Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Nadiya Azahra

Pengaruh Muhammad Abduh terhadap Pendidikan di Mesir

Sejarah | 2024-10-27 17:58:08

Muhammad Abduh merupakan seorang teolog Muslim dan seorang tokoh penting dalam memodernisasikan Islam. Memiliki nama lengkap yaitu Muhammad Abduh Ibn Hasan Khair Allah yang lahir di al-Bukhairoh Mesir pada tahun 1849M merupakan keturunan suku bangsa dengan Umar bin Khatttab yang berasal dari nasab ibunya. Sedangkan ayahnya berasal dari Turki.

Abduh lahir di lingkungan keluarga petani. Disaat saudaranya yang lain sibuk membantu urusan pertanian keluarga, ayah Abduh mengirim Abduh ke suatu tempad pendidikan menghafal Al-Quran untuk belajar dan pada akhirnya Abduh berhasil menyelesaikan hafalannya sebanyak 30 juz dalam kurun waktu dua tahun, dan saat itu usianya baru saja berumur 12 tahun. Walaupun Abduh dibesarkan dalam keluarga yang kurang dalam hal pendidikan formal, tetapi keluarganya memiliki jiwa keagamaan yang teguh.

Ia kemudian belajar al-Quran dengan Syekh Ahmad yang merupakan seorang guru agama di Masjid Thanta untuk belajar bahasa Arab dan ilmu agama pada tahun 1862. Saat belajar, ia merasa bahwa metode pengajaran yang dipakai kurang menarik sehingga ia berguru kepada guru yang lain. Ini menunjukkan bahwa Muhammad Abduh adalah orang yang mempunyai pikiran kritis, ketika ia tidak merasakan efektivitas dalam metode pengajaran, ia memilih untuk mencari guru yang lain. Setelah itu, ia memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya dan Muhammad Abduh menikah di usia yang sangat muda, yaitu 16 tahun.

Menggugah pikiran dan mengubah paradigma: Muhammad Abduh, pelopor pendidikan modern di Mesir.

Menikah tidak membuat Muhammad Abduh berhenti dalam melanjutkan studinya. Ia pergi ke Syibral Khit dan kemudian bertemu dengan Syeikh Darwisy Khidr yang tak lain adalah pamannya, yaitu seseorang yang mempunyai pengetahuan tentang Al-Qur'an, dan penganut tarekat Syadzilliah. Setelah menyelesaikan studinya ini, kemudian Abduh melanjutkan studinya ke Al-Azhar pada Februari 1866.

Namun seperti sebelumnya, Abduh merasa kecewa terhadap metode pengajaran yang verbalis dan merusak daya nalarnya. Selepas dari sini beliau kembali ke Thanta dan melanjutkan hidup sebagai seorang sufi. Ketika studinya di Al-Azhar, Abduh bertemu dengan Jamaludin al-Afghani dan menjadi muridnya. Abduh belajar tentang filsafat bersama al-Afghani. Kemudian, Abduh menjadi penulis di harian al-Arym. Dengan segala pengalaman yang dimiliki Abduh, ia sangat konsen dibidang pendidikan dan fokus untuk memberikan pemikirannya dalam bidang pendidikan.

Tak jarang ide pemikiran Muhammad Abduh itu menerima kecaman dan fitnah, contonhya ketika pemerintah menangkap Abduh dan membuangnya ke luar negeri. Pada 1884 M, Abduh datang ke Paris atas permintaan dari al-Afghani untuk menerbitkan majalah al-Uratul al-Wusqo secara bersama-sama. Kemudian Abduh pergi ke Beirut untuk mengajar pada 1885 M. pada 1888 M, Muhammad Abduh diizinkkan untuk kembali pulang ke Kairo berkat bantuan dari temannya.

Selanjutnya, Muhammad Abduh banyak memberikan kontribusi mengenai pembaharuan di Mesir terutama dalam bidang pendidikan yang mana akan dibahas dalam artikel ini. Artikel ini akan membahas pendidikan di Mesir dari jaman sebelum adanya pemikiran Muhammad Abduh hingga pendidikan Mesir pasca kematian Muhammad Abduh.

1. Pendidikan di Mesir Sebelum Muhammad Abduh

Pada abad ke-18, kekuatan militer dan politik umat Islam mengalami kemunduran, hilangnya monopoli dagang antara Timur dan Barat dari tangan umat Islam, ilmu pengetahuan di dunia Islam mengalami kemunduran, tarekat-tarekat diliputi suasana khufarat, umat Islam dipengaruhi oleh sikap fatalis, dan keadaan dunia Islam dalam keadaan mundur dan statis. Kemudian pendidikan Islam pada saat itu dalam pelaksanaannya tidak lagi bertujuan mengembangkan pemikiran, tetapi lebih mengarah pada penghafalan dan pendalaman mazhab tertentu. Sebelum terjadinya pembaharuan yang dilakukan oleh Muhammad Abduh pada pertengahan abad ke-19 di Mesir, terdapat beberapa lembaga pendidikan yang didirikan oleh Muhammad Ali Pasha seperti sekolah militer pada tahun 1815, sekolah teknik 1816, dua tahun kemudian sekolah kedokteran tahun 1827, tahun 1829 dibuka sekolah obat-obatan, tahun 1834 dibuka sekolah pertambangan, tahun 1836 sekolah pertanian dan sekolah penerjemahan.

Selain mendirikan lembaga pendidikan, Ali Pasha juga mendatangkan guru-guru dari Barat,mengirim pelajar Mesir untuk belajar di Eropa khususnya di Italia, Prancis, Inggris, dan Austria. Di negara-negara tersebut mereka mempelajari ilmu teknik, milter, industri, kapal, arsitek, kedokteran, obat-obatan, dan ilmu percetakan. Dalam hal ini, Ali Pasha rentang tahun 1813-1849 mengirimkan 311 pelajar ke negara-negara yang telah disebutkan di atas. Di kota Paris didirikan satu rumah khusus untuk menampung pelajar-pelajar Mesir. Kemudian Ali Pasha membuat suatu gerakan yaitu gerakan penerjemahan buku-buku Eropa yang isinya adalah ilmu-ilmu modern ke dalam bahasa Arab. Gerakan ini bertujuan untuk mengatasi permasalahan kurangnya dan terbatasnya text book untuk dipahami para pelajar dalam memahami dan melengkapi materi yang disampaikan oleh guru mereka secara lisan.

Pendidikan Al-Azhar sempat terganggu karena datangnya Prancis pada 1798 M sehingga Syaikh Syarqowi menutupnya dan dibuka kembali pada tahun 1801 M. Ketika masa Khadiv Ismail, mata pelajaran yang dipelajari di Al-Azhar yaitu, fiqih, ushul fiqih, tafsir, hadits, tauhid, nahwu, sharaf, ma’ani, bayan, badi’, matan, lughah, arud waqafiah, hikmah, falsafiah, tasawuf, mantiq, berhitung, al-jabar, ilmu falak, dan masih banyak lagi. Pada 1872 M, ijazah yang diberikan kepada peserta didik Al-Azhar tidak berdasarkan hasil ujian melainkan berdasarkan hasil keputusan pribadi dari masing-masing guru. Jika guru yang bersangkutan merasa muridnya sudah layak dalam bidang studi yang ditentukan maka guru tersebut akan memberikan ijazah secara lisan atau melalui tulisan. Sehingga murid tersebut dapat menjadi pengajar di Al-Azhar atau di sekolah-sekolah lain yang ada di Mesir atau bisa bekerja menjadi hakim, mufti, dan lain-lain. Pada tahun yang sama terdapat upaya untuk menguatkan Al-Azhar yang notabenenya sebagai lembaga yang berpengaruh dalam sejarah dengan cara mendirikan Darul Ulum. Fungsi dari lembaga ini adalah untuk melatih para guru padan bidang studi yang diajarkan di Al-Azhar seperti tafsir Al-Quran, Hadits, fiqih, dan bahasa Arab. Pada Darul Ulum, para guru mendapatkan konsumsi, pakain, dan gaji dari uang waqaf. Pendidikan Darul Ulum berusaha menggabungkan antara pendidikan tradisional dengan pendidikan modern yang pada waktu itu belum bisa diterima di Al-Azhar.

2. Perkembangan Pendidikan di Mesir ketika Mendapat Sentuhan Gagasan Muhammad Abduh

Gagasan Abduh banyak dipengaruhi oleh keluarga dan gurunya, khususnya al-Afghani. Letak perbedaan antara gagasan Muhammad Abduh dan al-Afghani terdapat pada tujuan prioritas gagasan yang mereka miliki. al-Afghani mencoba untuk membangun hegemoninya dalam ranah politik, dengan gagasan yang ia miliki. Sementara itu, Abduh membangun hegemoninya dalam ranah pendidikan dan sistem pengetahuan. Meskipun mereka menempuh metode yang berbeda, tetapi mereka memiliki tujuan yang sama sehingga hasil yang mereka ciptakan tidak jauh berbeda (Rahman, 1966:116).

Abduh bertemu dengan al-Afghani di saat hatinya dipenuhi oleh rasa kecewa dan kesal terhadap metode pembelajaran di Al-Azhar yang ternyata tidak jauh berbeda ketika ia belajar di Ṭanṭa, yaitu metode pembelajaran yang hanya menekankan kepada menghafal teks-teks suci agama tanpa membiarkan terjadinya interaksi antara guru dengan peserta didik. Ia mengajak teman-teman dekatnya untuk berguru kepada al-Afghani, dan mereka pun mendapatkan pertentangan dari ulama Al-Azhar dan sebagian besar mahasiswa karena al-Afghani dikenal dengan ilmu kalam dan filsafatnya (Supriadi, 2016:36). Abduh pernah dipanggil untuk menghadap Syekh ‘Alaisy untuk dimintai keterangan mengenai ketertarikannya dengan teologi (akidah) mu'tazilah, dan rumor bahwa ia telah meninggalkan teologi yang telah dikenalkan oleh Abu Al-Hasan Al-Asy‘ari atau yang dikenal dengan teologi asy‘ariyyah. Ia menjawab rumor tersebut dengan jelas bahwa ia tidak taklid terhadap teologi asy‘ariyyah apalagi teologi muktazilah.

Ia pun melanjutkan studinya di Al-Azhar dengan sikap kritis, hingga ia lulus pada tahun 1877 dengan gelar 'Alim (Supriadi, 2016:37). Tidak lama setelah Abduh lulus, Abduh diberikan kesempatan untuk mengajar di Al-Azhar. Kesempatan ini ia manfaatkan untuk menginternalisasi gagasan yang ia miliki tentang pembaharuan pendidikan. Abduh tercatat merupakan orang pertama yang mengajarkan etika kepada peserta didiknya. Sifat tidak cepat merasa puas yang Abduh miliki membuatnya bersemangat untuk mengajar sejarah di Darul Ulum, dengan buku karya Ibnu Khaldun sebagai rujukan utama. Ia pun mengajar etika dan sejarah Eropa di rumahnya. Rujukan utama yang ia gunakan untuk mengajar etika adalah Tahżīb Al-Akhlāq karya Ibnu Mazkawaih, dan buku karya Guizot ia gunakan untuk mengajar sejarah Eropa. Selain itu, Abduh juga mengajarkan pengetahuan keagamaan, logika, filsafat, sosial, dan peradaban Eropa. Abduh mencoba untuk membuka ruang dialektis ketika ia melakukan kegiatan belajar mengajar di Al-Azhar, Darul Ulum, dan rumahnya. Selain itu, ia juga memiliki fokus untuk mengajar bahasa Arab di tempatnya mengajar karena menurut Abduh, penggunaan bahasa Arab di ranah pemerintahan dan Al-Azhar masih sangat buruk sehingga ia berpandangan bahwa hal tersebut menyebabkan stagnasi dalam proses pembelajaran.

Menurut Abduh, penggunaan bahasa Arab yang diterapkan dalam sektor pemerintahan mengandung kalimat-kalimat yang sulit dipahami masyarakat karena memiliki struktur bahasa yang buruk dan pemilihan kata yang tidak tepat sasaran. Sedangkan di Al-Azhar, banyak menggunakan gaya bahasa yang menggantung (fawāṣil), kaku, dan aliterasi (al-janās) (Ḥammādah, 1945:194). Abduh menyampaikan pandangannya dalam acara resmi yang diadakan oleh pemerintah saat itu, dan pandangannya tersebut mendapatkan respons positif dari para peserta. Salah satu peserta yang memberikan responnya terhadap pandangan Abduh adalah Adams, dengan memberikan kalimat yang sangat menyadarkan para pemangku kebijakan saat itu. Menurut Adams, kritik yang disampaikan Abduh bukan merupakan sebuah tindakan yang ekstrem, melainkan sebuah pemicu semangat untuk menuntut ilmu. Kritik yang disampaikan Abduh menjelaskan kepada umat Islam bahwa bahasa Arab merupakan dasar untuk memahami agama, dan kehidupan umat Islam merupakan hal yang sia-sia jika tidak menghidupkan bahasa Arab (Ḥammādah, 1945:195).

Pada tahun 1900, Abduh berkesempatan untuk mendirikan sebuah organisasi yang bernama Iḥyā' Al-‘Ulūm Al-Miṣriyyah. Abduh memberikan pandangannya melalui organisasi tersebut, bahwa penggunaan buku-buku yang beredar pada masa itu merupakan sebuah ide yang harus dihentikan karena penggunaan bahasa yang sangat buruk pada buku-buku tersebut. Abduh menyarankan untuk menghidupkan kembali pembelajaran dengan menggunakan buku-buku terdahulu yang telah ditulis oleh para imam besar karena penggunaan bahasa yang bagus dan sangat berkembang. Saat itu, “Rūḥ Al-Balāgah” dan “Asrār Al-Balāgah wa Dalā'il Al-I‘jāz” karya Syekh Abdulqadir Al-Jurjani diterbitkan, kemudian buku “Al-Mukhaṣṣas” dalam tujuh belas jilid karya Ibnu Sayyidah juga diterbitkan. Syekh Muhammad Asy-Syinqiṭī melihat usaha Abduh, sehingga ia pun mengambil peran untuk merevisi serta menerbitkan kembali “Al-Muwaṭṭa'” karya Imam Malik bin Anas, setelah ia mendapatkan salinan tertulis dari buku tersebut dari Tunisia, Persia, dan lainnya (Ḥammādah, 1945:196).

Selain penggunaan bahasa Arab yang buruk, Abduh juga menyoroti dua penghambat lainnya dalam pendidikan di Mesir ketika ia semakin aktif menginternalisasi gagasan yang ia miliki (Supriadi, 2016:45). Penghambat pertama adalah terdapat institusi pendidikan yang sangat kental dengan corak keagamaan, tetapi mengesampingkan ilmu umum. Abduh mengambil langkah untuk memasukkan ilmu-ilmu umum ke institusi pendidikan yang hanya mengajarkan ilmu keagamaan. Penghambat kedua adalah terdapat institusi pendidikan yang hanya berorientasi terhadap ilmu umum, tetapi tidak memperhatikan ilmu keagamaan. Ia pun memasukkan ilmu keagamaan pada institusi pendidikan yang semacam ini. Jadi, ia meminimalisir gesekan yang terjadi antara dua corak institusi pendidikan dengan equalize antara pelajaran ilmu keagamaan dengan ilmu umum. Usaha yang dilakukan Abduh menghasilkan berdirinya sebuah majelis pendidikan tinggi di Mesir.

3. Kondisi Pendidikan di Mesir Pasca Kematian Muhammad Abduh

Sepeninggal Muhammad Abduh, pembaharuan terhadap pendidikan terus dilakukan oleh Rasyid Ridha yang tak lain adalah murid dari Muhammad Abduh. Ketika zaman klasik Islam mengalami kemajuan kerena umat Islam sangat mementingkan ilmu pengetahuan. Kemudian, Barat mengambil alih ilmu pengetahuan yang telah ditemukan dan dikembangkan oleh Islam. Jika umat Islam mengambil ilmu modern dari Barat, itu berarti sama saja mengambil kembali ilmu milik Islam sendiri. Adapun pembaharuan yang dilakukan Rasyid Ridha diantaranya memunculkan gagasan bahwa semua warga negara Mesir harus mendapatkan dan menjalankan pendidikan secara merata dan diupayakan lewat pembenahan kembali sistem pendidikan di Mesir untuk mengetahui Islam yang murni harus kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah, ajaran Islam katanya tidak membawa kepada statis tetapi dinamis, peradaban Barat tidak bertentangan dengan Islam, peradaban Barat sekarang berasal dari peradaban Islam zaman klasik, pembaharuan juga memasuki fiqh. Rasyid Ridha menyalurkan pemikiran pembaharuannya melalui majalah yang diterbitkannya bernama al-Manar. Majalah tersebut dibaca oleh mahasiswa yang datang dari berbagai pelosok dunia Islam yang studi di al-Azhar University. Selesai studi, mereka kembali ke tanah airnya, membawa pemikiran pembaharuan yang disampaikan oleh Rasyid Ridha. Sehingga pemikiran pembaharuan tersebut menjalar ke berbagai penjuru dunia Islam.

Pembaharuan yang terjadi ini tentunya tak lepas dari ajaran Muhammad Abduh yang banyak berpangkal dari bidang agama dengan adanya tuntutan kemurnian ajaran Islam, baik dari segi akidah maupun amaliyah. Menurut Rasyid Ridha, umat Islam mundur karena tidak menganut ajaran Islam yang sebenarnya dan sering melakukan perbuatan yang tidak sejalan dengan ajaran Islam yang menyebabkan kemunduran umat Islam. Akibat dari adanya usaha pembaharuan pendidikan Islam yang awalnya untuk mengejar ketertinggalan dari bangsa Barat, ternyata menimbulkan adanya dualisme sistem pendidikan dunia Islam, pola pembaruan pendidikan, membentuk suatu sistem atau pola pendidikan modern yang mengambil pola sistem pendidikan Barat, dengan penyesuaian dengan Islam dan kepentingan nasional, serta tetap mempertahankan sistem pendidikan tradisional yang telah ada di kalangan umat Islam. Sistem pendidikan modern pada umumnya dilaksanakan oleh pemerintah dalam rangka memenuhi tenaga ahli untuk kepentingan pemerintah, sedangkan sistem pendidikan tradisional yang ada di kalangan masyarakat tetap mempertahankan kurikulum tradisional yang hanya memberikan pendidikan dan pengajaran keagamaan. Dualisme sistem dan pola pendidikan inilah yang mewarnai pendidikan Islam di semua negara dan masyarakat Islam pada zaman modern. Dengan adanya dualisme sistem pendidikan Islam dan sistem pendidikan tradisional, diharapkan akan berkembang secara berangsur-angsur mengarah ke sistem pendidikan modern. Inilah yang dikehendaki oleh para pembaharu pendidikan Islam yang berorientasi pada ajaran Islam yang murni. Pada akhirnya, upaya-upaya pembaruan yang dilakukan tersebut telah memajukan pendidikan umat Islam seperti kemajuan yang dicapai oleh bangsa-bangsa Barat.

Daftar Pustaka

Abduh, Syekh Muhammad. 1996. Risalatut Tauhid, Cet 10 (Penerjemah: Firdaus A. N.) Jakarta: Bulan Bintang.

Ahmad, Samsul. 2018. Peranan Muhammad Ali Pasha dalam Pengembangan Islam di Mesir. Makassar: UIN Alauddin Makassar.

Antonia, Muhammad Syafii dkk. 2012. Ensiklopedia Peradaban Islam Kairo. Jakarta: Tazkia

Publishing.

Ḥammādah, A.M. (1945). Al-ustāż al-imām Muhammad ‘Abduh. Kairo: Maṭba‘ah Al-Istiqāmah.

Nasution, Harun. 2003. Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta:

PT. Bulan Bintang.

Nasution, Harun. 1985. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya Jilid ke-2. Jakarta: UI Press.

Nasihuddin, M. 2020. Menakar Pembaharuan Pendidikan Muhammad Abduh. Al-Lubab: Jurnal Penelitian dan Keagamaan Islam, Vol. 6, No. 1, 95-106.

Nizar, Samsul. 2007. Sejarah Pedidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia.Jakarta: Kencana.

Nizar, Samsul, etc. 2005. Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam Mengenai Tokoh Penddikan di Dunia Islam Dan Indonesia. Ciputat: Quantum Teaching.

Rahman, F. (1966). The impact of modernity of Islam. Islamic Studies, 5(2), hlm. 113—128. http://www.jstor.org/stable/20832836

Rusli, H, Ris’an. 2013. Pembaharuan Pemikiran Modern dalam Islam, Cet 1. Jakarta: Rajawali Pers.

Supriadi. (2016). Konsep pembaruan sistem pendidikan Islam menurut Muhammad ‘Abduh. Kordinat, 15(1), hlm. 31—60. http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/kordinat/article/view/6301

Yunus, Mahmud. 1979. Sejarah Pendidikan Islam. cet kedua. Jakarta: PT. Hidakarya Agung.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image