Bahasa dan Dasar Kebangsaan Indonesia
Oleh Priyantono Oemar, Bergiat di Komunitas Jejak Republik
Seribu orang berdemo di Kotaraja (sekarang Banda Aceh), Aceh, menolak kebijakan Belanda mengenai penggunaan bahasa pengantar di sekolah pada Maret 1932. Pada mulanya, Belanda mewajibkan penggunaan bahasa Melayu di sekolah-sekolah.
Tapi kemudian Belanda melarang penggunaan bahasa Melayu dan mengharuskan penggunaan bahasa daerah di sekolah, karena bahasa Melayu dianggap sebagai pintu masuk orang-orang Indonesia menguasai bahasa Indonesia. Apakah Belanda menganggap bahasa Indonesia cukup kuat dijadikan dasar kebangsaan Indonesia setelah diikrarkan di Kongres Pemuda Indonesia II?
Agar gaung protes itu meluas, dari Aceh mereka mengirim pemberitahuan ke Fraksi Nasional Volksraad, koran Bintang Timoer di Batavia, dan koran Soeara Oemoem di Surabaya. Kebijakan penggunaan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar di sekolah diberlakukan oleh Belanda setelah bahasa Indonesia diikrarkan sebagai bahasa persatuan pada Kongres Pemuda Indonesia II, 28 Oktober 1928.
Protes tidak hanya datang dari Aceh, tapi juga dari daerah lain. Dari Minang juga muncul suara penolakan karena kebijakan itu juga akan mencabut Minang dari konteks kebangsaan Indonesia.
Dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia, bahasa Indonesia telah menjadi bahasa perlawanan terhadap otoritas pemerintah kolonial. Kata M Tabrani sebagai pencetus nama bahasa Indonesia, bahasa Indonesia dapat mempercepat tercapainya persatuan Indonesia dan memperteguh pergerakan kemerdekaan.
Tapi, setelah Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara pada 18 Agustus 1945, dan dicantumkan dalam UUD 45, tak serta-merta persoalan selesai. Ketika Negara Indonesia Timur berdiri, meski mereka bergabung ke dalam Republik Indonesia Serikat, bahasa yang mereka gunakan di forum-forum resmi adalah bahasa Belanda, meski mereka mengakui lagu kebangsaan adalah lagu Indonesia Raya dan benderanya adalah Merah Putih.
Ketika Jakarta menginginkan Nederlandsch Nieuw Guinea (Irian Barat) menjadi bagian dari Indonesia, penggunaan bahasa Indonesia di Irian Barat itu juga mendapat tentangan. Jakarta mengirim buku-buku pelajaran bahasa Indonesia ke Tanah Papua. Tetapi, bahasa Indonesia ditolak Belanda, karena Belanda menginginan pengajaran bahasa Belanda di sana.
Orang-orang Papua yang anti-Indonesia pun menolak penggunaan bahasa Indonesia. Ketika Dewan Penasihat Hollandia dibentuk, bahasa Indonesia juga ditolak sebagai bahasa resmi di dewan yang berkedudukan di Hollandia (sekarang Jayapura).
Anggota dewan itu terdiri dari 16 orang, enam orang asli Irian Barat. Mereka memilih bahasa Melayu sebagai bahasa resmi di dewan itu. Bahasa Belanda otomatis tidak digunakan, karena yang mengerti bahasa Belanda hanya satu anggota.
Saat itu persatuan Indonesia mengalami hambatan di Papua sejak Indonesia merdeka. Sebelum merdeka, di rapat BPUPKI, Muh Yamin menegaskan bahwa wilayah Papua yang dikuasai Belanda merupakan bagian dari wilayah yang harus ikut dimerdekakan.
Sebab, kata Yamin, wilayah itu merupakan bagian dari tanah dan adat Kesultanan Tidore. Tapi nasibnya tidak seperti wilayah-wilayah lain, sehingga Papua tetap dikuasai Belanda sampai 1962.
Komentar
Gunakan Google Gunakan Facebook