduk di samping ibunya, menggenggam tangannya lembut. "Ibu pasti sedang memikirkan sesuatu. Ceritakan saja pada Dila, mungkin Dila bisa membantu."
Sang ibu menghela napas panjang. Ia tampak ragu sesaat, namun akhirnya memutuskan untuk berbagi beban pikirannya dengan putrinya. "Ibu sedang memikirkan masalah pekerjaan Ayahmu, Dila. Kau tahu, perusahaan tempat Ayahmu bekerja mengalami kesulitan keuangan. Beberapa karyawan harus di-PHK, termasuk Ayahmu."
Dila terkejut mendengar kabar itu. Selama ini, keluarganya memang hidup dalam keterbatasan. Namun, ayahnya selalu berusaha keras untuk memenuhi kebutuhan mereka. Kehilangan pekerjaan tentu akan membuat hidup mereka semakin sulit.
"Lalu, bagaimana dengan Ayah? Apa yang akan Ayah lakukan sekarang?" tanya Dila dengan nada khawatir.
"Ibu tidak tahu, Dila. Ayahmu tampak sangat terpukul. Ia bahkan belum mengatakan apa-apa kepada kita." Air mata mulai menggenang di pelupuk mata sang ibu.
Dila memeluk ibunya, mencoba menenangkannya. "Jangan khawatir, Bu. Kita pasti bisa melewati ini bersama-sama. Ayah pasti akan menemukan pekerjaan baru. Kita harus tetap kuat dan saling mendukung."
Sang ibu membalas pelukan putrinya, hatinya sedikit lega mendengar kata-kata bijak dari Dila. Memang, tidak mudah menghadapi situasi seperti ini. Namun, ia sadar bahwa keluarga mereka harus tetap bersatu dan saling menguatkan.
Malam harinya, saat makan malam, suasana di ruang makan terasa berbeda. Biasanya, keluarga kecil ini akan berbincang dengan penuh kehangatan. Namun, kali ini, sang ayah tampak murung dan lebih banyak diam. Dila dan ibunya saling melempar pandangan, seolah berkomunikasi tanpa kata-kata.
Setelah makan malam selesai, sang ayah beranjak ke kamarnya tanpa banyak bicara. Dila mengikutinya, ingin berbicara dengannya. Ia mengetuk pintu kamar ayahnya perlahan.
"Ayah, boleh Dila masuk?" tanya Dila lembut.
Terdengar suara sang ayah dari dalam kamar, mempersilakan Dila masuk. Dila membuka pintu dan mendapati ayahnya sedang duduk di tepi tempat tidur, terlihat lesu.
"Ayah, Dila sudah dengar tentang masalah pekerjaan Ayah dari Ibu," ucap Dila sembari duduk di samping ayahnya. "Dila yakin Ayah pasti bisa menemukan pekerjaan baru. Ayah adalah orang yang hebat dan pekerja keras."
Sang ayah tersenyum tipis mendengar kata-kata putrinya. Ia mengusap kepala Dila dengan penuh kasih sayang. "Terima kasih, Nak. Ayah memang sedang bingung harus berbuat apa. Ayah merasa gagal sebagai kepala keluarga."
"Ayah tidak gagal," sanggah Dila dengan tegas. "Ayah selalu berusaha keras untuk keluarga kita. Sekarang, giliran kita yang harus mendukung Ayah. Kita akan melewati ini bersama-sama, seperti yang selalu kita lakukan."
Sang ayah menatap putrinya dengan bangga. Ia merasa beruntung memiliki putri seperti Dila, yang selalu bisa menghibur dan menguatkannya di saat-saat sulit.
Keesokan harinya, Dila membantu ayahnya mencari informasi lowongan pekerjaan. Mereka berdua menyusuri koran dan situs-situs pencarian kerja, mencatat setiap peluang yang sesuai dengan kemampuan sang ayah. Mereka juga menghubungi beberapa kenalan, berharap ada informasi tentang lowongan pekerjaan.
Beberapa hari berlalu, sang ayah mengikuti beberapa wawancara kerja. Ia sempat merasa putus asa karena beberapa kali mendapatkan penolakan. Namun, Dila dan ibunya selalu ada di sisinya, memberikan semangat dan dukungan.
Hingga suatu hari, kabar baik itu datang. Sang ayah diterima bekerja di sebuah perusahaan kontraktor. Meski gajinya tidak sebesar pekerjaan sebelumnya, namun itu sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga mereka.
Suatu sore, Dila melihat ayahnya duduk termenung di teras rumah. Gadis itu kemudian menghampiri dan duduk di samping ayahnya.
"Ayah, apa yang sedang Ayah pikirkan?" tanya Dila lembut.
Sang ayah menoleh ke arah Dila, lalu tersenyum. "Tidak ada, Nak. Ayah hanya sedang bersyukur."
"Bersyukur? Bersyukur untuk apa, Yah?"
"Bersyukur karena kita telah melewati masa-masa sulit itu. Ayah sempat merasa putus asa, tapi kau dan Ibu selalu ada untuk menyemangati Ayah. Kalian berdua adalah kekuatan terbesar yang Ayah miliki."
Dila balas tersenyum. Ia merangkul lengan ayahnya dengan penuh kasih sayang. "Kami tahu Ayah pasti bisa menemukan pekerjaan baru. Kami tidak pernah meragukan kemampuan Ayah. Keluarga kita memang sederhana, tapi kita selalu bisa saling menguatkan satu sama lain."
Sang ayah mengangguk, lalu mengecup kening putrinya dengan lembut. Ia merasa sangat beruntung memiliki keluarga yang begitu mencintai dan mendukungnya.
Keluarga ini memang telah diuji, namun ujian itu justru menyadarkan mereka bahwa kekuatan sesungguhnya terletak pada kekompakan dan saling mendukung di antara anggota keluarga. Mereka yakin, selama mereka tetap bersama, tidak ada rintangan yang tidak bisa mereka lalui.
Matahari perlahan terbenam di ufuk barat, menyisakan semburat jingga yang indah di langit. Dila dan ayahnya masih duduk di teras, menikmati keheningan yang nyaman. Dalam hati, mereka berdoa semoga kebahagiaan dan kebersamaan ini akan selalu menyertai keluarga kecil mereka, apa pun yang terjadi.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.