Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Syahrial, S.T

Tungku Tua

Sastra | 2024-10-26 10:07:00
Dokumen parapuan.co

Aroma manis kue cucur mengambang di udara, bercampur dengan asap tipis dari tungku yang menyala. Nila duduk di sudut dapur sempit itu, matanya tak lepas dari sosok ibunya yang membungkuk, mengaduk adonan dengan gerakan yang sama seperti yang telah dilakukannya selama bertahun-tahun. Setiap pagi, pemandangan ini selalu mengiris hatinya.
Enam bulan telah berlalu sejak kepergian ayahnya. Masih jelas dalam ingatan Nila bagaimana ayahnya terbaring di ranjang rumah sakit, dengan suara yang nyaris berbisik mengatakan bahwa pendidikan adalah kunci untuk mengubah nasib mereka. "Belajarlah setinggi mungkin, Nila," kata-kata itu masih bergema dalam benaknya. "Ayah tidak bisa memberikan warisan harta, tapi ayah yakin otakmu adalah hartamu yang paling berharga."
Sekarang, di hadapannya, ibunya berjuang sendirian. Wanita itu bangun setiap hari pukul tiga pagi, memulai ritual yang sama: mengaduk adonan, menyalakan tungku, membentuk kue satu per satu, lalu membawanya ke pasar tradisional di ujung kota. Kerutan di wajahnya semakin dalam, rambutnya yang mulai memutih diikat asal ke belakang, dan tangannya yang kasar menjadi saksi bisu dari perjuangan tanpa henti.
Nila masih ingat bagaimana dulu, ketika ayahnya masih ada, mereka masih bisa tertawa bersama di malam hari. Ayahnya akan bercerita tentang pengalaman mengajarnya di sekolah dasar, tentang murid-muridnya yang lucu, dan tentang betapa pentingnya pendidikan. Meski gaji guru honorer ayahnya tidak seberapa, tapi mereka bahagia. Setidaknya ada yang bisa diandalkan setiap bulan, ditambah penghasilan ibunya dari berjualan kue.
Namun kanker tidak memberi ampun. Dalam waktu singkat, tabungan mereka ludes untuk pengobatan. Ayahnya harus berhenti mengajar, dan perlahan-lahan cahaya di matanya mulai meredup, hingga akhirnya padam sama sekali. Yang tersisa hanyalah janji Nila untuk terus bersekolah, dan keinginan kuat untuk masuk universitas.
Sekarang, di tahun terakhir SMA-nya, Nila berada di persimpangan. Nilai-nilainya selalu yang tertinggi di sekolah, dan guru-gurunya mendorongnya untuk mendaftar ke universitas negeri. Tapi melihat kondisi ibunya, hatinya seakan tercabik. Haruskah ia mengejar mimpinya sementara ibunya berjuang sendirian? Setiap keping uang yang mereka miliki seakan sudah ada peruntukannya: untuk membeli tepung, gula, dan kebutuhan sehari-hari yang tak bisa ditunda.
Di malam hari, ketika ibunya sudah tertidur kelelahan, Nila sering menyelinap ke dapur. Di sana, di depan tungku yang sudah dingin, ia membuka buku-bukunya. Cahaya lampu yang redup menjadi saksi bagaimana ia belajar dengan tekun, mempersiapkan diri untuk ujian masuk universitas. Terkadang, saat matanya mulai berat, ia bisa mencium aroma kue cucur yang seakan meresap ke dalam dinding dapur, mengingatkannya akan perjuangan ibunya.
Suatu malam, saat Nila sedang belajar seperti biasa, ibunya terbangun dan menemukannya di dapur. Tanpa kata-kata, wanita itu duduk di sampingnya, mengamati coretan-coretan di buku tulisnya. Air mata mengalir di pipi sang ibu, tapi senyum hangat menghiasi wajahnya.
"Ayahmu benar," kata ibunya pelan, suaranya bergetar. "Kau memang memiliki otaknya." Ia menggenggam tangan Nila erat. "Ibu mungkin tidak bisa memberimu banyak, tapi selama ibu masih bisa membuat kue, kau harus terus sekolah. Ini bukan tentang ibu atau tentang keadaan kita sekarang. Ini tentang masa depanmu, tentang janji yang kau buat pada ayahmu."
Malam itu menjadi titik balik bagi Nila. Ia menyadari bahwa keraguan yang selama ini menghantuinya justru akan mengkhianati perjuangan kedua orangtuanya. Setiap cucur yang ibunya buat, setiap tetes keringat yang mengalir, dan setiap kata-kata terakhir ayahnya - semuanya adalah investasi untuk masa depannya.
Kini, setiap pagi saat menatap punggung ibunya yang membungkuk di depan tungku, Nila tidak lagi hanya merasakan kesedihan. Ada tekad yang membara, sekuat api yang menyala di tungku itu. Ia bertekad untuk membuktikan bahwa pengorbanan orangtuanya tidak akan sia-sia. Bahwa suatu hari nanti, dapur sempit ini akan menjadi saksi bagaimana seorang anak pedagang kue cucur bisa mengubah nasib keluarganya melalui pendidikan.
Dan tungku tua itu, dengan jejaknya yang hitam di dinding dan aroma manis yang tak pernah hilang, akan selalu mengingatkan Nila pada pelajaran paling berharga dalam hidupnya: bahwa mimpi terbesar terkadang lahir dari dapur yang paling sederhana.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image