Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Arum Azahra

Cerpen: Kanvas Terakhir

Sastra | 2024-10-25 10:13:11
foto : kanvas kosong

“Raka, kau yakin tentang kanvas itu?” tanya Dira, suaranya penuh keraguan saat melihat Raka terpaku pada lukisan yang belum dimulai.

“Ada yang aneh, Dira. Rasanya seperti... ada yang mengawasi dari baliknya,” jawab Raka dengan lirih, suaranya bergetar sedikit. Tangan Raka bergetar, menggenggam kuas di tangannya. Dia merasakan tarikan kuat dari kanvas itu, seolah ada sesuatu yang ingin ia ungkapkan.

“Kau gila? Itu cuma kanvas tua. Ayo, tinggalkan saja,” Dira mendesak, melangkah lebih dekat, mencoba menarik perhatian Raka dari kanvas yang menakutkan itu.

“Tidak. Aku harus membawanya,” tegas Raka, suaranya terdengar lebih yakin, meski ada kegelisahan yang melingkupi hatinya.

“Serius? Kau dengar dirimu? Kau terdengar menyeramkan,” Dira mengerutkan kening, khawatir melihat Raka yang terobsesi.

“Aku tidak tahu, Dira! Tapi... rasanya aku harus melukisnya,” Raka menggerakkan kuasnya di udara seolah sudah mulai terbayang apa yang ingin ia ciptakan.

“Lihat ini ” Raka menunjuk lukisan yang mulai terbentuk di hadapannya. “Itu wajah Sinta.”

“Apa? Sinta sudah meninggal, Raka! Jangan bercanda,” Dira mundur sedikit, tidak percaya.

“Aku serius! Ini benar-benar dia,” Raka menatap Dira dengan mata terbelalak, suaranya bergetar antara takut dan rindu.

“Raka, hentikan! Kau yang melukis itu!” Dira panik, memegang lengannya.

“Tapi kenapa rasanya seperti dia hidup di sini?” Raka bertanya, suaranya penuh kebingungan dan kerinduan.

Raka, pelukis muda berbakat, lebih nyaman bersembunyi di balik kanvas daripada menghadapi dunia. Sejak kematian Sinta, cinta pertamanya, ia terobsesi melukis karya yang bisa menyentuh jiwa, seolah ingin menghidupkan kembali kenangan itu.

Dira, sahabat yang diam-diam mencintai Raka, selalu berada di sisi Raka. Melihat Raka masih terjebak dalam kenangan Sinta, Dira memilih mendukungnya dari jauh. Meski hatinya terluka, Dira tetap teguh, berharap suatu hari bisa membantu Raka keluar dari bayang-bayang masa lalunya.

--

Raka terus terjebak dalam kanvas tua itu, melukis wajah Sinta yang semakin hidup. Setiap malam, saat kuasnya bergerak, suara lembut Sinta berbisik, “Raka, lepaskan aku.”

“Tidak, Sinta! Aku merindukanmu!” Raka berteriak, bingung.

“Kau harus melanjutkan hidupmu. Jangan biarkan kenangan ini mengikatmu,” kata Sinta, wajahnya tampak sedih namun penuh kasih.

Dira, yang khawatir, berteriak, “Raka, berhenti! Ini berbahaya!”

Raka terdiam, hatinya bergejolak. “Baiklah, Sinta. Aku akan melepaskanmu,” dia berjanji, suaranya bergetar.

Lukisan itu memudar, dan Raka merasakan beban di hatinya mulai hilang. “Selamat tinggal, Sinta,” bisiknya, merasa lega dan kehilangan sekaligus.

Dira menghampirinya, menghapus air mata di pipinya. “Kau baik-baik saja?” tanyanya lembut.

“Ya, aku akan baik-baik saja,” jawab Raka, menatap Dira. “Terima kasih telah ada di sini.”

"Sudahlah, Raka," Dira berkata lembut. "Mari kita ciptakan sesuatu yang baru, sesuatu yang bisa membuatmu kembali hidup."

Raka menatap kanvas kosong itu sejenak, lalu tersenyum tipis. "Ya," gumamnya. "Saatnya mulai dari awal."

Penulis : Arum Azahra

Madrasah Aliyah Negeri Sidoarjo

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image