Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Syahrial, S.T

Melukis Langit Sendiri

Sastra | 2024-10-21 05:00:32
Dokumen kompas.id

Setahun berlalu sejak Rani kembali ke Jakarta. Kini, ia duduk di ruang kerjanya yang baru sebagai Manajer Pemasaran, memandang ke luar jendela yang memperlihatkan pemandangan kota yang tak pernah tidur. Namun, pikirannya melayang jauh ke Belitong, di mana cabang baru perusahaannya sedang dalam tahap pembangunan.

Rani tersenyum, mengingat bagaimana ia berhasil meyakinkan direksi untuk membuka cabang di pulau kelahirannya. Bukan perkara mudah, tentu saja. Banyak yang meragukan potensi ekonomi Belitong, tapi Rani tak kenal menyerah. Ia mempresentasikan proposal yang didukung data konkret, menunjukkan potensi pariwisata dan sumber daya alam yang belum tergali di sana.

"Kamu yakin ini akan berhasil, Rani?" tanya salah satu direktur saat itu.

Rani mengangguk mantap. "Saya lahir dan besar di sana, Pak. Saya tahu persis potensinya. Yang dibutuhkan hanyalah kesempatan dan kepercayaan."

Kini, setahun kemudian, Rani membuktikan bahwa intuisinya benar. Cabang Belitong mulai menunjukkan hasil positif, bahkan melebihi ekspektasi awal. Namun, bukan itu yang membuat Rani paling bangga. Yang membuatnya bahagia adalah melihat bagaimana kehadiран perusahaan ini membawa perubahan berarti bagi masyarakat Belitong.

Ponselnya berdering, membuyarkan lamunannya. Nama ibunya muncul di layar."Halo, Ma," sapa Rani lembut.

"Rani, kapan kamu pulang? Bapakmu sudah rindu makan masakanmu," ujar ibunya dengan nada ceria.
Rani tertawa kecil. "Minggu depan, Ma. Rani ada meeting di cabang Belitong."
Setelah menutup telepon, Rani kembali tenggelam dalam pikirannya. Ia teringat percakapannya dengan sahabatnya, Dina, beberapa hari lalu.

"Ran, kamu hebat ya. Bisa jadi manajer muda, punya karier cemerlang di Jakarta, tapi juga bisa dekat dengan keluarga di Belitong. Aku iri deh," ujar Dina saat itu.

Rani hanya tersenyum. "Din, setiap orang punya jalannya masing-masing. Apa yang cocok untukku belum tentu cocok untukmu. Yang penting, kita jalani hidup sesuai dengan apa yang kita yakini."

Ya, Rani kini paham betul makna kata-katanya sendiri. Ia telah belajar bahwa kesuksesan bukan soal meniru jalan hidup orang lain atau memenuhi ekspektasi masyarakat. Kesuksesan adalah tentang menemukan keseimbangan dan kebahagiaan dalam versi terbaik diri sendiri.

Minggu berikutnya, Rani tiba di Belitong. Udara laut yang familiar menyambutnya, membawa nostalgia akan masa kecilnya. Ia menyempatkan diri mengunjungi orang tuanya sebelum menuju lokasi proyek.
"Rani, lihat itu," kata ayahnya, menunjuk ke arah pembangunan gedung baru perusahaan. "Dulu, tempat itu cuma lahan kosong. Sekarang? Jadi pusat kegiatan baru di sini."
Rani mengangguk, matanya berbinar. "Iya, Pak. Dan ini baru permulaan."
Di lokasi proyek, Rani bertemu dengan para pekerja lokal yang kini mendapat kesempatan kerja berkat hadirnya cabang baru ini. Ia melihat semangat dan harapan di mata mereka, sesuatu yang dulu jarang ia temui di kampung halamannya.
"Terima kasih, Bu Rani," ujar salah seorang pekerja. "Berkat proyek ini, anak saya bisa lanjut kuliah."
Kata-kata itu menggugah hati Rani. Ia sadar, keputusannya untuk membawa perusahaan ke Belitong bukan sekadar langkah karier, tapi juga cara ia memberikan kembali pada tanah kelahirannya.
Malam harinya, Rani duduk di tepi pantai, memandang laut yang berkilauan di bawah sinar bulan. Ia teringat akan keraguan dan ketakutannya dulu, ketika harus memilih antara karier di Jakarta atau kembali ke Belitong.
"Ternyata, aku tidak perlu memilih," gumamnya pada diri sendiri. "Aku bisa memiliki keduanya, dengan caraku sendiri."
Rani menyadari bahwa perjalanan hidupnya memang unik, seperti dirinya. Ia tidak mengikuti jalur konvensional yang diharapkan banyak orang. Alih-alih memilih antara karier atau keluarga, kota besar atau kampung halaman, ia menciptakan jalannya sendiri yang menggabungkan semua aspek itu.
Keesokan harinya, dalam meeting dengan tim lokal, Rani membagikan visinya untuk pengembangan cabang Belitong. Ia tidak hanya berbicara tentang target penjualan atau strategi pemasaran, tapi juga tentang bagaimana perusahaan bisa berkontribusi pada pembangunan daerah.
"Kita bukan hanya membangun bisnis di sini," ujarnya penuh semangat. "Kita sedang membangun masa depan Belitong."
Setelah meeting, Rani menyempatkan diri untuk berjalan-jalan di sekitar kota. Ia melihat perubahan yang mulai terlihat sejak kehadiran cabang perusahaannya. Toko-toko baru bermunculan, infrastruktur mulai dibenahi, dan yang paling penting, ada optimisme baru di wajah penduduk lokal.
Rani tersenyum, menyadari bahwa inilah definisi kesuksesannya. Bukan hanya tentang jabatan atau materi, tapi tentang memberi dampak positif pada lingkungan sekitarnya.
Malam terakhirnya di Belitong, Rani menghabiskan waktu bersama keluarganya. Mereka makan malam bersama, berbagi cerita dan tawa. Rani melihat rasa bangga di mata orang tuanya, bukan hanya karena pencapaian kariernya, tapi juga karena ia tetap menjaga hubungan erat dengan akar kehidupannya.
"Rani," kata ibunya lembut, "Ibu senang melihatmu bahagia. Kamu telah menemukan jalanmu sendiri."
Kata-kata itu menghangatkan hati Rani. Ya, ia telah menemukan jalannya sendiri. Jalan yang mungkin tak lazim bagi sebagian orang, tapi itulah yang membuatnya unik.
Keesokan paginya, saat pesawat lepas landas membawanya kembali ke Jakarta, Rani memandang ke luar jendela. Ia melihat pulau Belitong yang perlahan menghilang dari pandangan, namun kini tidak lagi terasa jauh. Karena kini, Belitong selalu ada dalam setiap langkah kariernya.
Di atas awan, Rani tersenyum. Ia telah belajar bahwa hidup bukan tentang memenuhi ekspektasi orang lain atau mengikuti jalur yang sudah ditentukan. Hidup adalah tentang menemukan keberanian untuk menentukan dan menjalani path unikmu sendiri, seperti dirimu yang juga unik.
Pesawat terus melaju, membawa Rani menuju babak baru dalam hidupnya. Sebuah babak di mana ia tidak lagi takut untuk bermimpi besar, namun tetap menjaga kerendahan hati. Di mana ia bisa menjadi pemimpin yang sukses di kota besar, sekaligus tetap menjadi anak yang berbakti pada kampung halamannya.
Inilah kisah Rani, sebuah perjalanan unik yang menjadi saksi bahwa setiap orang bisa menulis cerita hidupnya sendiri, tanpa harus mengikuti naskah yang ditulis orang lain.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image